Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Rumah Tanpa Isinya
2
Suka
6,361
Dibaca

Kuhampiri Ibu yang tengah menampi beras di dapur. Satu tarikan napas dihela panjang untuk mempermulus elegi yang ingin aku lantunkan.

"Bu, aku mau udahan. Aku udah nggak kuat dengan sikap dan perlakuan Mas Firman," ucapku sembari menahan laju air mata.

"Apa, Neng? Kamu mau pisah sama suamimu? Terus bagaimana nanti nasib anak-anakmu? Apa kamu sanggup membesarkan mereka berdua tanpa seorang suami; seorang bapak yang menafkahi?" Ibu menyambut dengan nada tinggi. Ini sungguh di luar perkiraanku.

"Bu… Hampir setiap hari Mas Firman..."

Belum selesai aku merampungkan untaian hati, Ibu memenggal kalimatku.

"Pertengkaran dalam rumah tangga itu biasa. Tempatkan dirimu dengan benar, dengarkan ucapan suamimu. Tidak mungkin ada asap tanpa ada api," katanya tanpa koma.

Aku bagai ditampar kecewa yang kudulang dari dalam dadaku sendiri. Sesak menyegak. Kata-kata yang menggaung dari mulut Ibu seperti sembilu yang menusuk ke rusuk.

Kukira ia akan mendengarkan keluhku penuh rasa. Nyatanya, aku seolah salah dalam menyajikan premis.

Aku lantas sodorkan rona merah keunguan yang menceplak di kedua tanganku. Bercak luka yan menumpuk dan mengendap akibat hentakan rotan dan telapak tangan suamiku.

"Apa susahnya menjadi istri yang memahami suami? Bukankah Ibu selalu mengajarkanmu untuk patuh kepada suamimu? Ingat, ada surga dalam bimbingannya!" tegas Ibu tanpa berani memandangku.

Aku kelu. Akal dan nurani ingin bersendawa.

Surga? Apakah jika aku mati di tangan suamiku, tempat tersebut dapat kucapai, sedangkan aku umpama menyerahkan hidupku untuk dikendalikan olehnya. Haruskah pasrah pada nasib begitu saja?

Memang, maut pasti akan menjemput setiap makhluk yang bernyawa. Aku sendiri bukan takut pada kematianku, melainkan aku takut kematianku membawa sengsara bagi kedua buah hatiku.

Bagaimana mereka menjalani hari ketika tak ada yang memeluk, membela, dan merawat?

***

Kata orang, cinta mampu membutakan dan menepikan logika. Sementara, aku masih sangat percaya bahwa cinta bisa menjadi jembatan yang menyatukan dua hati yang terisolasi. Akan tetapi, jika hanya aku yang mengaitkan bambu-bambu untuk menjadi jalan penghubung, bukankah hal tersebut layaknya meletakkan punggung untuk dijadikan alas kaki?!

Ibu duduk di teras, menatap lurus ke jalanan yang lengang. Aku coba mendekatinya lagi. Aku tak mau pembicaraan tadi pagi berakhir dengan tanda seru.

"Ibu dan ayahmu dulu menikah tanpa rasa cinta. Kami dijodohkan. Dan lihat sekarang! Kami masih bersama," ujarnya, memberikan penekanan, seolah tahu maksudku.

"Tapi Bu..."

"Kamu musti belajar mengalah, bukan terus membantah. Statusmu sudah berubah, Neng," tandasnya, beranjak dari kursi. Ia tidak memberiku kesempatan untuk membuka ruang diskusi yang sedikit lebih lega.

Tempat berteduh tak lagi teduh. Aku bak keliru memprediksi cuaca. Tubuhku kuyup oleh ceritaku sendiri.

Aku merenung. Kuulas pernyataan Ibu. Aku bersedekap ditemani mendung. Ironi dan paradoks mengambang di atas kepala.

Bersama? Benar. Kebersamaan Ibu dan Ayah masih langgeng sampai sekarang. Namun, sedari kecil aku tak pernah melihat mereka meromantisasi waktu yang dimiliki. Justru pertengkaran dan pertengkaran mewarnai hari ketika kehidupan mengerutkan saraf-saraf di kening mereka.

Ibu bertahan demi anak-anaknya. Sementara itu, Ayah mempertahankan karena tak mau dicap gagal sebagai kepala rumah tangga.

Ibu tak ingin anak-anaknya hidup kesusahan dan nelangsa tanpa sosok seorang ayah. Padahal, tak ada seorang anak pun yang bahagia melihat surganya tersedu-sedu setiap hari.

***

Suara ayam bersahutan di udara, pertanda pagi menyongsong dengan riang. Hanya saja, ada keriuhan yang menggelegar yang menginterupsi kicauan para penyambut fajar.

Rasa penasaran pun membawa kakiku menuju sumber emosi. Terlihat Ibu berada di barisan keramaian.

"Ada apa ini, Bu?" tanyaku, memutar pandangan.

"Marni meninggal, Lis. Dia dihajar habis-habisan sama suaminya. Kasihan sekali! Mana anak-anaknya masih pada kecil." Tetanggaku yang berdiri di samping Ibu yang menjawab.

Sontak, tubuhku terasa lemas. Organ-organ menyebarkan kepiluan.

Tidak. Hal serupa tidak akan terjadi menimpaku.

