Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kata orang-orang:
“Jangan sedih.”
“Gak usah dipikirin.”
“Gak usah dibawa perasaan.”
“Kurang ibadah doang kali.”
Fuck. Bila semua hanya tentang kurang ibadah, tahukah kalian apa yang kukatakan pada Tuhan setiap kali selesai beribadah?
Tuhan, aku ingin hanya ingin dapat merasakan kebahagiaan kembali.
Aku tak pernah meminta hal-hal yang lebih. Masa bodoh dengan keluarga sempurna yang kata orang adalah keluarga cemara. Masa bodoh dengan pasangan yang kata orang adalah best couple atau husbandable.
Masa bodoh.
Masa bodoh.
Aku tak memaksa itu semua. Aku tak peduli apa pun itu, bahkan kebahagiaan dari kasih sayang seekor kucing kecil sekali pun. Tak masalah. Aku hanya ingin bisa merasakannya kembali.
Aku benci kehampaan ini.
Aku benci kehidupanku yang menghilang.
Aku benci… segalanya yang direbut dariku.
Satu makanan pun, bahkan yang dahulu paling kugemari, kini tak ada rasanya. Aku tak bisa menulis. Perasaanku, bahan bakar untuk merangkai kata-kata, habis entah ke mana. Pekerjaanku terabaikan. Lagu-lagu tak ada isinya. Permainan di gawai yang dahulu sangat kugemari, tak ada lagi artinya.
Tuhan, aku hanya ingin hidup.
Tuhan, bila kau memanggilku sekarang pun, aku tak masalah.
Setiap hari tak ada selain: menjalankan apa yang perlu dijalankan. Meski tak terasa sama sekali. Meski sesungguhnya aku hanya menanti kapan semua berakhir sekalian.
“Siapa?”
Katanya, setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Terkadang, semesta meminjamkan seseorang kepadamu pada momen-momen tertentu.
Dia tersenyum.
Dan entah sejak kapan. Kuas telah ditarik, melengkung dan tinggi, mengisi bagian-bagian yang kosong. Seperti warna pertama pada kertas hitam putih.
Orang yang unik. Di dunia yang hampa dan tak ada rasanya, melihat seseorang yang begitu ramai dan bersinar seperti cat air yang isinya penuh hingga jatuh ke lantai, terasa bagai mimpi.
Sampai mimpi itu terbawa hingga kenyataan.
Cat airnya memenuhi kanvas.
Sepenuhnya.
Tanpa kusadari, tawa kami yang semula selalu bermula darinya, kini aku bahwa dapat memulai candaan untuk kami tergelak bersama. Dia membawa serta seluruhnya dariku, yang semula hanya tersenyum, kembali bersinar. Sinar yang bahkan lebih terang dari ribuan cat air itu.
Katanya, “Aku punya banyak warna. Kalau milikmu habis, katakanlah, aku akan melukis dengan kuas yang baru!”
“Tentu!”
Dan senyuman paling tulus yang bahkan aku tak percaya bisa muncul di wajahnya, menjadi akhir paling tragis.
Kanvasnya selalu terlalu cepat kehilangan warna.
“Hentikan. Aku tak mau lagi.”
Oh, semesta.
Bahkan bukan aku yang meminta sebuah kanvas yang kosong. Aku tak pernah menginginkannya. Aku tak pernah berharap demikian. Doa-doa yang pernah melintas menyaksikan semuanya, mereka tahu.
Jadi, begitukah?
Kanvasnya kosong lagi.
Hei… kanvasnya sekarang jatuh.
Pecah.
Luntur.
Oh, semesta, mengapa?
Masanya… telah habis, ya?