Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku mengguling-gulingkan badan di ranjang kamar, menghela napas bosan. Di rumah tidak ada siapapun yang bisa diajak bicara, orang tuaku dan adikku sudah tertidur pulas di kamar, mereka tidak sekurang-kerjaan itu untuk mau kubangunkan agar aku tidak sendirian dan agar ada teman yang bisa kuajak bicara.
Aku melihat jam yang tertempel di dinding, pukul sepuluh lebih lima puluh menit, malam semakin larut, dan aku mengalami insomnia seperti biasanya. Menjengkelkan sekali, tetapi aku menyukainya karena aku merasa punya dunia sendiri saat malam hari.
Aku berdiri, mengambil sembarang novel di rak buku, lantas membanting tubuh di ranjang, aku membuka halaman yang sudah kutandai. Aku membaca beberapa bait, lalu menaruh novel itu sebentar.
Aku bangkit, mengambil camilan dan ponsel di luar kamar, membawanya masuk ke kamar. Aku membuka novel, mulai membacanya. Tangan kiriku sibuk mengambil camilan, memasukkan dua biskuit sekaligus ke dalam mulutku.
Sekitar sepuluh menit aku membaca novel hingga setengahnya, aku menoleh, camilanku tidak terasa sudah ludes begitu saja, aku tidak sadar menghabiskannya sebanyak itu, padahal aku merasa hanya memakan tiga keping biskuit, mungkin itulah alasan jika seorang remaja yang takut ngemil—lebih tepatnya takut gemuk—karena saat ngemil aku tidak tahu telah menghabiskan sebanyak itu.
“Ei, sudah habis?” tanyaku.
Kuputuskan untuk melanjutkan membaca novel, kalau aku mengambil camilan lagi, nanti Ibu akan memarahiku karena kumakan habis semuanya.
Tiba-tiba saja ponselku bergetar, tanpa berpikir dua kali, aku mengambil ponsel yang tergeletak di sampingku. Langsung menekan tombol hijau tanpa melihat siapa yang menelepon.
Biasanya Ibu yang meneleponku, atau kalau tidak temanku yang biasanya menanyakan PR.
“Halo,” sapaku.
Tidak ada sahutan dari sana.
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku, melihat siapa yang meneleponku. Nomor tidak dikenal, aku belum menyimpan namanya.
Siapa orang yang kurang kerjaan malam-malam meneleponku? Apalagi sekarang hampir tengah malam, tidak mungkin temanku yang menanyakan PR, bukan? Tidak mungkin juga orangtuaku? Mereka sedang berada di dunia mimpi sekarang.
Aku mendekatkan ponsel di telingaku.
“Halo!” seruku, berharap orang di seberang sana menjawab.
Telepon hening, tidak ada yang bersuara, baik aku maupun orang asing di seberang sana.
“Ha ... halo?” Orang di seberang menyahut.
Dari suaranya, dia sepertinya seorang laki-laki berumur sekitar dua puluhan, suaranya terdengar bergetar ketakuan, yang mana membuatku merinding juga.
Sepertinya lelaki itu habis nangis, karena suaranya begitu parau dan berat.
“Halo, nomor siapa ini?” tanyaku, lebih tegas.
“Halo ... aku dipenjara,” jawabnya dengan suara parau.
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku. Apa maksudnya dipenjara? Kenapa juga dia meneleponku? Kenapa tidak menelepon keluarganya? Lalu apa urusannya denganku kalau dia dipenjara? Apa peduliku?
“Maaf, Anda salah sambung.”
Segera saja kumatikan ponselku, lantas kulempar asal-asalan di atas ranjang.
Aku menyalaakan TV, sekadar untuk melupakan si penelepon aneh yang mengatakan kalau dirinya dipenjara, sebenarnya aku juga sedikit takut.
Aku menggonta-ganti chanel TV, tidak ada film yang bagus, rata-rata hanya film horor atau berita-berita. Lalu aku terpaksa menonton berita daripada menonton film horor—yang mana membuatku semakin sulit tidur.
“Hah? Telah terjadi kecelakaan di sekitar sini?” ujarku, terkejut.
“Diduga kecelakaan terjadi karena pemuda yang berumur sekitar dua puluan mengendarai mobil dalam keadaan mabuk. Pelaku sekarang berada di kantor polisi terdekat, dan korban dilarikan di rumah sakit, sekian dari saya—”
Aku mematikan TV. Lalu membaringkan tubuh di ranjang, cerita ini bukan kebetulan, ‘kan? Kenapa orang yang meneleponku tadi sepertinya juga berumur dua puluhan? Apakah pelaku dan orang yang meneleponku tadi ... orang yang sama?
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Aku refleks menutup mata, takut bila Ibu tiba-tiba datang, dia pasti akan memarahiku kalau selarut ini aku belum tidur.
Aku membuka sebelah mataku, mengintip, apakah Ibu sudah kembali apa belum.
Aku membuka kedua mataku, melotot kaget saat aku melihat seorang laki-laki berumur sekitar dua puluhan di ambang pintu. Aku refleks duduk.
“Kenapa kau ... mematikan ponselnya?” tanyanya dengan suara parau.
Kalau tidak salah, lelaki itu memiliki suara sama saat aku menelepon orang asing tadi. Apakah dia ... orang yang meneleponku tadi.
Lelaki itu masuk kamarku, dia mengambil sesuatu di jaketnya sembari tersenyum miring. Itu sebuah ... pisau.