Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Karena aku tidak sedang berada dalam kondisi yang baik untuk berinteraksi dengan manusia, aku ingin menghindari manusia. Aku pun berusaha menghindari diriku sendiri. Tapi sulit sekali untuk tidak bertemu dengan diriku sendiri. Terutama saat aku melihat tanganku sendiri. Ia terlihat begitu manusiawi. Bisa memukulku atau merampas apa yang seharusnya menjadi milikku dengan begitu mudah. Aku membenci tangan ini, jadi aku memotongnya. Dimulai dari tangan kiri dan sekarang aku kebingungan untuk memotong tangan kanan. Apalagi rasa sakitnya begitu luar biasa. Ngilu. Kupikir aku akan mati. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah setelah mati aku tidak akan bertemu diriku lagi? Kalau masih bertemu, itu akan buruk sekali.
Kapan aku bisa tidak bertemu diriku sendiri?
Sayang sekali Tuhan senang mempermainkan kita. Semakin tidak kita inginkan, semakin terang kedatangan hal itu. Semakin kita inginkan, justru semakin jauh hal itu. Menyebalkan sekali. Atau justru, hal itu terasa begitu dekat karena tidak kita inginkan dan hal itu terasa begitu jauh karena kita inginkan. Masalah perspektif.
Aku menatap kebencian yang berdiri di pojok kamar, kebingungan menatap darah yang sudah menggenang di lantai kamarku. “Aku tidak menginginkan darah ini.”
Seseorang mengetuk pintu.
“Oh, selamat datang, Kematian. Kebencian ada di sana.”
“Aku hanya berkunjung. Singgah sebentar.” Kematian masuk. Meraih gelas susu sisa semalam yang belum habis. Menenggaknya sampai habis.
Sambil meringis kesakitan, aku menatap tingkah Kematian.
Kematian meletakkan kembali gelas kaca itu ke atas meja, lalu berjalan ke pojok ruangan. “Hai, teman,” ucapnya ramah sambil mengulurkan tangan pada kebencian.
Kebencian menerima uluran tangan itu sambil berkata sinis, “kita bukan teman.”
Aku menatap mereka berdua yang berbincang cukup akrab. Meski Kebencian terus melontarkan kalimat-kalimat yang menyakiti hati, namun Kematian terlihat tidak masalah. Memang Kematian sangat ramah. Ia mudah menerima siapa saja untuk menjadi temannya.
Oh, tidak. Aku merasa pusing. Pandanganku mulai kabur. Aku ambruk. Kebencian dan kematian mengabaikanku. Sementara di bawah bingkai pintu Rasa Sakit berdiri menatapku. Tersenyum. “Aku akan menyelamatkanmu,” katanya.
Kumohon, berhenti menyiksaku.
Aku kehilangan kesadaran.