Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit semakin pekat. Pijar telungkup dikerumuni serangga penanda akan adanya tumpahan air dari langit.
Lelah yang menyergap rasanya ingin segera dibayar tuntas dengan beristirahat. Namun, aku masih harus memastikan Eko selesai menampung cerita. Dia sudah cukup lama bertandang di rumah responden terakhirnya, tetapi tak kunjung kembali pada titik yang telah disepakati.
Untuk sampai di tempat Eko berada, aku harus melewati jalan setapak di antara semak dan pepohonan besar. Gesekan antar ranting dan daun, ditambah hembusan angin yang menancap ke tulang, membuat jantungku seperti dipukul dari dalam.
Perjalanan mencari Eko benar-benar mengajak seluruh indraku berjaga-jaga. Waspada terhadap hewan-hewan liar yang berbahaya, seperti ular, babi hutan, atau harimau. Juga, menahan rasa takut dari godaan yang tak kasat mata.
Sesampainya di tujuan, senyap menyambutku. Sejenak aku tepikan pandangan sebelum mengangkat salah satu tangan.
"Assalamualaikum!" Kuketuk pintu secara pelan sambil mengamati sekeliling.
Aku ulangi salamku dan menunggu beberapa saat. Tidak ada jawaban yang kudapat. Suaraku seolah mengudara dengan hampa.
Aku coba menengok ke bagian samping. Ada gazebo yang disinari lampu kuning seadanya. Dalam remang, tampak orang yang kucari sedang duduk sendiri di sana.
Aku bergegas menghampiri dia. "Masih lama, Ko? Respondennya ke mana?" tanyaku sedikit terengah-engah.
Eko bergeming. Dia tidak melayani pertanyaanku dengan kata ataupun gerakan.
Lantas, kutepuk pundaknya. "Mending dilanjut besok aja, Ko. Kayaknya ini mau turun hujan lebat."
"Tunggu sebentar lagi!" responnya datar. Dia menyahut. Hanya saja, suaranya terdengar kelelahan. Raut wajahnya pun terbias kaku dan pucat, tidak mengandung riang sebagaimana biasanya dia.
Aku tajamkan mata untuk memastikan cuaca. Tiba-tiba angin kencang menerjang, bergemuruh. Kilat turut terlihat berkilauan di angkasa.
Malam terasa begitu mencekam. Aku enggan terjebak di tempat ini. Selagi masih bisa pulang, sungkan untukku menginap di rumah warga.
"Ko, responden lu ke mana? Gimana kalau kita samperin? Atau kita balik lagi aja besok, ya?" Aku coba bertanya sekaligus membujuknya. Namun, dia kukuh pada posisinya.
Sikapnya sangat tidak biasa. Dia malas diajak berdialog. Dia seperti orang lain. Padahal, dia biasanya cerewet. Dalam kondisi capek sekalipun dia tidak pernah berhenti berbicara untuk menyalakan suasana dan melonggarkan persendian. Mungkinkah perilaku seseorang berubah drastis dalam hitungan jam?
"Lu sakit, Ko?" Tanganku menempel di dahinya secara spontan. Anehnya, aku merasakan ada yang basah, tetapi tak berjejak di telapak.
Tak kusangka Eko malah mendelik bak sangat marah kepadaku. Aku kemudian bergeser beberapa centimeter. Sorot matanya sungguh membuatku cukup ngeri.
“Ini nggak bener. Apa lu ketempelan, Ko?” candaku.
Aku lontarkan tawa kecil untuk menengahi ketegangan. Sayangnya, dia membisu, tidak menanggapiku. Giginya menggertak, tangannya mencengkeram paha.
Aku memilih beranjak, berjalan beberapa langkah menyambangi rumah responden kembali. Mungkin Eko sedang dalam suasana hati yang kurang baik, pikirku.
Huh! Sunyi. Lampu di sekitar pun mendadak padam. Hanya napasku yang riuh bergelora. Sialnya, aku masih harus menunggu rekanku yang tidak mau diganggu.
Aku merogoh ponsel di dalam ransel – tak tahan menatap gulita. Sialnya, ponselku terjatuh kala aku hendak menghidupkan cahaya. Lalu, dalam pekat yang membayang, sesuatu bergerak di kedua sudut nataku.
Aku panik dan mulai dilanda kecemasan. Berbagai skenario bahaya menyerat di otak. Derap langkah kaki terdeteksi mendekatiku, diikuti sorot membulat yang menyinariku.
"Astaga! Di sini lu rupanya. Gue sama si Bapak muter-muter nyariin lu. Ayo pulang! Udah mau hujan, nih," ungkap Eko.
Ya, Eko. Dia berdiri di hadapanku. Seketika aku terpaku dalam kebingungan. Dia seakan bisa berpindah tempat dengan cepat, tetapi ucapannya menyanggah hal tersebut.
Kuambil senter dari tangan Eko lalu menyorotkannya ke gazebo. Memang, dari awal keganjilan sudah meraba-raba.
"Lu nyenterin apa, Di?" Eko terdengar sangat penasaran.
Sementara itu, aku bolak-balik memeriksa Eko di sampingku dan sosok di gazebo. Rasanya tidak mungkin dia ada dua. Mana yang asli?
Aku tarik dagu Eko supaya melihat ke arah sinar yang aku sorotkan. Kutanya yang dia lihat, dan dia mengatakan hanya kosong yang terpampang.
“Sudah. Jangan arahkan senter ke sana lagi!” titah si Bapak dengan suara terdengar sedikit bergetar. Dia juga merebut senter di tanganku dan mematikannya. “Lebih baik kalian segera pulang!” sambungnya.
Kami akhirnya kembali ke penginapan dan kehujanan di setengah perjalanan. Selama berkendara Eko tak henti bertanya tentang yang kualami di tempat kami bertemu.
Aku membeku, bibirku kelu, nalarku amburadul. Aku hanya bisa memeluk ranselku – menyelamatkan kuesioner dari kebasahan.
Ini baru hari pertama kami mengumpulkan data atau mewawancarai responden. Masih ada enam hari tersisa yang harus aku lalui untuk berkeliling menyambangi rumah ke rumah.
Tidak. Aku tidak mau lagi mendata selepas gelap membentang.