Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Waktu sudah menunjukkan pukul 21:30. Mana sih kak Riska? Acara Lapor Ndan! sudah mau dimulai dan aku tidak mau ketinggalan. Setiap malam kami berdua tak pernah melewatkan acara kesayanganku itu dan selalu nobar berdua. Kadang-kadang juga bersama kedua orang tua kami. Tapi seringnya sih hanya dengan kami beerdua, karena orang tuaku tidak terlalu suka nonton TV. Kak Riska sendiri juga tadinya jarang menonton TV dan lebih suka menyibukkan diri di kamarnya setelah makan malam. Tapi sejak sebulan yang lalu ia jadi suka sekali menonton acara ini.
Dan menurutku itu sangat bagus. Setidaknya kak Riska bisa sedikit melepaskan segala kemuraman yang masih bersarang di hatinya dan mulai kembali tertawa. Ya, aku tahu sebulan ini kak Riska tidak baik-baik saja. Selain pergi kuliah, ia lebih banyak mengurung diri di kamar. Hanya keluar untuk makan dan menonton acara ini. Aku tahu apa masalahnya, namun aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Ya setidaknya ini lah yang aku bisa. Menemani kak Riska nobar Lapor Ndan! dan berharap melihat tawanya lagi. Meskipun dalam tawa-tawa itu masih tergurat jelas kesedihan yang dalam.
Tapi sekarang mana dia? Acaranya sudah mau mulai dan TV nya belum dinyalakan. Aku bisa saja menyalakan TV itu sendiri, tapi nanti ... ah itu dia akhirnya nongol juga. Kakakku itu tampak tergesa-gesa keluar dari kamar dan duduk di sofa di sebelahku. Aku tersenyum bersemangat saat kak Riska menyalakan TV dan wajah-wajah komedian favoritku muncul di layar. Episod malam ini sangat lucu. Komedi mengalir deras. Punchline dar der dor. Aku lihat kak Riska juga sangat menikmatinya. Meskipun ya itu tadi, pancaran matanya tetap tidak bisa berbohong. Keresahan hati yang tidak ingin ia sembunyikan di saat-saat kami hanya berdua seperti ini, masih terlihat disana dan mengiringi tawa kecilnya.
Aku sendiri sudah pasti sangat menikmati acara ini. Sekuat tenaga aku berusaha agar tidak tertawa yang terlalu lepas dan mengganggu kak Riska. Namun saat satu adegan konyol tersaji dan celetukan cerdas terlontar disana, aku tanpa sadar tertawa keras tak terkontrol.
"HAHAHA ... ups!"
Tersadar dengan gema suara tawa ku sendiri, aku segera menutup mulutku. Kak Riska sendiri tampak terkejut dan menoleh kearahku. Aku segera menyingkir dan bersembunyi di balik sofa. Aku tahu aku tak perlu, tapi aku ingin dan refleks bersembunyi.
"Ristii ... dek, apa itu kamu? Dek?" panggil kak Riska mengedarkan pandangannya ke sekiling ruangan. Aku masih tak ingin keluar, tak ingin mengganggunya. Namun wajah harap kak Riska yang terus mencari dan memanggil-manggil namaku, membuatku luluh. Kerinduanku untuk bisa bercengkrama seperti dulu lagi dengan kak Riska, akhirnya menggerakkan tubuhku.
Perlahanan aku mendekati kakakku yang mulai berlinang air mata itu. Dan sesampainya di hadapan kak Riska, segera ku usap air matanya dengan jari-jariku. Kak Riska sedikit tersentak dan ikut mengusap pipinya yang pasti terasa mendingin. Kekagetan yang berbalut kelegaan terpancar di matanya. Sebelum kemudian senyuman tulus yang akhir-akhir ini hilang dari wajah kak Riska, mulai mengembang di bibirnya.
"Risti, kakak kangen dek, kangen banget," ucapnya lirih sambil tanpa sadar masih memegang tanganku yang masih di pipinya. Aku sendiri tak mempedulikan genangan yang kini juga mengalir deras di pipiku. Aku hanya ingin menikmati saat-saat seperti ini. Saat-saat kami bisa berkomunikasi dan bercanda lagi berdua. Seperti dulu, sebelum semuanya terenggut begitu saja dari kami sebulan yang lalu.
"Aku juga kangen banget sama Kak Riska," jawabku sambil tersenyum lebar. Berharap semoga kak Riska bisa merasakan kehadiranku dan rasa sayangku yang tak pernah hilang. Meski kini ia tak akan bisa melihat wujudku lagi.
Tamat