Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Shinta baru saja selesai menghadiri acara buka bersama di kantor ayahnya, PT. Sinar Prima. Perutnya kenyang, tetapi pikirannya sedikit lelah setelah berbasa-basi dengan rekan kerja ayahnya yang sebagian besar adalah petinggi perusahaan. Ia berdiri di depan gedung sambil menatap layar ponselnya, memastikan bahwa Abang ojek online yang ia pesan segera tiba.
"Jaket hijau, motor bagus," gumam Shinta sambil memperhatikan seorang pria dengan ciri-ciri tersebut menghampirinya.
“Eh, ini Mbak Shinta, ya?” sapa pria muda itu dengan senyum lebar.
"Iya. Abang ojek online, kan?" tanya Shinta memastikan. Tapi sebelum pria yang cukup tampan itu menjawab, Shinta keburu menyambar, “Bang, cepetan anterin! Keburu sinetron favorit saya selesai!”
Pria itu akhirnya mengangguk sambil tersenyum, “Ya udah… Yuk, Mbak, kita jalan!”
Tanpa berpikir panjang, Shinta naik ke motor pria tersebut. Dalam perjalanan, mereka bercakap-cakap ringan. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Danar. Shinta berpikir dia cukup ramah untuk ukuran Abang ojek online. Selain itu, motor yang dikendarainya pun tampak lebih mahal dan terawat dari biasanya. Namun, Shinta mengabaikan pikiran itu. Mungkin saja Danar memang suka merawat kendaraan, pikirnya.
Sesampainya di rumah, Shinta turun dari motor dan mengucapkan terima kasih. Saat hendak masuk ke dalam rumah, ibunya muncul di depan pintu dengan ekspresi terkejut.
"Danar? Kok kamu di sini?" tanya sang ibu dengan nada heran.
Danar hanya tertawa kecil, “Iya, Tante. Kebetulan tadi ketemu sama Shinta di depan kantor, jadi sekalian saja saya antar.”
Shinta mengerutkan kening, bingung dengan reaksi ibunya, “Ma, kenal, ya?”
Ibunya menoleh pada Shinta dengan tatapan geli, “Nak, ini Danar, anaknya Pak Hermawan. Kamu tahu kan, CEO perusahaan ayahmu?”
Wajah Shinta seketika memanas. Ia menatap Danar yang hanya tersenyum lebar, tampak sangat menikmati situasi canggung ini.
"Jadi... kamu bukan Abang ojek online?" tanya Shinta dengan suara kecil.
Danar terkekeh, "Bukan, sih. Tapi kalau kamu mau bayar ongkos, boleh juga."
Wajah Shinta semakin merah. Ibunya tertawa kecil, menepuk bahu Shinta sebelum kembali masuk ke rumah, meninggalkan mereka berdua di teras.
“Kenapa nggak bilang dari awal?” tanya Shinta, setengah kesal dan setengah malu.
Danar mengangkat bahu, senyumnya tetap lebar, “Kamu yakin tadi kasih kesempatan buat jelasin? Lagian, seru juga rasanya jadi 'abang ojek' sehari.”
Shinta akhirnya ikut tertawa, meski rasa malunya masih belum hilang sepenuhnya. Dalam hatinya, ia mengakui bahwa itu adalah pengalaman paling aneh, tapi mungkin juga yang paling menyenangkan yang pernah ia alami selama ini.