Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Selepas menghadiri acara walimatus safar tetangga, Abah pulang dengan langkah tertekan. Derapnya lesu, bak penuh beban di pundak. Tak ada suara yang mengiringi. Mulutnya bahkan mengunci diri dari setiap sapa yang menghampiri.
Abah kembali ke rumah dengan wajah sendu. Ia lalu duduk di kursi rotan yang mulai reot, menatap lurus ke pohon mangga yang belum juga berbuah.
Kubawakan secangkir teh untuk menemaninya—dan menjadi jembatan percakapan. Tak mudah untuk memulai kata sebab dingin ini sudah bisa kuterka.
“Abah kenapa?” tanyaku, lirih.
Ia hanya menggeleng dan tersenyum. Tipis. Sarat gumpalan di dada. Terbias keinginan yang ingin dipahami tanpa perlu diucapkan.
Ya, aku paham makna dua garis bibir Abah itu. Senyum yang sering muncul tiap kali tetangga berbicara tentang haji, tentang anak-anak mereka yang sukses, tentang keberangkatan dan kepulangan dari Tanah Suci. Senyum yang tidak pernah benar-benar tuntas.
“Abah ingin ke Mekah juga?” Tanpa sadar, aku melafalkannya.
“Memangnya, siapa yang tidak mau?” jawab Abah satir, sambil mengalihkan pandangan. Kedua tangannya menarik ujung sarung. “Tapi itu untuk yang mampu,” tegasnya dengan nada terasa sedikit naik.
Kalimat itu pun menggantung lama di udara, menggema sumbang di dalam kepalaku. Mampu. Aku mengerti maksudnya. Lebih dari itu, aku tahu siapa yang sedang ia bebaskan dari tanggung jawab—aku.
Kujatuhkan wajah menghadap lantai yang retak. Aku bak ditampar balik oleh keputusanku berhenti kerja bulan lalu. Dulu, kupikir bahwa aku memilih jalan yang mulia: tinggal di rumah, merawat Abah yang mulai kesepian, menemaninya bicara, dan menyiapkan hidangan terbaik untuknya.
Sebaliknya, sekarang, di hadapan tatapan kosong Abah ke cakrawala jauh, aku merasa kecil. Keputusan yang kukira akan bermakna, menggantung seperti pakaian lembap di tali jemuran—berat, tak kering, tak juga berguna.
“Kalau kamu tetap kerja, mungkin Abah punya harapan buat daftar haji,” ujarnya, memecah bisu yang menyelimuti beberapa saat. Sebuah pernyataan tanpa menyalahkan, tetapi sesak bagi batin.
Hah! Aku tak sanggup menjawab. Angin berdesir lantang, memintaku tetap tunduk dan diam saja.
Hening menerpa sekali lagi. Waktu seakan beku. Tak ada sayup, tak ada gerak. Hanya bayang-bayang sesuatu yang perlahan menghilang—entah harapan, entah aku sendiri.
Pada detik ini, aku sadar: mencintai seseorang tidak selalu berarti bisa membuatnya bahagia. Terkadang cinta justru datang dengan kekosongan yang sunyi—misalnya, duduk berdua tanpa kata, dengan angan yang tak bisa dijangkau dan keputusan yang mungkin tersasar.