Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah desa kecil di lereng perbukitan, Bagas, seorang pemuda berusia 28 tahun, memutuskan untuk mengubah nasibnya. Harga tomat sedang melonjak tinggi di pasar, dan Bagas melihat peluang emas. Dengan tabungan pas-pasan, ia menyewa sepetak lahan subur milik Pak Dani, seorang petani tua yang terkenal pelit tapi baik hati. "Tomat itu emas merah, Gas," kata Bagas pada dirinya sendiri, penuh semangat. Ia membayangkan panen melimpah, dompet tebal, dan mungkin bisa membeli motor baru untuk menggantikan sepeda tuanya.
Bagas bekerja keras. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, ia sudah di ladang, mencangkul tanah, menanam benih tomat pilihan, dan memastikan irigasi berjalan lancar. Ia belajar dari YouTube, bertanya pada petani tetangga, bahkan membaca buku pertanian tua yang dipinjam dari perpustakaan desa. Tomatnya tumbuh dengan baik—daun hijau mengilap, buah mulai muncul, bulat dan merona. Bagas sering tersenyum lebar, membayangkan keuntungan besar. "Dua bulan lagi, panen raya, dan aku akan jadi raja tomat!" gumamnya.
Namun, perjuangan tak selalu mulus. Hama keong menyerang, dan Bagas harus begadang menyemprotkan pestisida alami yang ia racik sendiri dari bawang putih dan cabai. Hujan deras pernah menggenangi ladang, memaksanya membangun parit darurat dengan tangan penuh lumpur. Tetangganya, Mbok Darti, sering menggodanya, "Bagas, yakin tomatmu laku? Jangan-jangan cuma buah impian!" Bagas hanya tertawa, "Lihat saja nanti, Mbok!"
Dua bulan berlalu, waktu panen tiba. Ladang Bagas dipenuhi tomat merah menggoda, besar-besar dan sehat. Ia memanen dengan penuh harap, mengangkut keranjang demi keranjang ke pasar. Tapi, sesampainya di sana, jantungan Bagas nyaris copot. Harga tomat anjlok drastis! Dari Rp 25.000 per kilo, kini cuma Rp 5.000. Pasar dibanjiri tomat dari daerah lain, dan pembeli lebih memilih yang lebih murah. Sebaliknya, harga cabai rawit melonjak hingga Rp 80.000 per kilo. "Cabai, kenapa harus cabai?!" keluh Bagas, menatap tumpukan tomatnya yang tak laku-laku.
Bagas pulang dengan wajah muram. Ia menghitung-hitung, biaya sewa lahan, benih, pupuk, dan tenaga sudah menghabiskan jutaan rupiah, tapi hasil penjualan tak cukup menutup modal. Ia rugi besar. Malam itu, ia duduk di beranda rumah, menatap bintang-bintang, merasa dunia menertawakannya. "Apa gunanya kerja keras kalau ujungnya begini?" pikirnya.
Keesokan harinya, saat Bagas sedang menyiram sisa tanaman tomat yang tak terjual, ia membayangkan seorang wanita muda mendatanginya. Namanya Akma, seorang pengusaha kuliner dari kota yang sedang mencari bahan baku untuk restoran barunya. Dalam lamunannya, Akma melihat tumpukan tomat Bagas dan bertanya, "Ini tomat organik, ya? Tanpa pestisida kimia?" Bagas mengangguk, menjelaskan bagaimana ia meracik pestisida alami dan merawat tanamannya dengan penuh dedikasi.
Akma tersenyum lebar dalam khayalannya. "Saya sedang cari tomat seperti ini untuk saus spesial restoran saya. Kualitasnya luar biasa! Saya beli semua stokmu, dan kalau bisa, saya ingin kontrak jangka panjang untuk pasokan tomat organik." Bagas terbelalak dalam mimpinya, tak percaya. Akma menawarkan harga tiga kali lipat dari harga pasar, jauh di atas kerugian yang ia alami.
Bahkan, dalam lamunan itu, Akma melirik beberapa tanaman cabai liar yang tumbuh di pinggir ladang Bagas—cabai yang ia tanam sembarangan sebagai pagar hidup. "Cabai ini unik, warnanya lebih cerah dari yang biasa. Bisa saya uji untuk menu spesial?" tanya Akma. Bagas, yang tak pernah serius dengan cabai itu, hanya mengangguk bingung. Ternyata, cabai liar itu adalah varietas langka yang dicari-cari chef kota besar. Akma memesan seluruh cabainya dengan harga fantastis.
Namun, angin sepoi membawa Bagas kembali ke kenyataan. Ia tersenyum kecil, berkata dalam hati, "Kalau saja ada Akma sungguhan..." Ia menggelengkan kepala, menyadari itu hanya lamunan. Dengan berat hati, ia mulai mengubur tomat-tomat yang tak laku itu di dekat kebunnya, berharap setidaknya tanahnya jadi lebih subur. Sembari bekerja, ia dengan hati-hati mengumpulkan biji-biji cabai. "Semoga tahun depan harga cabai masih bagus," gumamnya, menyimpan biji-biji itu dalam kaleng kecil. Meski rugi besar, Bagas tak patah semangat. Ia menatap ladangnya, berjanji pada diri sendiri untuk mencoba lagi, kali ini dengan cabai sebagai harapan baru.
Tamat