Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gema takbir membelah langit, menggetarkan hati setiap insan yang mendengarnya. Suaranya melengkung lembut di antara rumah-rumah yang masih berselimut pagi, menggema hingga menyentuh relung batin yang terdalam.
Di dalam dapur, Raya berdiri di hadapan panci besar. Uap panas mengepul, bercampur dengan aroma rempah yang kian merasuk ke dalam daging ayam yang tengah direbusnya. Matanya menatap cairan kuning kecokelatan yang perlahan berkurang, tanda bumbu telah meresap sempurna. Ia mengangkat potongan ayam itu dengan hati-hati, menaruhnya ke dalam sebuah wadah, lalu membawa wadah itu ke kamar.
Dengan penuh perhatian, Raya membuka tutupnya, membiarkan hawa panas perlahan menghilang—seperti membiarkan waktu bekerja, mengasah rasa, menanamkan kenangan di setiap helai serat daging yang kelak akan menggugah selera.
Pekerjaannya telah selesai. Ia menghela napas, melangkah pelan menuju ranjang tempat kedua buah hatinya masih terlelap dalam mimpi.
"Sinta, Abdul, ayo bangun. Waktunya shalat Id," panggilnya lembut, jemarinya mengguncang tubuh mereka dengan penuh kasih.
Sinta menggeliat perlahan. Cahaya pagi menelusup dari celah jendela, menyinari wajahnya yang masih enggan meninggalkan dunia mimpi. Ia mengusap belek di sudut matanya dengan malas.
"Jam berapa, sih, Ma?" suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
"Hampir jam setengah enam. Yuk, mandi dulu, terus wudu."
Sinta yang sudah kelas enam SD itu mengangguk pelan, duduk tegak, lalu meraih botol air di sampingnya dan meneguknya sedikit. Setelah itu, ia mengayunkan tangan kecilnya, mengguncang tubuh adiknya.
Abdul, masih terjerat dalam kantuknya, hanya bergumam pelan, "Papa mana, Ma?"
"Masih tidur. Yuk, bangun dulu. Kita ke kamar sebelah."
Abdul memeluk selimutnya sekali lagi, enggan berpisah dari kehangatan tempat tidur. Namun, setelah beberapa tarikan napas, akhirnya ia menyerah dan melangkah gontai meninggalkan ranjangnya.
Mereka bersiap berangkat ke Masjid Al-Ikhlas untuk melaksanakan shalat Id. Raya sendiri tidak ikut karena sedang menstruasi.
"Hati-hati, ya, di sana. Sinta, kamu nggak apa-apa, kan, ditinggal di tempat perempuan?" tanyanya penuh perhatian.
"Nggak apa-apa, Ma. Aku sudah besar, kok," sahut Sinta, jemarinya sigap merapikan jilbab segitiganya yang sederhana namun anggun.
Papa mereka, Rasyid, menyampirkan sajadah ke bahunya. "Ayo berangkat," ajaknya, suara beratnya memenuhi ruangan.
Sebelum mereka pergi, Raya berpesan, "Jaga mereka baik-baik, lho, Pa."
Rasyid mengangguk, menggenggam tangan kecil Abdul dan melangkah menuju garasi. Sinta mengikuti mereka dari belakang, langkahnya mantap.
Setelah ketiganya pergi, Raya menghela napas dan merebahkan diri sejenak di kamar. Namun, tak lama, ia bangkit dan mulai menggoreng telur serta tempe untuk sarapan. Tak lupa ia membuatkan susu hangat dan kopi—dua hal yang selalu menjadi teman pagi bagi suaminya.
Ketika keluarganya pulang, suara ceria langsung memenuhi rumah.
"Ma, nggak ada kiriman daging gratis?" tanya Abdul sambil melepas kopiahnya.
Raya terkekeh, mengusap kepala anaknya dengan penuh kasih. "Nggak ada. Kamu ini ada-ada saja. Mana mungkin orang sembarangan mau bagi-bagi daging gratis?"
"Tapi mestinya, kan, ada. Sekali-sekali gitu, lho," sangkal Abdul, matanya berbinar penuh harapan.
Raya tertawa lagi. "Udahlah. Ayo kita makan."
Mereka sarapan dengan penuh canda dan tawa. Setelah itu, Raya melanjutkan pekerjaannya dengan menggoreng ayam yang sudah diungkep sejak pagi. Sementara itu, suaminya sibuk mengurus sesuatu di kamar, dan anak-anak berlarian riang di halaman depan.
Saat ayam telah matang, Raya menatanya di piring dan mulai memotong sayur untuk pelengkap. Tiba-tiba, kedua anaknya muncul kembali. Sinta membawa bungkusan putih.
"Apa itu, Nak?" tanya Raya heran. "Dari siapa?"
"Dari tetangga kita, Bu Indra," jawab Sinta sambil menyerahkan bungkusan itu pada mamanya. "Katanya buat kita."
Raya mengintip ke dalam bungkusan. Ada wadah plastik berisi potongan-potongan daging. Sejenak ia terdiam, lalu menggigit bibirnya. Namun, dengan cepat ia meminta anak-anaknya kembali bermain.
"Dari siapa, tuh?" tanya Rasyid setelah Raya melaporkan pemberian daging tersebut.
"Bu Indra. Anak-anak yang menerima," jawab Raya.
Rasyid mengangguk pelan. "Udah diungkep?"
"Iya. Jadi gimana? Mau buat makan sekarang atau besok?"
"Besok sajalah. Sekarang sudah ada makanan lain. Simpan dulu di kulkas."
Raya menurut dan menyimpan bungkusan itu dalam kulkas.
Sore harinya, ia berkunjung ke rumah Bu Indra untuk mengucapkan terima kasih.
"Nggak apa-apalah, Mbak. Saya baru aja terima banyak daging. Bingung mau diapain. Makanya saya kasih ke Mbak Raya aja," kata Bu Indra sambil tersenyum ramah.
"Iya, Bu Indra. Saya awalnya juga bingung, soalnya sebetulnya saya bukan orang yang berhak menerima daging kurban. Tapi anak-anak pasti happy, kok, kalau dikasih daging. Apalagi kalau dimasak rawon."
"Hahaha, gitu, ya, Mbak. Itu rencananya mau dimasak kapan?"
"Besok, Bu. Soalnya kalau sekarang, sudah ada makanan lain."
Bu Indra mengangguk, penuh pemahaman.
Esok harinya, Raya memasak rawon dari daging pemberian Bu Indra. Aroma rempah memenuhi rumah, membawa rasa bahagia yang sederhana namun nyata.
"Hmm... enak banget, Ma. Aku suka rawon!" seru Abdul, wajahnya berseri-seri.
"Hati-hati makannya, ya. Jangan kebanyakan makan lemaknya, nanti kolestrol," ujar Raya dengan nada memperingatkan.
"Hati-hati juga sama lengkuasnya. Kadang suka menyamar jadi daging," candanya dengan tawa kecil.
Rasyid bergumam sambil makan, "Rawon buatan Mama memang juara! Sayangnya, kita cuma bisa makan daging setahun sekali, soalnya kalau beli sendiri, takutnya mahal."
Semua tertawa gembira. Di antara hangatnya rumah, mereka menikmati kebersamaan yang begitu berharga—sebuah momen Idul Adha yang penuh berkah.