Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gang kecil sela-sela bangunan sunyi di kegelapan malam. Tak seorang pun menyadari bahwa satu anak lelaki kecil duduk di sana sambil membaca sebuah buku sekolah, penuh noda di sana-sini, juga bekas jawaban dan catatan, didapatkan dari SMP yang dia harap dapat menjadi tempatnya belajar, seperti halnya anak-anak lain seumuran yang berlomba-lomba untuk mendaftar di sana.
Dunia nyata yang sibuk. Bahkan seorang anak kecil di tengah-tengahnya tak berarti apa pun selain untuk diabaikan. Raka bahkan tak ingat kapan persisnya dia mulai membenci keramaian.
“Ibuk, Raka—”
“Raka boleh tidak—”
“Bapak di mana—”
“Bapak, Raka minta tolong—”
Hampir tak pernah ada satu kalimat pun dari anak itu bisa diselesaikan, apalagi didengar. Raka kecil dipenuhi kebingungan dan ketidaktahuan. Saat dia berusaha melakukan berbagai hal seorang diri, semuanya selalu berakhir kacau.
“Jangan, Raka!”
“Tidak perlu seperti itu!”
“Diam!”
“Sana bermain sendiri!”
Raka tak pernah tahu apa yang benar. Raka tak pernah tahu apa yang sebenarnya harus dia lakukan. Setiap tindakannya tidak terasa apa pun selain kegelisahan. Dia ragu akan segalanya, termasuk dirinya sendiri.
Raka tak pernah bertanya ada apa atau berani untuk berandai-andai tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Dia masih terus mengemis perhatian dari orang tua sampai pada suatu momen, mereka pergi, katanya untuk bekerja, tetapi tak pernah kembali. Bila ditanya apakah Raka menunggu? Iya, dia menunggu.
Setidaknya sampai banjir menerjang kolong jembatan tempat rumah kecil dan lusuhnya berada sehingga dia terpaksa pergi.
Bahkan sampai saat ini, anak itu tak tahu bahwa dia ditelantarkan, bahwa dia seharusnya berhak untuk mendapatkan setiap perhatian, pengakuan, dan dorongan untuk percaya diri dari kedua orang tuanya.
“Sikap mulia? Apa itu?” Dia membalik ke halaman lain buku lusuh. “Oh, di sini bilang sikap mulia adalah berbuat baik kepada setiap orang. Sekarang aku tahu!”
Anak itu tak pernah bisa berasumsi tentang sesuatu, sebelum dia membacanya dari buku, sebelum dia mendapatkan kepastian dari pihak lain. Itulah mengapa, dia menjadi gemar untuk mengambil setiap buku yang ditemukan.
Atau sesungguhnya anak itu hanya sesederhana tak pernah yakin terhadap dirinya sendiri, akibat seluruh penolakan, pengabaian, bahkan penelantaran oleh orang tuanya.
Setidaknya, itu menjadi akhir bagi Raka untuk mengemis.
“Sekarang aku punya buku!” begitu pikirkan.
Buku menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Namun, buku tak bisa memberinya kasih sayang.
Sungguh, anak yang malang.
“Suka sama bukunya? Mau aku beliin lebih banyak tidak?” Malam yang bahkan Raka tak sadar bahwa gerimis telah turun, seorang pemuda dua puluh lima tahun tiba-tiba telah berada di hadapannya.
Anak itu menoleh kanan-kiri, mencari-cari kepada siapa orang itu berbicara.
“Aku berbicara denganmu.” Dia berjongkok untuk menyejajarkan wajah mereka, sambil menatap anak itu lekat-lekat.
Raka mentapnya kembali, tetapi dia tak mengatakan apa pun. Lebih tepatnya, dia tak tahu harus menjawab apa. Dia tak pernah sekali pun ditanya. Dia tak pernah mengatakan tentang apa yang dia rasakan atau inginkan.
Pemuda itu tersenyum dan itu hanya membuatnya makin kebingungan.
“Kulihat kau berkeliaran di sekitar sini seorang diri. Mau ikut denganku? Aku juga sendirian dan tidak punya seseorang untuk mengobrol. Jadi, mengapa kita tidak tinggal bersama di tempatku?”
Dia paham, Raka sesungguhnya paham. Namun, dia masih tak percaya bahwa pemuda itu berbicara padanya, memperhatikannya, peduli padanya. Ternyata, ada perasaan selain terbaikan dan terlantarkan.
Dia ingin bertanya mengapa, Raka tak paham bagaimana bisa ada seseorang yang melihatnya. Tepat saat pemuda itu kemudian berkata begitu lirih, seperti pada dirinya sendiri, “Melihatmu seorang diri, begitu menyakitkan….”
Kemudian, dia mengulurkan tangannya.
Melihat anak itu hanya diam, dia kemudian meraih jemari mungilnya. “Diam berarti iya, ya?”
Raka masih terkejut. Dia tak terbiasa dengan dipaksa untuk menjawab. Dia biasanya hanya kalut oleh ketidaktahuan dan kebingungan. Pemuda itu tahu-tahu sudah membawanya.
Akhir, untuk sebuah awal yang baru?
Agaknya, keputusan yang bisa dibilang dipaksakan untuk diambil olehnya itu memanglah yang terbaik. Saat dia kemudian telah tumbuh menjadi remaja kelas dua SMA, Ghana yang saat ini telah nyaris menyentuh usia tiga puluh tahun baru memberitahunya, “Kalau tidak begitu, kamu tidak akan menjawabku bahkan hingga meteor menghujani bumi kembali. Aku mungkin sekilas seperti memaksamu waktu itu, tetapi itu adalah karena aku tahu apa yang lebih baik untukmu, Raka.”
Dia saat ini lebih tampan dengan pakaian dan rambut yang selalu rapi, Raka memang juara dalam merawat dirinya. Namun, masih ada hal yang tak berubah hingga saat ini, “Mas Ghana, aku makan pakai telur goreng atau tempe, ya, enaknya?”
Bila menghadapi anak lain, Ghana mungkin akan langsung menyuruh mereka untuk memilih yang disukai, tetapi bila Raka, dia tahu bahwa anak itu memang begitu membutuhkan arahan yang jelas dan tegas, “Telur saja, tadi sudah tempe.”
Bila orang-orang bertanya apakah Ghana yang bahkan memutuskan untuk merawat Raka dari jalanan di saat usianya masih cukup muda bahkan tanpa pengalaman, sungguh seseorang yang baik atau tidak, semua itu dapat dengan mudah dibuktikan dengan Raka—yang pada dasarnya apa-apa harus mendapat jawaban dari Ghana—benar-benar tumbuh menjadi anak yang ceria.
“Benar, juga. Terima kasih, Mas Ghana! Mau aku masakin sekalian?”
Ghana bangkit dari kursi. “Ayo masak bersama saja.”