Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Denting gelas yang samar mengisi keheningan malam itu. Denting gelas yang timbul dari sentilan jarinya. Ia duduk, diam seribu bahasa. Ekspresinya serius, dan alis tebalnya berkerut. Sementara tangan kanannya sesekali menyentil dinding gelas, tangan kirinya sibuk mencubit bibirnya yang kering. Matanya merah, seperti menahan tangis.
“Kau tidak mencintaiku kan.” Itu bukan pertanyaan. Suara beratnya yang sedikit serak akhirnya terdengar.
Hening sesaat, sampai akhirnya kujawab dengan suaraku yang parau. Aku juga menahan tangis. “Tentu saja aku mencintaimu. Aku tidak pernah berbohong selama hubungan kita.”
“Tapi kenapa kau ingin mengakhirinya?” kali ini matanya menatapku. Aku bisa melihat genangan air mata di sana.
Aku menunduk, menghindari tatapan mata itu. Yang justru membuat air mata yang tadi menggenang akhirnya menetes di pangkuanku.
Aku tidak sanggup menjawab.
Dan malam itu berlalu begitu saja. Tanpa jawaban terucap dari bibirku. Ada begitu banyak kata dalam otakku, yang tak sanggup kurangkum untuk kuberikan padanya. Dan dia tidak pernah menahanku. Karena mungkin ia terlalu bingung dengan situasi yang terjadi.
.
Aku meminta untuk mengakhiri hubungan yang telah kujalani 2 tahun dengannya. Bukan karena aku tidak mencintainya. Aku mencitainya, sunguh. Dan aku juga tahu jika dia benar-benar mencintaiku. Namun waktu dan keadaan seperti tidak memberi ruang pada kami.
Aku bertemu dengannya ketika ia sedang mengejar impiannya sebagai seorang actor. Bertemu denganku tidak menjadikan impiannya semakin besar, namun malah membuatnya lupa dengan impiannya itu. Ia terlalu mencintaiku, hingga lupa dengan apa yang telah menjadi impiannya dulu. Aku seperti pengaruh buruk baginya. Dan aku jadi membenci diriku sendiri karena hal itu. Aku tidak ingin ia menyesalinya nanti. Aku ingin dia terbang tinggi menggapai impiannya.
Satu minggu kemudian. Di malam yang diselimuti rintik hujan, dia datang dengan rambut dan pakaian setengah basah.
“Ashley,” ia memanggilku dengan lirih.
Aku yang hampir menekan tombol password untuk membuka gerbang rumah, tertahan. Tangan kiriku yang memegang payung refleks menyodorkan payung itu mendekat ke arah Liam.
Liam mendorong payung itu untuk kembali memayungi diriku sendiri. Aku menelan ludah yang seperti tersangkut di tenggorokanku. Sakit sekali melihat Liam yang seperti ini. Aku goyah.
“Masuklah!” aku menekan password dengan cepat. Memberi jalan pada Liam untuk masuk. Aku tidak bisa membiarkannya berdiri di tengah hujan terlalu lama. Aku tahu ada banyak hal yang ingin ia katakan. Juga ada banyak hal yang ingin kukatakan.
“Di sini saja,” ia berkata sambil menunduk.
Aku hampir saja membuka pintu rumah.
Aku mendongak menatap atap teras. Sekilas memastikan jika tidak ada tempias hujan mengenai tubuh Liam. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Menahan air mata, juga perasaan ingin memeluknya. Aku begitu merindukannya.
“Maaf.”
Satu kata itu meluncur dari bibirnya. Air mata menetes bersamaan dengan kata yang ia ucapkan. Aku yang seharusnya minta maaf.
“Aku ingin kau mengejar impianmu,” aku mengucapkan kalimat itu dengan cepat.
“Em.”
Hening sesaat.
“Aku akan kembali mengambil kelas acting,” Liam menyunggingkan senyum yang dipaksakan.
Aku rasa Liam mengerti alasanku ingin mengakhiri hubungan ini.
“Maaf, karena aku membebanimu selama ini. Kau pasti takut jika aku melepas impianku karena dirimu. Ini bukan salahmu. Aku hanya frustasi karena aku tidak kunjung berhasil. Aku mengunakan dirimu sebagai alasan untuk beristirahat sejenak dari duniaku yang melelahkan,” Liam menunduk, terisak. Ia serperti sudah menahan air matanya, namun ternyata tetap keluar.
“Bukan salahmu jika aku menjadi tidak fokus. Aku justru berterimakasih padamu karena mau menjadi rumah untukku melepas lelah. Ashley, akan aku perlihatkan kesuksesanku nanti padamu. Aku harap saat itu, kau tidak membenciku.”
Tanganku mencengkeram gagang payung yang masih kupegang. Aku sudah melipatnya.Tetes air yang jatuh dari payung itu membasahi seputuku.
“Aku tidak akan menyesali apa yang telah kita jalani selama ini. Aku juga berusaha untuk tidak membenci diriku sendiri. Karena jika aku membiarkannya, aku takut itu bisa membuatku membencimu perlahan-lahan. Sempat terfikirkan olehku, jika kita tidak pernah bertemu, apakah takdir kita akan lebih baik? Tapi jika aku tidak bertemu denganmu, aku tidak akan pernah tahu rasanya mendapat cinta yang begitu besar dari seseorang. Pertemuan kita adalah sebuah kebetulan. Jika kita akhirnya berpisah, mungkin itu adalah sebuah kebetulan yang lain. Aku harap, apapun takdir yang akan kita hadapi nanti, itu adalah yang terbaik,” aku mengucapkan setiap kalimat dengan hati-hati, agar suaraku yang parau karena menahan tangis tidak membuat kalimatku terdengar kacau.
Liam tersenyum, di tengah isak tangisnya yang tertahan. Aku tahu ia juga pasti ingin memelukku. Ingin melepaskan rindu untuk terakhir kali. Namun kami sama-sama menahannya. Aku dan Liam sama-sama tahu, jika hati ini akan goyah jika tubuh kami saling bersentuhan.
“Bawalah!” aku menyodorkan payung yang kupegang. Satu tahun lalu, Liam memberikan payung itu padaku. Saat itu Liam menjemputku pulang kerja, dan aku lupa tidak membawa payung.
Liam menerimanya. Menatap sejenak payung yang kini ada di tangannya. “Selamat tinggal Ashley. Kau harus tahu, jika sampai detik ini aku masih mencintaimu.”
Aku memaksakan senyum. “Aku juga masih mencintaimu sampai detik ini. Tapi kuharap, tidak ada kebetulan lain yang akan mempertemukan kita. Aku tahu ini terdengar jahat, namun itu mungkin akan jadi yang terbaik.”
Liam mengangguk, masih dengan senyum yang mungkin akan aku kenang selamanya.
###