Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Self Improvement
Seplastik Anggur Merah yang Dioplos Keinginan Insaf
27
Suka
238
Dibaca

Langkahku terasa agak gontai namun pandanganku masih awas. Meski bulan sudah memulai shift kerjanya sedari tadi, aku bersumpah masih bisa melihat keadaan sekeliling.

Termasuk menghindari got-got di sepanjang kiri dan kanan jalan lingkungan tempatku tinggal ini. Aku jadi teringat seorang pejabat kelurahan sini yang kecebur got waktu nyari muka masyarakat setempat, berkampanye, demi memuluskan jalannya menuju singgasana camat. Aku masih merasa geli sendiri kalau mengingatnya.

Tapi perasaanku kembali ngedumel gara-gara teman-temanku batal hadir buat mabora (mabok rame-rame) di tempat biasa. Tempat yang aku maksud itu dulunya adalah pangkalan ojek, namun belakangan sepi karena para penarik ojeknya rata-rata sudah bergabung menjadi mitra ojol. Mereka terpaksa menerima disebut mitra, yang menyiratkan kerja sama saling menguntungkan meski kenyataannya sudah sekian kali berdemo, karena merasa dirugikan oleh pihak aplikator.

Sayangnya aku tidak bisa menyalahkan teman-temanku sepenuhnya. Di malam yang sumuk ini, aku akui, memang kurang pas memanaskan kerongkongan dengan amer, setidaknya begitu menurutku. Sebenarnya aku cuma ingin nongkrong, dan kebetulan ameran merupakan salah satu ritual nongkrong kami, jadinya aku bawa. Mungkin faktor temperatur juga yang bikin ajakanku tidak mempan di hadapan mereka kali ini. Segelas besar teh manis pakai batu es jelas lebih menggoda. 

Mau tak mau, aku minum sendirian menggunakan gelas plastik, walau tak sampai habis. Maka sebagian amer yang tersisa di botol aku masukkan ke kantong plastik seperapatan (bisa jadi lebih besar dari itu, aku tidak hafal ukuran plastik, tapi jenis plastiknya seperti yang seperapatan: berbentuk kotak dan tidak berwarna, bening). Kemudian aku cekik leher plastik untuk menentengnya pulang, dan akan kusimpan buat besok saja, daripada mubazir seandainya dibuang.

“Ton… Tono!” tiba-tiba ada suara memanggilku dalam perjalanan, arahnya dari belokan jalan di sebelah kananku. Aku menoleh, di situ ada salah seorang tetanggaku, Mas Didi, sedang duduk-duduk di pos ronda. 

“Ada apa, Mas?” tanyaku ketika langkah kakiku sudah berada di dekatnya.

“Kamu masih doyan beginian?” Ia malah balik bertanya begitu matanya melirik minuman haram di tanganku.

“Penginnya, sih, berhenti, Mas, tapi susah juga, ya,” jawabku sekenanya sambil cengengesan.

“Aduh, sayang banget, dong, kamu ke musala sehari lima kali.”

“Ternyata menjauhi larangan-Nya nggak semudah mematuhi perintah-Nya, Mas.”

Sebelum Mas Didi berkata lagi, aku segera menyambung, “Kalau Mas sendiri, gimana bisa berhenti dari perbuatan maksiat? Saya juga mau, Mas, atau setidaknya mengurangi, deh.”

Jadi, Mas Didi ini dulunya sebelas dua belas denganku. Ia dulu juga suka nongkrong bareng di pangkalan ojek, bahkan lebih dulu daripada aku dan teman-temanku. Mas Didi paling hobi main judi kartu gaple. Dan sedikit banyak, dari dirinyalah aku mulai berkenalan dengan miras. Maka ketika tadi dia bertanya soal aku masih suka meminumnya, di telingaku terdengar laksana basa-basi.

Kulihat Mas Didi berusaha menepuk nyamuk yang hinggap di lengannya (dan gagal) yang masih menyisakan tato motif tribal. Dalam pandangan sebagian orang, tato tersebut mungkin nampak keren, tapi jujur, buatku justru kelihatan norak. Soalnya, aku sering melihat motif-motif seperti itu dijadikan stiker yang kerap menempel di motor-motor trondol. Tahu, kan, maksud dari motor trondol? Itu, lho, sepeda motor yang nyaris semua bodinya dilepas hingga hanya menyisakan sedikit saja, biasanya di kedua sisi sekitar bawah jok atau di kepalanya. Nah, pada bodi motor yang tersisa itulah cutting sticker berbentuk motif tribal biasanya mejeng.

