Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Tiga Menit untuk Selamanya
0
Suka
1
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Indi membaca petunjuk memasak pada sebuah bungkus mi instan dengan saksama. Rebus mi dalam 400 cc (2 gelas) air mendidih selama tiga menit sambil diaduk.

Gadis yang masih berseragam putih biru itu mencari-cari panci. Begitu ketemu, sekarang ia kebingungan dengan masalah baru. Gelas yang mana yang harus ia gunakan sebagai takaran? Apakah mug yang biasa digunakan Bunda untuk minum kopi atau gelas tempat jus Nenek? Alih-alih memilih antara keduanya, gadis SMP itu mengambil mangkuk demi mendapatkan porsi air yang pas, lalu menuang air itu ke dalam panci. Setelahnya, ia mencemplungkan mi instan.

Indi baru saja pulang sekolah. Dan, ia kelaparan. Sebenarnya, tadi ada Mbak Ratna yang bisa saja Indi mintai tolong membuatkan mi instan. Tapi, gadis SMP itu segan. Mbak Ratna, kan, bekerja untuk Nenek. Menurut Indi, tidak sopan apabila ia ikut-ikutan menyuruh-nyuruh pembantu Nenek itu. Oleh sebab itu, ketika Mbak Ratna pamit pulang, Indi langsung mengiyakan.

Sekarang, Indi menunggu. Matanya tidak lepas memerhatikan apakah air di panci itu sudah berbuih-buih. Petunjuknya bilang tunggu tiga menit saja. Namun, bagi Indi yang perutnya sudah keroncongan, itu lama sekali. Ia mondar-mandir di dapur rumah mereka yang kecil itu.

Rumah yang mereka tempati itu sebenarnya milik Nenek. Sudah tiga tahun ini Indi dan kedua orang tuanya pindah ke sana. Awalnya, Indi kesal karena harus berpisah dengan teman-teman sekolahnya yang lama. Namun, lama-kelamaan gadis remaja itu terbiasa. Apalagi, kepindahan mereka ke kota ini juga karena niat yang mulia.

Selagi menanti, Indi ingin sekali menyalakan musik supaya tidak merasa bosan. Akan tetapi, ia ingat pesan ibunya untuk tidak membuat keributan. Selama di rumah ini, mereka harus waspada dengan bunyi-bunyian yang terdengar. Jangan sampai karena terlalu asyik menikmati musik, mereka jadi lalai dengan marabahaya yang dapat menimpa penghuni rumah.

Dari dasar panci, buih-buih mulai bergerak ke permukaan air. Indi membaca cara memasak mi berikutnya: Sementara mi direbus, campurkan bumbu dan cabe bubuk ke dalam mangkok. Untung rasa mi yang ia pilih adalah Kaldu Ayam, rasa pertama yang dijual oleh produsen makanan instan tersebut. Bumbunya simpel dan dapat disobek dengan mudah. Varian lain yang menyertakan bumbu sejenis minyak, biasanya harus Indi buka dengan menggunakan gunting. Masalahnya, ia tidak tahu di mana Bunda menyimpan gunting.

Tiba-tiba, terdengar suara menggeram. Indi menghentikan aksinya untuk sejenak. Gadis itu menajamkan telinga. Dengan berjinjit, ia menutup pintu lemari tempat ia mengambil panci tadi. Indi lupa tadi belum menguncinya. Gerakan itu menimbulkan suara decitan. Suara geraman semakin berdentum. Gawat. Indi mengaduh.

Air yang mendidih semakin menggelegak. Indi dihadapkan pada pilihan yang sulit; memeriksa penyebab keributan atau menunaikan hasratnya untuk segera menyantap mi instan. Suasana bertambah mencekam karena kali ini suara menggeram disertai dengan ketukan yang keras.

Tidak ada pilihan lain, Indi harus segera menuju sumber suara.

Dari dapur, Indi sudah setengah jalan untuk ke seberang ruangan. Pada saat yang bersamaan, tahu-tahu pintu rumah terbentang lebar. Ibunya masuk dengan membawa tas belanja yang berisi bahan makanan dengan daun bawang prei yang mencuat ke mana-mana.

“Ya, ampun, Indiii. Ini sudah mendidih, lho.” Bunda menurunkan tas secara sembarang dan mematikan kompor. “Bahaya tahu!” Dengan gayanya yang luwes, Bunda mengangkat panci setelah terlebih dahulu mengambil alas untuk pegangan.

Sebagai seorang ibu rumah tangga yang piawai dengan urusan dapur, Bunda melakukan petunjuk ketiga dalam menyajikan mi instan: Tuangkan mi dan kuahnya ke dalam mangkok, aduk dengan bumbu hingga merata. Indi meringis, harusnya dirinya sendiri yang melakukan hal itu.

“Nenek mana?” tanya Bunda.

