Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kuhampiri Ibu yang tengah menampi beras di dapur. Satu tarikan napas dihela panjang untuk mempermulus elegi yang ingin aku lantunkan.
"Bu, aku mau udahan. Aku udah nggak kuat dengan sikap dan perlakuan Mas Firman," ucapku sembari menahan laju air mata.
"Apa, Neng? Kamu mau pisah sama suamimu? Terus bagaimana nanti nasib anak-anakmu? Apa kamu sanggup membesarkan mereka berdua tanpa seorang suami; seorang bapak yang menafkahi?" Ibu menyambut dengan nada tinggi. Ini sungguh di luar perkiraanku.
"Bu…. Hampir setiap hari Mas Firman...."
Belum selesai aku merampungkan untaian hati, Ibu memenggal kalimatku.
"Pertengkaran dalam rumah tangga itu biasa. Seharusnya kamu bisa menempatkan diri: mendengarkan ucapan suamimu. Tidak mungkin ada asap tanpa ada api," katanya tanpa koma.
Aku bagai ditampar kecewa yang kudulang dari dalam dadaku sendiri. Sesak menyegak. Kata-kata yang menggaung dari mulut Ibu seperti sembilu yang menusuk ke rusuk.
Kukira ia akan mendengarkan keluhku penuh rasa. Nyatanya, aku seolah salah dalam menyajikan premis.
Aku lantas sodorkan rona merah keunguan yang menceplak di kedua tanganku. Bercak luka yan menumpuk dan mengendap akibat hentakan rotan dan telapak tangan suamiku.
"Apa susahnya menjadi istri yang memahami suami? Bukankah Ibu selalu mengajarkanmu untuk patuh kepada suamimu? Ingat, ada surga dalam bimbingannya!" tegas Ibu tanpa berani memandangku.
Aku kelu. Akal dan nurani ingin bersendawa.
Surga? Apakah jika aku mati di tangan suamiku, tempat tersebut dapat kucapai, sedangkan aku umpama menyerahkan hidupku untuk dikendalikan olehnya—pasrah pada nasib?
Memang, maut pasti akan menjemput setiap makhluk yang bernyawa. Aku sendiri bukan takut pada kematianku, melainkan aku takut kematianku membawa sengsara bagi kedua buah hatiku.
Bagaimana mereka menjalani hari ketika tak ada yang memeluk, membela, dan merawat?
***
Kata orang, cinta mampu membutakan dan menepikan logika. Sementara, aku masih sangat percaya bahwa cinta bisa menjadi jembatan yang menyatukan dua hati yang terisolasi. Akan tetapi, jika hanya aku yang mengaitkan bambu-bambu untuk menjadi jalan penghubung, bukankah hal tersebut layaknya meletakkan punggung untuk dijadikan alas kaki?!
Ibu duduk di teras, menatap lurus ke jalanan yang lengang. Aku coba mendekatinya lagi. Aku tak mau pembicaraan tadi pagi berakhir dengan tanda seru.
"Ibu dan ayahmu dulu menikah tanpa rasa cinta. Kami dijodohkan. Dan lihat sekarang! Kami masih bersama," ujarnya, memberikan penekanan—seolah tahu maksudku.
"Tapi, Bu...."
"Kamu harus belajar mengalah, bukan terus membantah. Statusmu sudah berubah, Neng," tandasnya—beranjak dari kursi. Ia tidak memberiku kesempatan untuk membuka ruang diskusi yang sedikit lebih lega.
Tempat berteduh tak lagi teduh. Aku bak keliru memprediksi cuaca. Tubuhku kuyup oleh ceritaku sendiri.
Aku merenung. Kuulas pernyataan Ibu. Aku bersedekap ditemani mendung. Ironi dan paradoks mengambang di atas kepala.
Bersama? Benar. Kebersamaan Ibu dan Ayah masih langgeng sampai sekarang. Namun, sedari kecil aku tak pernah melihat mereka meromantisasi waktu yang dimiliki. Justru pertengkaran dan pertengkaran mewarnai hari ketika kehidupan mengerutkan saraf-saraf di kening mereka.
Ibu bertahan demi anak-anaknya. Sementara itu, Ayah mempertahankan karena tak mau dicap gagal sebagai kepala rumah tangga.
Ibu tak ingin anak-anaknya hidup kesusahan dan nelangsa tanpa sosok seorang ayah. Padahal, tak ada seorang anak pun yang bahagia melihat surganya tersedu-sedu setiap hari.
