Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Sisa Siang
0
Suka
5,674
Dibaca

Selepas menghadiri acara walimatus safar tetangga, Abah pulang dengan langkah tertekan. Derapnya lesu, bak penuh beban di pundak. Tak ada suara yang mengiringi. Mulutnya bahkan mengunci diri dari setiap sapa yang menghampiri.

Abah kembali ke rumah dengan wajah sendu. Ia lalu duduk di kursi rotan yang mulai reot, menatap lurus ke pohon mangga yang belum juga berbuah.

Kubawakan secangkir teh untuk menemaninya, dan menjadi jembatan percakapan. Tak mudah untuk memulai kata sebab dingin ini sudah bisa kuterka.

“Abah kenapa?” tanyaku, lirih.

Ia hanya menggeleng dan tersenyum. Tipis. Sarat gumpalan di dada. Terbias keinginan yang ingin dipahami tanpa perlu diucapkan.

Ya, aku paham makna dua garis bibir Abah itu. Senyum yang sering muncul tiap kali tetangga berbicara tentang haji, tentang anak-anak mereka yang sukses, tentang keberangkatan dan kepulangan dari Tanah Suci. Senyum yang tidak pernah benar-benar tuntas.

“Abah ingin ke Mekah juga?” Tanpa sadar, aku melafalkannya.

“Memangnya, siapa yang tidak mau?” jawab Abah satir, sambil mengalihkan pandangan. Kedua tangannya menarik ujung sarung. “Tapi itu untuk yang mampu,” tegasnya dengan nada terasa sedikit naik.

Kalimat itu pun menggantung lama di udara, menggema sumbang di dalam kepalaku. Mampu. Aku mengerti maksudnya. Lebih dari itu, aku tahu siapa yang sedang ia bebaskan dari tanggung jawab—aku.

Kujatuhkan wajah menghadap lantai yang retak. Aku bak ditampar balik oleh keputusanku berhenti kerja bulan lalu. Dulu, kupikir bahwa aku memilih jalan yang mulia: tinggal di rumah, merawat Abah yang mulai kesepian, menemaninya bicara, dan menyiapkan hidangan terbaik untuknya.

Sebaliknya, sekarang, di hadapan tatapan kosong Abah ke cakrawala jauh, aku merasa kecil. Keputusan yang kukira akan bermakna, menggantung seperti pakaian lembap di tali jemuran—berat, tak kering, tak juga berguna.

“Kalau kamu tetap kerja, mungkin Abah punya harapan buat daftar haji,” ujarnya, memecah bisu yang menyelimuti beberapa saat. Sebuah pernyataan tanpa menyalahkan, tetapi sesak bagi batin.

Hah! Aku tak sanggup menjawab. Angin berdesir lantang, memintaku tetap tunduk dan diam saja.

Hening menerpa sekali lagi. Waktu seakan beku. Tak ada sayup, tak ada gerak. Hanya bayang-bayang sesuatu yang perlahan menghilang. Entah harapan, entah aku sendiri.

Pada detik ini, aku sadar: mencintai seseorang tidak selalu berarti bisa membuatnya bahagia. Terkadang cinta justru datang dengan kekosongan yang sunyi—misalnya, duduk berdua tanpa kata, dengan angan yang tak bisa dijangkau dan keputusan yang mungkin tersasar.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Saksi Terakhir
DENI WIJAYA
Novel
Bronze
Tak Sambat
Nuel Lubis
Flash
Sisa Siang
Jasma Ryadi
Novel
Bronze
Arca, Alien, dan Bunga Daisy
Deasy Wirastuti
Novel
Bronze
Find Me My Story
Zia Nuna
Novel
Bronze
Nyanyian Badai
Han Gagas
Novel
Bronze
Not Fair!
Jesslyn Nathalie
Cerpen
Bronze
Asa yang Merajuk
ayyy
Novel
"Suatu Hari" Buku Dari Seorang Sahabat
Ganang Winaryadi
Novel
Bronze
Retas
Gia Oro
Novel
Bronze
Balada Admin Klinik
Dwiend
Novel
I'm Fragile
Manda Tiara Sani
Novel
Bronze
Balada Sepasang Kekasih Gila
Han Gagas
Novel
Hinaanmu Motivasiku
Gian Safa Setyanti
Novel
7 rahasia alana
Tria Aryati Rahman
Rekomendasi
Flash
Sisa Siang
Jasma Ryadi
Flash
Tuhan, Jadikan Hariku Senin Selalu
Jasma Ryadi
Flash
Bagaimana Jika Aku Tidak Menikah?
Jasma Ryadi
Flash
Sisa Rindu
Jasma Ryadi
Flash
Jejak
Jasma Ryadi
Flash
Di Tepi Jurang
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Bingkai Tak Berujung
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Tanganku di Timur, Hatimu di Barat
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Tempat Tidur Emak
Jasma Ryadi
Flash
Gerimis yang Percuma
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Anita dan Penghuni Lain
Jasma Ryadi
Flash
Semangkuk Bakso
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Di Antara Kami Bertiga
Jasma Ryadi
Novel
Mereka di Sini
Jasma Ryadi
Flash
Bu, Mengapa Orang-Orang Mati?
Jasma Ryadi