Bertepatan dengan itu, suara pukulan terdengar lagi. Dengan dagunya, Indi menunjuk ke satu arah, yaitu kamar Nenek. Indi memerhatikan Bunda yang menghela napas panjang. Wajah ibunya itu tampak lelah. Sudah tiga tahun ini, air muka ibunya selalu seperti itu.

“Iya, sebentar,” teriak Bunda sewaktu ketukan-ketukan keras itu terdengar lagi. Ajaib, keributan yang sedari tadi mengisi suasana sekarang mereda.

Bunda menuju sumber bunyi, membuka pintu kamar, dan menemukan Nenek mengetuk-ngetuk pintu sambil meraung-raungkan suara yang tidak jelas. Bunda mengusap-usap lengan Nenek untuk menenangkannya. “Begini cara membukanya, Bu.” Bunda melonggarkan kepalan tangan Nenek dan menuntun tangan orang tua itu untuk memutar gagang pintu.

Beginilah keseharian yang dialami Indi sejak pindah ke rumah ini tiga tahun yang lalu. Pikiran Nenek sudah tidak setajam waktu muda dulu. Nenek sering tidak mengingat sesuatu. Bahkan, kadang-kadang lupa cara menyebutkan kata-kata untuk sekadar bisa berkomunikasi.

Indi mengedikkan bahu. Persoalan orang dewasa tidak seharusnya menjadi beban pikirannya juga, begitu Ayah selalu menasihatinya. Oleh karena itu, gadis SMP itu mengangkat mi instan ke meja makan. Tak sabar ia ingin memuaskan cacing-cacing perutnya yang sedari tadi sudah bernyanyi. Namun, ia masih harus mencuci tangan.

“Rita!”

Itu suara Nenek sedangkan Rita adalah nama ibunya. Indi menoleh dan mendapati air muka Nenek yang berseri-seri.

“Kau sudah pulang sekolah?” Tangan Bunda ditarik oleh Nenek. “Ayo, makan. Ibu sudah masak mi instan kesukaanmu.”

Bunda terpaku, begitu juga dengan Indi. Mereka sudah tidak ingat kapan Nenek mengingat Bunda sebagai anaknya. Indi melirik Bunda. Untuk pertama kali dalam tiga tahun ini, mata Bunda berbinar-binar. Senyum ibunya itu merekah.

“Wanginya pasti bikin kau lapar,” kata Nenek seraya menggamit lengan Bunda dan menuntunnya untuk duduk di meja makan.

Dengan kesadaran penuh, Indi menyingkir dari pandangan keduanya.

Di atas meja makan, telah tersedia mi instan yang sejatinya untuk mengobati rasa lapar yang diidap oleh Indi.

“Ayo, makanlah!” seru Nenek dengan penuh semangat.

Bunda mengalihkan pandangan ke arah Indi. Gadis SMP itu teringat akan petunjuk terakhir dalam memasak Indomi: Mi lezat siap disajikan.

Indi pun mengangguk-angguk pertanda ia membolehkan Bunda menyantap mi yang baru saja memicu ingatan Nenek untuk mengenali Bunda sebagai anaknya.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
I̶m̶Possible
Agung Rohmatulloh
Skrip Film
Perawan di Jalan Jaksa (script)
Yupitriani
Flash
PIL-KA-DES
M. Yofi Prayoga
Flash
Tiga Menit untuk Selamanya
SURIYANA
Novel
Sepotong Senja untuk Ibu
Maitra Tara
Flash
Pieces of Hearts B
Adinda Amalia
Novel
Goldfish
Gemi
Skrip Film
Membawamu pulang (Script Film)
Randy Satrya
Skrip Film
SATIRE
Astri Anggraeni
Skrip Film
Selingkuh yang diakibatkan Stress
Frederic Beslar
Skrip Film
Roti Lapis: The Story of Mbak-Mbak SCBD
layarkata
Flash
Bronze
Pine princces
Okhie vellino erianto
Skrip Film
WOLFDADDY (SCRIPT)
Jonem
Skrip Film
Before Tomorrow (SCRIPT)
Noor Cholis Hakim
Flash
Anonim di Argo Parahyangan
Cheri Nanas
Rekomendasi
Flash
Tiga Menit untuk Selamanya
SURIYANA
Cerpen
Kembar Satu Jiwa
SURIYANA
Flash
Tidak Hanya Wanita
SURIYANA
Novel
Cinta Ini Rasa Itu
SURIYANA
Flash
Apa Artinya Cinta
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Dear Mima
SURIYANA
Flash
Mengakhiri Kesendirian
SURIYANA
Cerpen
Usia 12
SURIYANA
Novel
Bronze
Pinjaman Berbunga Cinta
SURIYANA
Cerpen
Pashmina Perpisahan
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Cinta yang Tersisa
SURIYANA
Flash
Tumbal Tambal
SURIYANA
Flash
Bronze
BAHASA
SURIYANA
Flash
Badut
SURIYANA
Flash
TERLALU BAIK
SURIYANA