***
Suara ayam bersahutan di udara, pertanda pagi menyongsong dengan riang. Hanya saja, ada keriuhan yang menggelegar yang menginterupsi kicauan para penyambut fajar.
Rasa penasaran pun membawa kakiku menuju sumber emosi. Terlihat Ibu berada di barisan keramaian.
"Ada apa ini, Bu?" tanyaku, memutar pandangan.
"Marni meninggal, Lis. Dia dihajar habis-habisan sama suaminya. Kasihan sekali! Mana anak-anaknya masih pada kecil." Tetanggaku yang berdiri di samping Ibu yang menjawab.
Sontak, tubuhku terasa lemas. Organ-organ menyebarkan kepiluan.
Tidak. Hal serupa tidak akan terjadi menimpaku.
Kulihat Ibu menyeka kedua sudut matanya. Setelah itu, ia menatapku dengan raut sayu. "Ayo pulang, Neng! Bentar lagi mau Subuh," ajaknya.
***
Aku pulang dengan ragu yang menganga, dengan bimbang yang membayang. Aku butuh sandaran. Di lain sisi, aku harus selalu tampil kuat di hadapan anak-anakku, Dean dan Lala.
Sesampainya di depan rumah, Mas Firman duduk di teras dengan sebatang rokok di tangannya. Dean dan Lala berlari menghampiri ayahnya. Mereka seakan rindu semalaman tak bertemu. Ya, bagi anak-anak, orang tua merupakan solo provider: penopang fisik, penyangga psikis—bagaimana pun perlakuan yang diterima oleh mereka.
“Bunda kok nggak ngabarin mau pulang jam segini? Kan Ayah bisa jemput?” ujar suamiku, pelan dan terdengar mesra.
Canggung dan bingung. Aku tidak tahu harus mengeluarkan kata-kata apa sebagai alasan. Namun, jika tidak menjawabnya, mungkin akan jadi petaka.
“Ayah ngerti. Sekarang pasti Bunda capek, kan? Ayah carikan makan malam dulu, ya. Bunda mau apa? Pizza, burger, sushi?”
“Bunda ikut saja. Terserah Ayah dan anak-anak,” ungkapku, lirih nan cemas.
Ya, perangai Mas Firman bagai awan yang menggantung di antara musim hujan dan kemarau. Sulit ditebak. Dia bisa begitu manis, tetapi setelahnya beringas. Aku takut itu mengulang kembali.
Mungkin kesangsianku juga yang menjadi penghambat. Penghambat sikapanya yang tak menetap pada satu rasa yang utuh.
Menit bergulir menjadi sejam. Dean dan Lala tertidur menunggu ayahnya. Aku pun tak sadar terlelap di samping mereka.
Tiba-tiba, Mas Firman membangunkanku. Bukan dengan sentuhan, melainkan menggeretku ke dapur.
“Aku capek-capek cari makan, kamu malah tidur,” kesahnya. “Aku juga tahu kamu habis mengadukan aku ke orang tuamu, kan? Kamu menjelek-jelekkan aku lagi, kan?”
Satu pukulan mendarat di kepalaku. Sangat keras hingga aku tersungkur ke lantai, dan pandanganku kabur.
“Masalah rumah tangga tidak seharusnya kamu ceritakan ke luar,” bentaknya.
Aku berusaha bangkit. Aku tak mau diam lagi—tunduk pada amarahnya.
“Aku berhak mendapatkan perlindungan dari keluargaku. Aku ini bukan boneka yang kamu beli dari orang tuaku,” satirku seraya menjaga jarak darinya.
Mas Firman mengambil pisau dapur. Dia mengancam akan menyayat wajahku. Aku tak memiliki ruang untuk kabur, tetapi aku juga tak mungkin bertarung dengannya.
Di tengah kekalutanku, Dean dan Lala tergugah. Mereka berlari mendekapku. Tak kusangka, mereka bersama para tetangga.
Mas Firman diamankan dengan cepat. Dia meraung-raung meminta maaf dan mengaku khilaf.
Aku memaafkannya, tetapi tidak untuk bersamanya lagi. Siklusnya terus berulang: membuat lebam, kemudian bersimpuhnya, lalu air mata dan janji yang sama yang selalu dilanggar.
Kukecup kening Dean dan Lala. Aku tahu hati mereka mungkin terlalu muda untuk mengerti. Semoga mereka tidak akan menyalahkan apa pun. Cinta seharusnya tidak menyakitkan.