Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Sisa Siang
0
Suka
4,731
Dibaca

Selepas menghadiri acara walimatus safar tetangga, Abah pulang dengan langkah tertekan. Derapnya lesu, bak penuh beban di pundak. Tak ada suara yang mengiringi. Mulutnya bahkan mengunci diri dari setiap sapa yang menghampiri.

Abah kembali ke rumah dengan wajah sendu. Ia lalu duduk di kursi rotan yang mulai reot, menatap lurus ke pohon mangga yang belum juga berbuah.

Kubawakan secangkir teh untuk menemaninya, dan menjadi jembatan percakapan. Tak mudah untuk memulai kata sebab dingin ini sudah bisa kuterka.

“Abah kenapa?” tanyaku, lirih.

Ia hanya menggeleng dan tersenyum. Tipis. Sarat gumpalan di dada. Terbias keinginan yang ingin dipahami tanpa perlu diucapkan.

Ya, aku paham makna dua garis bibir Abah itu. Senyum yang sering muncul tiap kali tetangga berbicara tentang haji, tentang anak-anak mereka yang sukses, tentang keberangkatan dan kepulangan dari Tanah Suci. Senyum yang tidak pernah benar-benar tuntas.

“Abah ingin ke Mekah juga?” Tanpa sadar, aku melafalkannya.

“Memangnya, siapa yang tidak mau?” jawab Abah satir, sambil mengalihkan pandangan. Kedua tangannya menarik ujung sarung. “Tapi itu untuk yang mampu,” tegasnya dengan nada terasa sedikit naik.

Kalimat itu pun menggantung lama di udara, menggema sumbang di dalam kepalaku. Mampu. Aku mengerti maksudnya. Lebih dari itu, aku tahu siapa yang sedang ia bebaskan dari tanggung jawab—aku.

Kujatuhkan wajah menghadap lantai yang retak. Aku bak ditampar balik oleh keputusanku berhenti kerja bulan lalu. Dulu, kupikir bahwa aku memilih jalan yang mulia: tinggal di rumah, merawat Abah yang mulai kesepian, menemaninya bicara, dan menyiapkan hidangan terbaik untuknya.

Sebaliknya, sekarang, di hadapan tatapan kosong Abah ke cakrawala jauh, aku merasa kecil. Keputusan yang kukira akan bermakna, menggantung seperti pakaian lembap di tali jemuran—berat, tak kering, tak juga berguna.

“Kalau kamu tetap kerja, mungkin Abah punya harapan buat daftar haji,” ujarnya, memecah bisu yang menyelimuti beberapa saat. Sebuah pernyataan tanpa menyalahkan, tetapi sesak bagi batin.

Hah! Aku tak sanggup menjawab. Angin berdesir lantang, memintaku tetap tunduk dan diam saja.

Hening menerpa sekali lagi. Waktu seakan beku. Tak ada sayup, tak ada gerak. Hanya bayang-bayang sesuatu yang perlahan menghilang. Entah harapan, entah aku sendiri.

Pada detik ini, aku sadar: mencintai seseorang tidak selalu berarti bisa membuatnya bahagia. Terkadang cinta justru datang dengan kekosongan yang sunyi—misalnya, duduk berdua tanpa kata, dengan angan yang tak bisa dijangkau dan keputusan yang mungkin tersasar.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
KPR (Kapan Pindah Rumah?)
Annisa Diandari Putri
Novel
Gold
Hwaiting . . . ! From Seoul to Beijing
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Bulan Bersedih Di Jakarta
Herman Sim
Flash
Rapat OSIS
Salmah Nurhaliza
Flash
Sisa Siang
Jasma Ryadi
Novel
Out Life
Nurprastiwi
Novel
KAKTUS
L.Biru
Novel
Patahan Teka-Teki
Tatsnia Kivian
Novel
Prolog Epilog
Devi Wulandari
Novel
CERAI
I M A W R I T E
Komik
Can I ?
Blueleaf
Flash
MEDIA TIDAK SOSIAL
Hazalia Zahra
Novel
Bronze
KEDUA KALI
Novya
Novel
Bronze
Si Anak Yatim
Azmi1410
Novel
Titik 0 km
MiiraR
Rekomendasi
Flash
Sisa Siang
Jasma Ryadi
Flash
Mengapa Harus Ada Cinta dalam Pernikahan
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Mereka yang Membawa Pertanda
Jasma Ryadi
Flash
Semangkuk Bakso
Jasma Ryadi
Flash
Sandekala
Jasma Ryadi
Flash
Rumah Tanpa Isinya
Jasma Ryadi
Flash
Aku dan Sebatang Rokok di Tangannya
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Tanganku di Timur, Hatimu di Barat
Jasma Ryadi
Flash
Bu, Mengapa Orang-Orang Mati?
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
2045
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Semangkuk Mie Ayam Sebelum Mati
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Dapur dan Labelnya
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Telinga Kelima
Jasma Ryadi
Flash
Ikan adalah Luka
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Giant's Heart
Jasma Ryadi