Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Kesempatan Kedua
1
Suka
114
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Aku pasrah. Aku jadi kebal. Sudah mati rasa ketika dokter memvonis waktuku hanya tersisa seminggu. Bahkan menangis pun sulit, air mata rasanya membeku di pelupuk. Ibu terduduk lemas dengan mata sembab memandangku iba.

"Sudahlah bu, kita terima saja. Aku ikhlas."

"Tapi ibu belum bisa sayang..."

"Ibu tidak akan terbiasa melihat rumah sunyi tanpa suara cerewetmu. Ibu dulu paling benci, tapi sekarang...." ibu menunduk, menggigit bibirnya, agar tangisnya tak tumpah. Aku tak mau membiarkan ledakan tangisnya.

Aku mengalihkannya, menggamit lengannya. "Bu, aku mau mengganti setiap detik yang tersisa kalau bisa, selama ini aku sibuk dan tidak pernah mendengarkan ibu."

"Kamu mau bikin ibumu nangis lagi?"

"Baiklah..."

"Bu, aku mau Ibu suapin klappertart bikinan ibu lagi, aku akan terus memakannya sampai waktunya tiba."

"Ssstt, jangan asal bicara!" Lantas ibu sengaja menyuapiku dengan potongan besar kue buatannya untuk menutup mulutku.

Aku protes karena suapan besar itu nyaris membuatku sesak. Ibu tertawa. Aku tiba-tiba baru menyadari jika tawa itu ternyata begitu indah. Aku melupakannya selama ini. Dekat tapi terasa jauh.

***

Seorang perawat tiba-tiba masuk memeriksa infus dan oksigen. Ibu menggeser duduknya tak jauh. Menatap wajahku cemas.

“Suster, boleh nggak aku lepas selang ini? Risih rasanya.”

“Kondisimu belum stabil. Kami tak bisa ambil risiko.” perawat menjawabku tanpa menoleh. 

Aku lihat ibu tiba-tiba berpaling membelakangiku menghadap jendela ke arah langit keruh dengan comulunimbus yang hitam pekat. Dan berbalik lagi saat perawat pergi.

"Kamu baik-baik saja?"

“Maksud Ibu?”

Ia tak menjawab. Tapi aku segera tersadar, kadang, orang yang hampir pergi akan terlihat lebih sehat. Seperti pamit tanpa kata.

"Bu..., aku gembira karena ibu ada di sini. Aku nggak suka ada selang oksigennya, rasanya seperti selang astronot."

Aku melihat bersit senyum berganti tawa yang tadi ditahannya.

"Kamu nggak pernah berubah!"

"Jadi ibu mau aku diam-diam bae?"

Kali ini kami lepas tertawa. Kesedihan terbang sejenak, suasana menghangat.

"Mau apel? Ujar ibu memecah kebekuan.

"Ibu kok baik?"

Spontan ibu menyentil dahiku sambil menyipitkan mata seolah tak percaya aku bertanya begitu. Lalu menyuapiku potongan apel.

"Bu, seandainya ada keajaiban mesin waktu, aku mau memutar ulang semuanya."

"Katanya sudah ikhlas"?

"Iya, tapi berharap kan boleh, aku selalu memohon dalam doa-doaku."

Ibu mengangguk mengiyakan.

"Tapi jika memang Tuhan lebih sayang sama aku, kita terima takdir ini ya bu." ujarku sambil memeluk ibu hangat. Ibu membeku lagi.

***

Hujan turun sejak pagi tadi, suhu di ruangan terasa lebih dingin. Dari tempatku berbaring aku bisa memandangi tempias yang berlarian di kaca jendela. Aku melamun, menatap hujan. Aku suka hujan. Tapi hujan kali ini membuatku murung untuk pertama kalinya. Mungkin karena diagnosa menyebut sisa hidupnya tinggal sejenak.

Tiba-tiba pintu bangsal terbuka, dokter datang. Ia terlihat gelisah. Ibu langsung berdiri, wajahnya pucat.

“Saya… saya minta maaf. Kami melakukan kesalahan besar,” katanya pelan. “Putri ibu bukan pasien dengan vonis itu. Ada kekeliruan sistem. Diagnosa salah kirim. Diva hanya perlu pemulihan. Besok sudah bisa pulang.”

Aku dan Ibu berpandangan, lalu membeku.

Aku ingin tertawa, menangis, berteriak—semuanya sekaligus. Tapi tubuhku hanya bisa memandang langit-langit. Apa ini mimpi?

“Ini keajaiban, Bu?” bisikku lirih.

Ibu menggenggamku erat. “Atau Tuhan memang mendengar doamu.”

***

Tapi di meja kecil dekat ranjang, ada map rekam medis, tertulis catatan. Pasien Diva Rahmadani. Diagnosa awal keliru. Hasil MRI terakhir menunjukkan aktivitas abnormal di lobus frontal—indikasi tumor stadium lanjut yang tidak terdeteksi sebelumnya.

Tanganku gemetar.

Seminggu itu ternyata bukan kesalahan sistem?. Jadi, mereka hanya… belum siap memberi tahuku kabar buruknya?

Aku menangis sendiri, bukan karena takut, tapi karena untuk pertama kalinya dalam seminggu ini... aku tahu bagaimana rasanya benar-benar hidup.

Tiba-tiba aku berharap kesempatan kedua itu akan benar-benar ada.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Renjana Untuk Rabbania
Elis Yulianti N
Skrip Film
semesta
MiiraR
Flash
Year '39
Impy Island
Flash
Kesempatan Kedua
Hans Wysiwyg
Novel
Bronze
PELANGI TANPA WARNA
Mahfrizha Kifani
Komik
Tibu & Ireng
faisal hidayat
Komik
Bronze
Fight 4 Real
Sakumora Kanata
Flash
Bronze
Time Alone
DMRamdhan
Novel
Bau Peapi
Reni Hujan
Novel
Bronze
Surat Yang Tak Terbalas
Lail Arrubiya
Skrip Film
Senja di Teluk Bara (Script)
Nurbaya Pulhehe
Skrip Film
LOVE IS TRAGEDY
Novi Assyadiyah
Flash
Jam Pelajaran
Fatimah Ar-Rahma
Cerpen
Bronze
Memories of love
Ika nurpitasari
Cerpen
Keluarga Besar Kecil
Esde Em
Rekomendasi
Flash
Kesempatan Kedua
Hans Wysiwyg
Cerpen
Terjebak Rasa
Hans Wysiwyg
Flash
Di Bawah Langit Jogja
Hans Wysiwyg
Flash
DUNIA JUNGKIR BALIK
Hans Wysiwyg
Flash
PARMIN DAN BURUNG MAJIKAN
Hans Wysiwyg
Flash
Suami Terba(l)ik
Hans Wysiwyg
Flash
SOULMATE
Hans Wysiwyg
Flash
DINARA Tak Ada Lagi Jalan Pulang
Hans Wysiwyg
Flash
ORANG DALAM
Hans Wysiwyg
Flash
Bangku Kosong di Baris Kedua
Hans Wysiwyg
Flash
Sebelas-Duabelas
Hans Wysiwyg
Cerpen
KOTAK MERAH
Hans Wysiwyg
Flash
Rumina dan Dunia yang Membisu
Hans Wysiwyg
Flash
Tertawan Hati
Hans Wysiwyg
Flash
Cerita Baper
Hans Wysiwyg