Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Ketika sudah ada pria yang melamarmu, dan kamu menolaknya, maka nantinya kamu akan susah lagi mendapat jodoh. Jangan terlalu terpaku pada cinta! Cinta bisa hadir melalui kebiasaan dan kebersamaan," tegas Ibu.
Aku menunduk sesaat, meresapi untaian kata yang terkesan memaksa nan cukup menguras mental. Ya, pernyataan Ibu memang ada benarnya. Namun, mengapa tidak ada tawaran ruang untuk saling mengenal terlebih dahulu?
Bukankah sebuah ikatan harus didasari rasa dan niatan yang suci? Bagaimana jika aku dilamar hanya untuk dijadikan seorang istri, sementara dia tidak mempersiapkan diri menjadi seorang suami?
"Bu, bertemu dengan dia saja, aku belum pernah sebelumnya—baru kali ini. Aku tidak tahu siapa dan bagaimana dia. Dia datang ke sini bersama keluarganya, mengaku sedang mencari seorang pendamping hidup. Tidakkah ini terlalu cepat, bahkan sampai mengarah pada membicarakan tanggal akad?" ungkapku gemetar sembari berusaha menahan air mata—tetapi akhirnya berjatuhan juga.
Tiba-tiba tangan kanan Bapak berayun ke arahku. Telapaknya nyaris mengenai pipiku seandainya Ibu tidak menghalangi.
Bapak memintaku untuk tidak membuat malu. Katanya, aku seharusnya bersyukur karena dipinang pria yang sudah mapan. Pria yang siap menanggung kehidupanku.
Entahlah. Aku bukan tak ingin melebarkan senyuman Ibu dan Bapak. Aku hanya belum siap jika harus berada dalam satu atap yang tak rapat—khawatir akan ada ratap setelahnya.