Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Kalau boleh tahu, buku tentang apa yang sedang kau kerjakan?" tanya gadis itu setelah menaruh secangkir teh di samping laptop pria tersebut.
Ia ingat kejadian tempo hari kala cangkir berisi teh itu tumpah mengenai laptop pria tersebut karena ia meletakkannya terlalu dekat. Itu mengapa cangkir yang ia letakkan berjarak agak jauh hingga pria itu juga sedikit kesulitan meraihnya.
Pria tersebut tersenyum ke arahnya, memberikan isyarat pada gadis itu untuk duduk di sebelahnya. Gadis itu menurut, sekalian saja ia menyender pada bahu sang pria yang terasa sangat nyaman.
"Ini tentang pohon muntingia," jawab sang pria seraya menghirup dalam-dalam wangi rambut gadis itu. Aroma semerbak stroberi dari samponya masih tercium meski hari telah petang. Tahan lama, ya.
Ia jadi ingat kala ia menemani gadis itu berbelanja di swalayan. Gadis itu terus menggerutu karena sampo yang dicarinya kehabisan stok. Saat itu ia bertanya mengapa tidak memilih yang lain dan gadis itu menjawab, "Itu sangat berbeda! Apalagi kita tidak boleh berganti-ganti merk shampo karena perbedaan kandungannya bisa saja membuat rambut kita rusak. Terlebih, aku sudah terbiasa dengan aromanya dan wanginya tahan lama."
"Kenapa pohon muntingia?"
Pertanyaan itu membuyarkan lamunan sang pria.
Ia tersenyum gemas melihat gadis di sampingnya yang memiliki keingintahuan tinggi. Sejenak ia biarkan kursor yang terus berkedip di laptopnya. Pekerjaan bisa menunggu tapi tidak dengan rasa penasaran gadis itu.
Ia melingkarkan tangannya pada pinggang gadis itu, mendekapnya erat hingga tak ada lagi sekat di antara mereka dan menyandarkan kepalanya di ceruk leher sang gadis. Posisi yang selalu ia suka.
"Hmm … pohon muntingia ya ... mengapa aku menuliskan tentangnya? Karena di sana kenangan tentang masa kecilku hidup."
"Jauh di sana … di sebuah taman kompleks, tumbuh pohon muntingia yang tidak terlalu besar untuk seukuran orang dewasa tapi cukup tinggi untuk anak berumur lima tahun.
Setiap sore, kami memetik buahnya dengan bantuan tongkat kayu yang di atasnya telah disambung dengan botol yang sebelumnya telah kami belah dua. Kemudian entah darimana datangnya, kami melihat ada tembaga yang panjang dan melengkung bersandar di pohon itu, memudahkan kami untuk memanjat. Itu mempermudah kami berburu muntingia.
Jika tidak ada buahnya, kami seringkali bersantai di atas pohon, melihat para bocah remaja yang bermain sepak bola di lapangan dari atas. Kadangkala pohon muntingia itu dapat menjadi tempat persembunyian atau tempat untuk menakut-nakuti anak perempuan saat malam."
Ia terkekeh sebentar mengingat kejadian waktu itu. Entah sejak kapan pandangannya berubah menjadi lebih sendu.
"Setidaknya itu yang aku ingat sebelum aku kembali pindah rumah."
Ia mengatakannya sambil terkekeh.
Gadis itu sepertinya mulai mengerti dengan perasaan sang pria. Hidup dengan berpindah-pindah tempat tidak semenyenangkan itu. Ia pasti merasakan pertemuan dan perpisahan yang seakan terburu-buru. Semua kejadian yang ia alami terasa begitu cepat berlalu. Dan tentang kenangan itu … pastilah sangat repot untuk mencari kepingan demi kepingan kenangan yang tersebar ke berbagai penjuru, mengingat masa kecil yang ia jalani tak hanya ada di satu tempat. Mungkin hatinya begitu was-was dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Bahkan tak dipungkiri, saat ini pun, mungkin saja yang dipikirkannya adalah seberapa lama lagi ia menetap atau seberapa cepat lagi ia akan pergi.
Gadis itu menggenggam erat tangan sang pria yang saat ini masih merangkulnya.
"Apa kau pernah mengunjunginya lagi?" tanyanya.
"Tentu, tapi … pohon itu sudah tidak ada."
"Mak–maksudmu?? Pohon itu ditebang?! Te–tega sekali …."
Tanpa terasa, air matanya mengalir begitu saja.
Sang pria yang menyadarinya mengecup pipi gadis itu, menghapus aliran sungai kecil di pipinya. Ah, gadisnya ini mudah sekali menangis. Hatinya selembut kapas.
"Tidak apa-apa, pohon itu ditebang karena sudah cukup tua. Kau tahu apa yang kutemui? Pohon muntingia itu … telah berubah menjadi posyandu. Pada akhirnya tempat itu sama-sama menjadi tempat berkumpulnya anak-anak, bahkan lebih bermanfaat, bukan? Aku tak pernah keberatan atas apa yang terjadi.
Meskipun bentuk pohonnya sudah tidak ada, meskipun bentuknya telah berubah, bagiku pohon ceri itu tetap ada di sana. Aku tetap bisa melihatnya karena kenangan itu. Kenangan tidak akan pernah meninggalkan kita, selama kita masih bisa mengingat tentangnya, ia akan tetap ada, mengiringi kemanapun langkahku pergi."
"Tapi kau tidak akan bisa mengingatnya lagi kalau sakit. Alzheimer atau amnesia misalnya."
"Itu mengapa aku menuliskannya, Sayang. Sebelum itu terjadi, aku akan mengabadikannya. Maka saat aku mulai pikun nanti, aku bisa membacanya berulang kali. Aku akan tetap mengingatnya. Aku akan tetap hidup bersama kenangan itu."