Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
”Ini, makanlah.” Sebuah roti tawar, entah kapan tanggal kadaluwarsanya tak peduli, dibagi dua dengan seekor burung merpati yang kakinya pincang. Dia tak tahu apa yang terjadi, hewan itu tahu-tahu sudah demikian saat Dihyan menemukannya di dekat tumpukan sampah—tempat yang sama dia menemukan sebuah plastik kemasan roti tawar yang isinya tersisa satu.
Saat berjongkok di depan hewan itu sambil cekikikan, dia bahkan hampir tak terlihat, tertutup oleh tumpukan kayu yang entah mengapa dibiarkan di situ. Dihyan Hanasta, dia seharusnya duduk di kelas tinggi sekolah dasar saat ini, seperti anak-anak lain seumurannya. Namun, semesta terkadang memang sekejam itu.
“Sakit….”
“Ampun.”
“Dihyan tidak akan nakal lagi.”
“Sudah, Bapak, Ibuk! Jangan pukul aku lagi!”
Anak itu tumbuh dari balita yang hanya bisa merintih kesakitan, sampai kemudian belajar dengan sendiri, berdasarkan insting, untuk melindungi dirinya sendiri… dari sepasang orang yang seharusnya melindunginya.
“Aku tak suka dipukul!”
“Aku tak suka ditendang! Hentikan!”
“Aku tak suka diinjak! Hentikan, hentikan, hentikan!”
Di saat anak-anak dihujani oleh kasih sayang, Dihyan justru bertarung dengan tempat yang sialnya terpaksa untuk disebut rumah. Anak itu bahkan sudah terlalu muak untuk memelas kasih sayang—entah ke mana dia membuang hati lembut khas anak kecil yang dia miliki.
Dia bertarung.
Bukan hanya dengan kedua orang tuanya, tetapi semua orang.
Tepat saat dia ditinggalkan di pinggir jalan. Selepas rumah mereka yang hanya sebuah petak dari kayu-kayu nyaris lapuk yang didapat entah dari mana, akibat tanahnya direbut oleh pemilik sesungguhnya, perusahaan kereta api. Sementara dua orang itu, berjalan ke dua arah yang berbeda.
Dihyan bahkan tak merasakan kebingungan yang selalu dialami oleh anak korban perceraian saat harus memilih salah satu orang tua untuk diikuti. Keputusannya sudah jelas sejak awal. Toh, dua orang itu tak ada yang mengajaknya.
Dia pergi.
Dia bukan menolak untuk ikut dengan siapa pun, tetapi dia benar-benar telah ditelantarkan.
“Susah, ya? Bentar, aku potongin kecil-kecil rotinya.” Rasa sakit yang selalu dia alami akhirnya selesai, tetapi itu artinya seluruh kehidupannya juga telah berakhir.
Dihyan tak memikirkan masa depan.
Bahkan dia masih terlalu dini untuk memahami apa itu masa depan.
Dia tertawa cekikikan senang melihat burung merpati akhirnya bisa mematuk roti tawar yang telah disobek kecil-kecil. Terkadang dia juga tertawa saat bermain bersama kucing-kucing liar, sesekali juga tidur di pinggir jalan sambil memeluk mereka.
“Pergilah!” Dihyan berdiri di depan burung merpati sambil merentangkan tangan—satunya masih memegang setengah lain dari roti tawar—bermaksud melindungi, saat seorang pemuda usia dua puluh lima tahun menghampirinya.
Dihyan bahkan tak ingat kapan terakhir kali berbicara kepada manusia.
Dia seperti kucing liar yang tumbuh di jalanan sejak lahir. Begitu galak dan waspada terhadap manusia.
Apa yang ada di pikirannya tentang manusia hanyalah: memukul, menendang, dan menginjak.
“Di mana orang tuamu?”
“Mereka pergi,” katanya, dibuat segarang mungkin—walau kedengarannya tetap menggemaskan, tetapi memang benar bahwa bercampur sesuatu yang miris dan kasihan. “Kau pun pergi!”
“Tidak akan.” Dia mengulurkan tangan, hendak membelai puncak kepalanya, tetapi anak itu refleks memejamkan, mundur sambil menunduk, dan berteriak menolak. Tangan pemuda itu langsung berhenti. “Maaf.”
Satu kata itu, membuat Dihyan terkejut dan langsung mendongak menatapnya.
Tepi jembatan dengan area luas tempat orang-orang membuang barang-barang tak terpakai mereka, baru saja menjelang malam waktu itu. Langit begitu gelap karena mendung. Lembab, khas udara yang menandakan bahwa hujan deras—mungkin akan bercampur petir dan angin kencang—akan segera tiba.
Gerimis sudah mulai turun.
“Namun, aku tak akan membiarkanmu sendirian. Sudah cukup satu anak yang kehilangan segalanya. Anak-anak yang lain tak seharusnya tak merasakan hal serupa.”
Anak di hadapannya tak paham barang sedikit pun. Namun, sesuatu dari pemuda itu membuatnya tak sedikit pun merasa benar-benar perlu untuk berlari seperti halnya ketika dia bertemu manusia-manusia lain sebelumnya. Pemuda ini… sama sekali tidak menakutkan.
“Kau, tak akan kubiarkan merasakan hal yang sama sepertiku.” Sekali lagi, dia menurunkan tangannya, kali ini Dihyan masih refleks melindungi dirinya, tetapi dia juga berusaha menahan reaksinya seminim mungkin. “Aku ada di sini.”
Akhir yang paling buruk bagi seorang anak—ditelantarkan oleh orang tua kandung, tetapi juga awal untuk hal yang jauh lebih baik.
“Aku boleh membawa burung merpatinya?”
“Tentu.”
Rasanya itu seperti baru kemarin. Tahu-tahu, sekarang bocah itu sudah kelas dua SMP. Dia masihlah bukan tipikal anak yang mudah dikendalikan. Namun, setidaknya, dia mendengarkan setiap kali Ghana benar-benar menyuruhnya untuk berhenti.
Dia belajar untuk patuh sama sekali bukan atas kekerasan, melainkan rasa hormat yang nyata, atas bagaimana pemuda itu bersikap kepadanya dan secara tak langsung memberikan contoh. Bila terlalu sulit untuk diandaikan, cara mereka berdua tertawa bersama saat ini hanya karena salah memasukkan tepung—dia mengira gula—ke dalam teh yang sedang disiapkan Ghana, telah membukti semua itu.
Terkadang semesta menghancurkan beberapa orang, untuk mempertemukan mereka dalam skenario yang jauh lebih baik untuk satu sama lain.