Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jemari yang kecil, menepuk-nepuk sebuah lengan besar. “Paman!”
Paman? Itu bahkan panggilan paling konyol yang pernah didengarnya. Dia tak tahu bagaimana anak itu bisa datang kemari. Orang-orang di sekitar sudah sejak ribuan tahun lalu menyebarkan cerita-cerita bahwa goa di tepi pekarangan bunga, tepat di balik air terjun tempat mereka mengambil air setiap hari, adalah rumah seekor pemakan manusia.
Monster, mungkin begitu beberapa anak kecil menyebutnya, kecuali anak ini.
“Bunga di depan, semuanya bagus! Paman tidak pernah ambil?” Anak itu mengulurkan satu kepadanya.
“Jangan kemari, Nak. Dengarkan apa kata orang tuamu.”
“Bunganya!” Anak itu makin mendekatkan sebuah lili berwarna putih keunguan yang mekar sempurna, makin dekat padanya.
Dia menghela napas, kemudian mengambilnya. “Sekarang pergilah.”
“Bye-bye, Paman!”
Pembawa kesialan mungkin lebih sesuai menjadi sebutannya. Entah sudah berapa ribu tahun berlalu, sejak semuanya menjadi seperti ini.
Rasa bersalah.
Tak berguna.
Dibenci semua orang.
Semuanya itu menggelayuti. Menahannya seperti sebuah tali yang mengikat, tepat di atas jurang yang gelap, kosong, hampa, sunyi, dan tanpa dasar. Batas antara kesedihan dan kehidupan yang berakhir.
Dia hanya ingin kehidupannya berakhir, tetapi tali itu tak pernah putus.
Kutukan agar selalu merasa tersiksa. Bahkan ketika dia menginginkan kematian hanya agar semuanya berakhir, kematian pun menolaknya.
Entah bagaimana cara melepas kutukannya.
Entah bagaimana cara agar dia mati.
“Paman! Ada bunga yang lebih cantik!” Ternyata, hari telah menjadi esok. Anak itu datang kembali dengan pakaian yang berbeda. Baju kodok berwarna kuning, terang sekali, di atas sebuah kemeja putih lengan panjang dengan ujung rempel. Cantik. Rambutnya terurai, ditahan dengan bando bermotif matahari di atas kepala.
“Sudah kubilang untuk tidak datang kembali.”
“Aku menemukan bunga lain.”
“Kau harus berhati-hati, air terjun di dekat situ begitu deras arusnya. Kau sebaiknya memang tak perlu dekat-dekat dengan tempat ini sejak awal.”
“Tapi, aku suka bunganya.” Anak itu menghampiri. Kali ini membawa krisan berwarna oranye, didekatkan ke wajah sendiri untuk dihirup sebentar sambil tersenyum, kemudian memberikannya.
Dia menatap bunga itu, cukup lama. “Mengapa kau berpikir memberikan bunga kepadaku akan cocok?”
“Semua orang boleh mendapatkan bunga!”
Dia terkejut. Benar, memang benar seharusnya. Dia tak pernah membenci bunga sejak awal. Setidaknya sampai pekarangan itu menjadi merah menyala, pada sebuah malam tanpa bulan, dengan mendung menutupi seperti sebuah duka yang menempel lekat-lekat.
Momen itu seharusnya bukan menjadi kesalahannya. Seseorang yang tergeletak di tengah bunga-bunga penuh noda malam itu, tepat di hadapannya, yang ditatapnya sambil gemetaran… seharusnya bukan kesalahannya.
Bunga yang dia terima oleh orang yang sama, hanya beberapa menit lalu, tak pernah dia harapkan untuk menjadi senyuman terakhir yang pernah dilihatnya.
Seorang pembawa sial, memang tak seharusnya dekat-dekat dengan manusia.
“Paman… itu suara apa?”
“Hmm?” Itu gemuruh bersahut-sahutan menggema dari kejauhan. Tak jelas dari mana. Kemudian, sesaat setelah dia menyadari dari mana asalnya… dan apa yang pasti akan terjadi setelah ini, semuanya telah terlambat.
“Paman—”
Suara panik terpotong anak itu, adalah hal yang paling tak ingin dia dengar.
Goa luas di tepian bukit itu tak lebih dari sebuah ruangan lembab di bawah tanah yang tebal oleh pohon-pohon tinggi yang berat. Sekali beban di atasnya tak mampu untuk ditahan, semuanya akan selesai.
“Tidak!”
Dia ingin mendorong anak itu agar keluar dari goa—masihkah tempat ini bisa disebut demikian? Namun, yang terlihat olehnya setelah itu hanyalah wajah ketakutan anak tersebut.
Sebelum semuanya berakhir, tepat saat dia menemukan alasan untuk bertahan hidup—menyelamatkannya.
Tanah sepenuhnya rata.
Pembawa sial, kata orang-orang.
Kutukannya ternyata seharga sebuah rasa sakit yang sama. Menguburnya dalam sebuah penyesalan yang tak akan pernah bisa diselesaikan.