Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi pohon-pohon kelapa, lapangan rumput menjadi saksi kebahagiaan warga pada sore itu. Turnamen sepak bola antar kampung sedang berlangsung, dan suasana dipenuhi sorak sorai penonton yang duduk berjejer di pinggir lapangan. Di tengah lapangan, Ole, pemuda berusia 18 tahun dengan nomor punggung 15, berlari lincah membawa bola. Matanya berbinar penuh semangat, hatinya bergetar karena ini adalah momen yang ditunggunya sejak lama. Ole, yang biasanya pendiam dan lebih suka menghabiskan waktu di sawah bersama ayahnya, menemukan keberaniannya di atas rumput hijau ini. Sepak bola baginya adalah pelarian dari kerasnya kehidupan desa, tempat ia melupakan lelahnya mencari ikan di sungai atau membantu ibunya menenun tikar.
Ole bukanlah pemain profesional, hanya anak desa yang suka bermain bola bersama teman-temannya. Namun, hari ini berbeda. Gol yang dicetaknya di menit-menit akhir membawa timnya unggul 2-1. Penonton bersorak histeris, bendera-bendera berwarna-warni berkibar, dan ibunya yang menonton dari pinggir lapangan tersenyum bangga sambil mengusap air mata haru. "Itu anakku!" teriaknya, disambut tepuk tangan meriah. Dalam hati, Ole teringat janjinya pada ayahnya yang sakit—ia ingin membuktikan bahwa kerja kerasnya tak sia-sia, meski hanya dengan sebuah bola.
Saat peluit akhir berbunyi, tim Ole dinobatkan sebagai juara. Warga berbondong-bondong memeluknya, dan teman-temannya mengangkatnya ke udara. Di bawah langit biru yang mulai merona, Ole tersenyum lebar. Bukan hanya tentang kemenangan, tapi tentang cinta, persahabatan, dan mimpi yang akhirnya bersemi di lapangan kecil itu. Malam itu, ia pulang dengan piala sederhana namun hati yang penuh, berjanji akan terus bermimpi besar meski hidupnya sederhana. Desa kecil itu dipenuhi tawa dan harapan baru, sementara Ole merasa untuk pertama kalinya, dunianya terasa lengkap.
Namun, saat Ole melangkah menuju rumahnya di bawah cahaya bulan, sebuah suara gemetar memanggilnya dari kejauhan. Itu Pak Darto, tetangga tua yang berlari tergopoh-gopoh dengan wajah pucat. “Ole, cepat! Ayahmu… kondisinya memburuk!” Jantung Ole seakan berhenti. Piala di tangannya terasa berat, dan tanpa berpikir panjang, ia berlari menyusuri jalan setapak yang gelap, hanya ditemani bunyi jangkrik dan angin malam. Di dalam hatinya, ia berdoa, memohon agar masih ada waktu untuk menunjukkan piala itu kepada ayahnya, untuk melihat senyum bangga di wajahnya sekali lagi. Namun, di ujung jalan, lampu rumahnya yang redup seolah menyisakan firasat buruk yang tak bisa ia tepis.
Sampai di rumah, Ole mendapati ibunya menangis di sisi ayahnya yang terbaring lemah. Dengan napas tersendat, ayahnya meraih tangan Ole dan berbisik, “Aku tahu kamu menang, Nak. Aku selalu percaya padamu.” Air mata Ole jatuh, bercampur antara haru dan luka. Ia memeluk piala itu erat-erat, seolah memeluk semua harapan yang pernah ia ceritakan pada ayahnya di malam-malam panjang di beranda rumah. Di tengah kesedihan, Ole merasa ada kekuatan baru dalam dirinya—janji untuk terus melangkah, membawa mimpi ayahnya dan desa kecil itu ke langit yang lebih luas, meski kini ia harus berjalan seorang diri.
-Tamat