Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku datang ke pasar sebelum matahari menggeliat. Jalanan licin, basah oleh embun dan sisa darah semalam. Di gerbang, penjaga memeriksa lubang mataku. Dua. Masih utuh.
“Baru pertama kali ya?” katanya. “Pilih bijak. Satu mata, satu barang.”
Aku mengangguk.
Pasar sudah ramai. Orang-orang berjalan pelan dengan mata tertutup kain, sebagian hanya memiliki satu. Ada yang buta total tapi kantong bajunya gemuk oleh gemerincing bola mata yang sudah diawetkan dalam kantong garam. Warnanya beragam. Hijau, biru, hitam legam. Semuanya menyimpan sesuatu.
Di meja pertama, wanita tua menawarkan buku yang katanya berisi seluruh mimpi orang-orang yang sudah mati. “Dua bola mata. Kiri dan kanan. Harus asli.”
Aku lewat.
Di ujung lorong sempit, kulihat pria bertopi menjual amplop kecil. Satu lembar. Tertulis dengan tangan yang gemetar: “Isi amplop ini adalah kenangan cinta pertamamu yang sudah kau lupakan.”
“Aku hanya punya satu,” kataku.
“Kalau mata itu milikmu sendiri,” katanya, “cukup.”
Aku menggenggam bola mata kiriku. Masih hangat.
Kupelintir pelan, kutarik. Sakitnya seperti semua cahaya tiba-tiba padam. Tapi aku tak menjerit.
Pria itu menaruh amplop di tanganku yang berdarah.
Sebelum aku sempat membuka isinya, ia membisik:
“Kalau ternyata kenangan itu lebih pahit dari yang kau kira, kau harus membayar untuk melupakannya lagi.”
“Kau terima pembayaran?”
Ia tersenyum. Tangannya menunjuk lubang mataku yang baru.
“Tentu. Mata kanan.”