Ketika Mas Didi sudah menyerah dalam pengejaran nyamuk incarannya, ia memberi jawaban, yang cukup mengejutkanku. Aku mengira dia bakal menasehatiku panjang lebar dibungkus berlembar-lembar wejangan. Tapi pria berusia 40-an ini cuma bilang, “Gampang aja, kok.”

Dan yang bikin aku makin penasaran, ketika dia ngomong soal caranya. “Bahkan caranya juga enak, santai sesantai-santainya. Kalah, santai di pantai.”

Langsung aku ambil posisi duduk di sampingnya seraya bertanya secara klise, ”Gimana, tuh, Mas?” seperti di sinetron-sinetron komedi yang, entah bagaimana, kita tahu kalau adegan selanjutnya bakal kurang lucu.

Tapi Mas Didi malah bangkit dan meletakkan kedua telapak tangan di pinggang belakangnya, lalu meregangkan pinggang itu ke belakang sejenak. Gelagatnya seperti orang mau beranjak.

Betul saja. 

“Aku pulang dulu, Ton, sudah mulai ngantuk, nih, mau tidur,” katanya sambil kedua kakinya mencari-cari sandal jepit miliknya di lantai pos ronda.

“Loooh, Mas Didi gimana, sih, belum ngasih tau aku gimana cara menjauhi larangan-Nya, kok, malah mau tidur? Aku sudah siap nyimak, nih.” Lalu aku menambahkan dengan nada sedikit mengejek, “Kayak orok aja, hari gini udah ngantuk.”

Sebenarnya sudah telat kalau malam disebut masih awal. Tapi karena, dulu, Mas Didi biasa nongkrong, main judi, dan menenggak anggur merah bareng sampai begadang, jelas jam yang belum menggenapi pukul 10 malam ini terlampau dini buatku.

“Justru itu poinnya,” jawab Mas Didi dengan jari telunjuknya mengarah kepadaku.

“Dengan tidur,” dirinya mulai menjelaskan, “kita, kan, jadi menghindari perbuatan-perbuatan maksiat. Di zaman sekarang ini, ketika aktivitas sudah nggak lagi kenal waktu, nggak ada hentinya meski sudah malam, tidur makin bernilai. Baik itu nilai kesehatannya, maupun nilai ibadahnya jika kita niatkan untuk menghindarkan diri dari kemaksiatan.”

“Wah, betul juga, Mas,” sahutku. Pasti wajahku tengah bersilih antara ekspresi tercerahkan dan mimik blo’on.

“Enak, kan?” tambah Mas Didi, “Menjauhi larangan-Nya tinggal tidur aja.”

Akhirnya aku memutuskan untuk bergegas pulang juga. 

Di kamarku, di atas kasur tipis berlapis seprai yang tidak rapi-rapi amat dan digelar di lantai, aku merebahkan badan sambil kemudian memejamkan kedua mata, berikhtiar tidur.

Aku teringat seplastik amerku tertinggal di pos ronda.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Flash
Seplastik Anggur Merah yang Dioplos Keinginan Insaf
Ryan Esa
Flash
Hidupku
winda aprillia
Cerpen
Bronze
Kenapa Tidak Boleh?
Anggrek Handayani
Cerpen
Bronze
Takdir Mati
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Bunga Busuk yang Mekar di Bibirmu
Titin Widyawati
Novel
Skenario Tuhan (Gadis 12 Kali Operasi)
Mega Kembar
Flash
A PIECE OF LIFE ABOUT ME
Kimijuliaaa
Flash
Ingin hidup tenang
moh nabil ardiansyah
Flash
Langkah Pertama
Penulis N
Flash
Senyap dalam Kepala
Ika nurpitasari
Flash
Di Balik Mata Pisces: "Ketika Mimpi Bertemu Realita"
Alya Nazira
Cerpen
Bronze
Dari 50 ribu ke 1 miliyar Budidaya Belalang
Putut Dwiffalupi Sukmadewa
Cerpen
Bronze
Tentang Cinta
Bang Jay
Novel
Antara mesin produksi dan hati yang remuk
Bang Jay
Cerpen
Bronze
Mencari Jati Diri
Bang Jay
Rekomendasi
Flash
Seplastik Anggur Merah yang Dioplos Keinginan Insaf
Ryan Esa
Cerpen
Pembunuhan di Indomarket
Ryan Esa
Cerpen
Royadi dan Jin Ifrit dari dalam Kendi
Ryan Esa
Cerpen
Jangan Mati Dulu, Dong, Bruh
Ryan Esa
Cerpen
Sepenggal Zaman Terhenti di 2025
Ryan Esa
Cerpen
Suara Gemerincing Kereta Kencana Misterius Melaju Membelah Malam
Ryan Esa
Cerpen
Insta Story Harga Mati
Ryan Esa