Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ju,
Aku tidak tahu harus menulis surat ini ke mana. Tapi tanganku tetap bergerak, seolah jari-jariku lebih tahu ke mana rasa rinduku harus pergi.
Ini sudah Juni lagi.
Kau ingat? Kau selalu menyambut bulan ini dengan senyum dan kalimat yang sama: “Juni adalah bulan milikku. Namaku ada di dalamnya.”
Dan aku selalu pura-pura kesal, padahal diam-diam aku mencintai caramu membuat hal-hal kecil terasa penting.
Sekarang aku mengerti. Nama kecilmu yang diselipkan dalam nama sebuah bulan …ternyata memang tak pernah kecil.
Sejak kau pergi, Juni kehilangan nadanya.
Tak ada lagi tawa yang pecah di antara langit mendung. Tak ada tanganmu yang menarik lenganku ke dalam toko buku tua, tempat kita pura-pura tidak tahu bahwa kita sedang jatuh cinta.
Orang-orang bilang hidup harus berjalan. Aku berjalan, Ju. Tapi setiap langkah terasa seperti menghitung hari mundur ke waktu di mana kau masih ada.
Aku mencoba membiasakan diri. Mencuci cangkirmu tanpa menutup mata. Mengganti sprei yang dulu kau pilih. Bahkan mendengar lagu-lagu yang dulu kau nyanyikan di kamar mandi. Tapi semuanya tetap menusuk.
Dan hari ini, aku duduk di bawah jendela. Hujan jatuh perlahan. Udara dingin. Seperti sore itu, ketika kau pamit hanya untuk “sebentar,” tapi tak pernah kembali.
Mungkin surat ini akan tetap tersimpan. Di dalam laci. Di balik lipatan hari-hari. Tapi aku menulisnya untuk memberitahumu satu hal:
Aku baik-baik saja. Tidak bahagia, tidak pula hancur.
Hanya hidup dengan lubang kecil di dadaku berbentuk namamu.
Selamat tinggal, Ju.
Atau setidaknya, sampai suatu hari nanti, saat aku bisa mengeja Juni tanpa merasa kehilangan bagian darinya.
Dengan hati yang belum selesai,
Aku.