Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Semakin usia bertambah dan semakin kesakitan bertumpuk menjadi pengalaman, rasanya sudah tidak ingin lagi bercanda dengan perasaan. Bukan tidak memikirkan untuk merengkuh ikatan atau jalinan yang resmi, tetapi sedang tidak ingin membuang waktu untuk merayu takdir.
“Aku udah nggak bisa lagi sama kamu. Mulai malam ini, kita kembali menjadi teman biasa saja,” katanya, tanpa memberikan penjelasan.
Aku tak menyangka hubungan yang terbebas dari badai ternyata menyimpan hasrat perpisahan di dirinya. Sedih itu pasti. Walaupun hati sudah terlatih memperbaiki kerusakannya secara mandiri, namun – tentunya – akan lebih menyedihkan memaksakan sebuah rasa yang tidak lagi bersahutan.
Kaki berderap lesu meniti malam setelah mengantarnya pulang. Gagal dan tidak percaya diri menguntit dari belakang.
Lantas, mengapa aku tidak bertanya alasan dia memutuskan cerita cinta ini?
Ah, terkadang tidak tahu lebih menenangkan. Aku sedang berada di tahap menerima keputusan tanpa perlu lagi mempertanyakan dasarnya.
Barangkali karena itu pula aku tidak terpukul saat kehilangan pekerjaan bulan lalu. Seolah-olah hidup sedang menyampaikan pelajaran serupa dalam dua bentuk yang berbeda: cinta dan karier, sama-sama mengajarkan untuk melepas.
Aku dipecat dengan alasan kinerjaku dianggap terus menurun. Surat pemberhentian itu kusetujui, meski tetap membingungkanku. Rekan-rekan kerja mendorongku untuk mengajukan banding. Menurut mereka, sang atasan punya masalah personal denganku. Mereka menilai, aku masih cukup layak untuk dipertahankan.
Hah! Daripada mengemis belas kasih, aku merasa lebih baik menatap ke dalam dan melakukan evaluasi, bukan menghiba posisi.
Hadapi, jalani, dan tekuri semua yang menempa asa. Mengawang dan menerawang, untuk saat ini, hanya mengundang awan kelabu.
Ya, kehilangan demi kehilangan terasa bagai sebuah pola yang ditekankan oleh semesta. Sayangnya, gelombang kerapkali datang dari luar – padahal aku tak memicunya.
Ketika aku sampai di rumah, si dia mengirimkanku sebuah pesan WhatsApp berisi permintaan maaf.
[Maaf, tadi aku tidak benar-benar ingin putus dari kamu. Aku hanya ingin menguji keteguhan perasaanmu terhadapku.] tulisnya diakhiri emotikon berbentuk hati.
Aku sandarkan kepala ke dipan. Aku lempar pelan ponselku ke atas meja.
Aku merenung. Adakah sikapku yang keliru sehingga membuatnya ragu akan perasaanku? Ataukah ayunan langkah kami yang sebenarnya sudah tak seirama lagi?
Sekarang, aku yang menjadi sangsi pada aksinya. Ujian. Haruskah begitu?
Tak lama, nada dering memecah refleksiku. Dia menelepon karena mungkin aku tak kunjung merespon pesannya.
“Sayang, kok chat-ku cuma dibaca aja, sih? Kamu nggak mau ngomong apa gitu untuk nunjukin kalau kamu nggak mau kita putus?” tanyanya, begitu saluran suara kami tersambung.
“Aku mau mandi dulu, ya. Maaf!” ucapku tanpa mau mengumbar banyak diksi.
“Aku tadi cuma bercanda. Sumpah!” kesahnya meninggi, nyaris terdengar seperti membentak. “Kok kamu nggak bisa diajak bercanda, sih? Apa jangan-jangan memang kamu berharap hubungan kita seperti ini?” tukasnya.
“Aku telanjur menganggapnya serius,” tegasku.
Dia yang mengatur kemudi. Dia juga yang menabrakku. Namun, mengapa justru aku yang dijadikan pelaku?
Terserahlah! Aku memosisikan kembali ponselku seperti sebelum mengalu ragu dengannya.
Mungkin perangaiku terkesan pasrah bak tak punya gairah atau daya juang dalam mendapatkan sesuatu. Akan tetapi, sebelum seperti ini, aku pernah berkali-kali memohon cinta hingga merendahkan diri. Aku pernah menjual iba dan mengadu argumentasi agar tetap bisa bekerja. Tebak apa yang aku dapat? Harga diri tetap diinjak-injak. Penolakan harus kutelan bulat-bulat.
Aku pun ditampar kenyataan bahwa sekalipun urat malu diserut dan bakat diparut, tak semua hati bisa terpikat. Jadi, untuk apa menjadi benteng bagi orang lain, sedangkan gubuk tempat bernaung tak terjaga dan hampir menyatu dengan tanah?!
Maaf, aku tengah lelah meyakinkan seseorang dengan kata-kata untuk mempertahankan tautan rasa serta emosi. Jika sebuah kepercayaan sudah tak bertemu dalam perilaku, aku memilih mundur untuk mencari tempat yang baru.
Sebab, tidak semua hubungan harus diperjuangkan. Terkadang, diam dan mundur merupakan bentuk perjuangan yang paling jujur.