Kulihat Ibu menyeka kedua sudut matanya. Setelah itu, ia menatapku dengan raut sayu. "Ayo pulang, Neng! Bentar lagi mau Subuh," ajaknya.

***

Aku pulang dengan ragu yang menganga, dengan bimbang yang membayang. Aku butuh sandaran. Di lain sisi, aku harus selalu tampil kuat di hadapan anak-anakku, Dean dan Lala.

Sesampainya di depan rumah, Mas Firman duduk di teras dengan sebatang rokok di tangannya. Dean dan Lala berlari menghampiri ayahnya. Mereka seakan rindu semalaman tak bertemu. Ya, bagi anak-anak, orang tua merupakan solo provider: penopang fisik, penyangga psikis.

“Bunda kok nggak ngabarin mau pulang jam segini? Kan Ayah bisa jemput?” ujar suamiku, pelan dan terdengar mesra.

Canggung dan bingung. Aku tak punya kata sebagai alasan. Namun, jika tidak menjawabnya, mungkin akan jadi petaka.

“Ayah ngerti. Sekarang pasti Bunda capek, kan? Ayah carikan makan malam dulu, ya. Bunda mau apa? Pizza, burger, sushi?”

“Bunda ikut saja. Terserah Ayah dan anak-anak,” ungkapku, lirih nan cemas.

 Ya, perangai Mas Firman bagai awan yang menggantung di antara musim hujan dan kemarau. Sulit ditebak. Dia bisa begitu manis, tetapi setelahnya beringas. Aku takut itu mengulang kembali.

Mungkin kesangsianku juga yang menjadi penghambat. Penghambat sikapanya yang tak menetap pada satu rasa yang utuh.

Menit bergulir menjadi sejam. Dean dan Lala tertidur menunggu ayahnya. Aku pun tak sadar terlelap di samping mereka.

Tiba-tiba, Mas Firman membangunkanku. Bukan dengan sentuhan, melainkan menggeretku ke dapur.

“Aku capek-capek cari makan, kamu malah tidur,” kesahnya. “Aku juga tahu kamu habis mengadukan aku ke orang tuamu, kan? Kamu menjelek-jelekkan aku lagi, kan?”

Satu pukulan mendarat di kepalaku. Sangat keras hingga aku tersungkur ke lantai, dan pandanganku kabur.

“Masalah rumah tangga tidak semestinya kamu ceritakan ke luar,” bentaknya.

Aku berusaha bangkit. Aku tak mau diam lagi, tunduk pada amarahnya.

“Aku berhak mendapatkan perlindungan dari keluargaku. Aku ini bukan boneka yang kamu beli dari orang tuaku,” satirku seraya menjaga jarak darinya.

Mas Firman mengambil pisau dapur. Dia mengancam akan menyayat wajahku. Aku tak memiliki ruang untuk kabur, tetapi aku juga tak mungkin bertarung dengannya.

Di tengah kekalutanku, Dean dan Lala tergugah. Mereka berlari mendekapku. Tak kusangka, mereka bersama para tetangga.

Mas Firman diamankan dengan cepat. Dia meraung-raung meminta maaf dan mengaku khilaf.

Aku memaafkannya, tetapi tidak untuk bersamanya lagi. Siklusnya terus berulang: membuat lebam, kemudian bersimpuhnya, lalu air mata dan janji yang sama yang selalu dilanggar.

Kukecup kening Dean dan Lala. Aku tahu hati mereka mungkin terlalu muda untuk mengerti. Semoga mereka tidak akan menyalahkan apa pun. Cinta seharusnya tidak menyakitkan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
Rumah Tanpa Isinya
Jasma Ryadi
Novel
Bronze
Bandara Changi tunggu Aku
Iis Siti Napisah
Skrip Film
Gue Anak IPA
Gading A
Flash
Six Feet Apart
Thata Adi
Flash
Bronze
Sebilah Lidah
Silvarani
Skrip Film
Sari Cinta Pelangi
Gaharu Cakrawala
Skrip Film
Jarak Kita-Script Film (Skenario Film)
Caressa
Skrip Film
SKETSA JODOH
Kim Hakimi
Flash
Ayah
Nellamuni
Flash
Bronze
A Rose and A Bride
Lail Arahma
Cerpen
Kesaksian Si Cicak
Indah Thaher
Cerpen
Seminggu tanpa Gawai
Rie Yanti
Novel
LAUT DAN UDARA
ajitio puspo utomo
Novel
Dream
Seftiana kurniati
Novel
With You I'm Okay
Nadia Amalia
Rekomendasi
Flash
Rumah Tanpa Isinya
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Sore Hari Setelah Ibu Tiada
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Anita dan Penghuni Lain
Jasma Ryadi
Flash
Aroma Pukul Tiga Pagi
Jasma Ryadi
Flash
Gema yang Redup
Jasma Ryadi
Flash
Semangkuk Bakso
Jasma Ryadi
Flash
Diam yang Menghukum
Jasma Ryadi
Flash
Bulan ke-10
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Tanganku di Timur, Hatimu di Barat
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Mereka yang Membawa Pertanda
Jasma Ryadi
Flash
Jejak
Jasma Ryadi
Novel
Mereka di Sini
Jasma Ryadi
Flash
Jangan Menimpali!
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Mereka yang Masih di Dalam
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Orang yang Sama
Jasma Ryadi