Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kamu lebih pengen coklat hangat atau teh hari ini?”
“Udahlah, Karel. Gak usah sok baik.”
Six Seat Magical Cafe populer di kalangan anak muda begitu cepat. Kursi dan meja bergaya ukiran sederhana dengan perpaduan warna lembut yang didominasi oleh biru muda dan putih. Dekorasi di dinding secukupnya, tetapi justru memberikan keindahan yang pas, tanpa berlebihan.
Tentu saja, yang paling mencuri perhatian dari Six Seat Magical Cafe adalah gosip yang beredar bahwa bila ada pasangan datang kemari, maka hubungan mereka akan langgeng. Tentu itu hanya slogan yang diam-diam disebarkan oleh pihak marketing. Namun, nyatanya banyak yang datang hanya karena penasaran dengan rumor tersebut.
Sayangnya, pemilik dari tempat itu sendiri, jangankan memiliki pasangan, hubungan dengan adiknya saja berantakan. Bahkan, setelah dia membujuk Ai untuk ikut bekerja di sini dengan harapan bahwa menghabiskan banyak waktu bersama akan dapat memperbaiki segalanya, nyatanya gagal.
Adiknya itu justru mendapatkan lebih banyak waktu untuk menghardiknya.
Karel tahu dia bukanlah kakak yang baik. Dia tahu memaksa Ai tinggal bersamanya selepas kedua orang tua mereka meninggal bukanlah keputusan yang bijak—dia benar-benar tak tega untuk melepaskan Ai yang di matanya masihlah seperti anak kecil waktu itu.
“Ai—”
Karel tak pernah tega mengatakannya, bahwa kesalahpahaman sejak mereka kecil adalah permulaan dari sebuah ini. Ai membencinya semenjak gadis itu belia hingga sekarang. Semua semata-mata bermula dari Karel yang juga sama-sama masih kecil, bermain tanpa cukup hati-hati sehingga melukai adiknya, tidak parah memang, tetapi anak yang begitu mungil itu mudah untuk menangis, dia belumlah sekuat kakaknya.
Hal yang sama berulang, berulang, dan berulang.
Menimbulkan penyesalan yang seharusnya tak pernah ada dalam hati Karel kecil. Di sisa masa kecilnya, dia tak pernah lagi mengajak bermain adiknya. Dia pun selalu menolak tiap kali Ai mengajaknya bermain. Semata-mata, demi anak itu tak lagi menangis.
Ai, menjadi tumbuh dengan keyakinan bahwa kakaknya membencinya.
Permasalahan yang sepele bagi orang dewasa, tetapi begitu krusial bagi anak kecil yang masih dalam proses mempelajari berbagai hal di dunia dan membentuk pola-pola pikir tertentu.
Sesuatu yang seharusnya kecil, menjadi runyam.
Bahkan setelah saat ini Karel selalu berusaha untuk bersikap sebaik mungkin dengannya, Ai tak pernah menganggap itu semua. “Gak usah,” atau, “gak perlu,” dan yang paling dia tak suka untuk mendengarnya, “aku bisa sendiri.”
Memang.
Namun, apa salahnya bila Karel yang melakukan untuknya?
Apa salahnya bila aku meminta maaf? Andai kalimat ini dapat dengan mudah diucapkan.
Meski rasanya sudah tak ada cara untuk kembali, meski rasanya semesta menamparnya sambil berkata bahwa dirinya telah terlambat… Karel masih tak cukup punya hati untuk menyerah.
Dia tak mau menerima bahwa adiknya itu membencinya, bila adiknya itu tak tahu bahwa dia begitu menyayanginya.
Meski dia tahu, seharusnya dia menyerah sejak lama.
“Ai, congrats, ya, keterima jadi baker di toko roti impianmu.” Karel tersenyum pilu, tetapi berusaha terlihat senang. Kafenya baru tutup dua jam lalu, beberapa karyawannya yang lain masih sedang beres-beres. Dia memang senang, tetapi melepaskan adiknya tak akan pernah menjadi sesuatu yang akan benar-benar bisa dia hadapi.
“Aku berangkat sekarang. Besok pagi nyampe di sana langsung siap-siap training.” Dia melepaskan apron Six Seat Magical Cafe untuk digantung di dinding dekat meja kasir.
Karel memandangnya. Agaknya apron itu tak akan disentuh lagi oleh siapa pun, selamanya.
Ai beranjak, melangkah menuju pintu kafe. Kakaknya mengikuti, tetapi tak mengucapkan apa pun, termasuk kata-kata perpisahan, seakan-akan dia meminta gadis itu untuk tak pergi.
“Aku pamit dulu.”
Gadis itu langsung berbalik dan pergi.
Dan sikapnya itu memberikan Karel kesempatan untuk benar-benar tak mengatakan apa pun, bahkan untuk sekadar tersenyum atau melambai. Lagi pula, adiknya tak akan peduli.
“Pamitanku hari ini,” Ai berhenti untuk menengok sedikit, “jangan lupa masukin ke buku diarimu, ya.” Kemudian kembali melangkah.
Karel terkejut bukan main. “Kok kamu tahu soal diariku?” Pipinya merah seketika. Mau bagaimana lagi, sebagai kakak yang begitu menyayangi adiknya, dia tak mau melupakan satu pun dari momen-momen Ai sehingga sejak dulu selalu menyimpan setiap foto dan kenangan yang ada.
Dari kejauhan, Ai hanya tertawa.
Karel menengok ke dalam kafe. “Siapa yang cepu!?”
Semuanya karyawannya langsung pura-pura tidak melihatnya.
“Kalian ini, ya!”
Terlepas dari seberapa malu dan marah Karel saat ini, dia tak akan bisa melakukan apa pun pada mereka. Mau bagaimana lagi, bila bukan karena para anak buahnya itu, semuanya tak akan terselesaikan.
Masih dengan perasaan campur aduk—tersenyum, tertawa, menggerutu, dengan muka merah—Karel kemudian berteriak kepada adiknya, “Hati-hati!” Cukup sederhana, walau sebenarnya masih ada banyak yang ingin dia katakan.
Kalau ada apa-apa, bilang ke kakak. Kalau tidak cocok dengan pekerjaan barunya, jangan ragu untuk kembali. Kalau bingung atau takut akan sesuatu, mengadu saja kakak.
Memlukan.
Masih terasa memalukan untuk mengatakan itu semua.
Namun, Karel yakin, adiknya pasti telah tahu tanpa dia perlu mengatakannya sekali pun.
Kemudian, Karel kembali ke dalam kafe. “Mulai besok, akan ada kenaikan upah bagi setiap karyawan yang terbaik. Dan kalian semua, adalah yang terbaik. Betah-betah, ya, kerja di sini.” Meski bicaranya kembali tenang seperti biasanya, tetapi caranya tersenyum tak bisa berbohong.
Sekarang Karel tahu mengapa para karyawannya, termasuk Ai—saat masih bekerja di situ—sering bisik-bisik atau membicarakan sesuatu yang terkesan begitu seru tetapi, langsung pura-pura sibuk dengan pekerjaan di kafe saat Karel muncul.
“Sungguh… kalian ini.” Selepas memasuki gudang—hanya pura-pura agar tak seorang pun melihatnya—dia langsung mengambil buku diari yang terselip di antara tumpukan stok roti tawar untuk menutupi wajah yang kegirangan.