Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mentari senja menorehkan warna jingga menyala di langit, membias indah di pasir putih Pantai Senggigi, Lombok. Laut tenang berkilau seperti cermin raksasa, memantulkan bayangan langit dan sepotong takdir yang sebentar lagi akan terpaut.
Di Sanalah pertemuan pertama mereka terjadi.
Alya, seorang fotografer lepas sedang berjalan menyusuri pantai mencari inspirasi. Matanya menangkap siluet kapal nelayan di kejauhan, sementara pikirannya sibuk dengan sketsa bayangan yang hendak ia bingkai. Tiba-tiba ombak menghantam kakinya, membuat ia hilang keseimbangan. Kamera di tangannya nyaris jatuh.
Sebuah tangan, sigap menangkapnya.
“Hati-hati, Mbak. Ombak di sini memang suka jahil,” ujar seseorang yang bersuara berat dan serak.
Alya mendongak, menatap sepasang mata gelap yang dalam seperti laut menyimpan ribuan cerita. Lelaki itu berkulit legam terbakar matahari, rambutnya sedikit panjang dan acak-acakan. Memberi kesan liar sekaligus tenang.
“Terima kasih,” ucap Alya, tersenyum malu.
“Nama saya Samudera. Saya biasa bantu-bantu angkut hasil tangkapan nelayan. Kamu fotografer, ya?”
“Iya. Sedang mengambil gambar yang pas,” jawab Alya.
“Kalau begitu, kamu datang ke tempat yang tepat.”
Hari-hari berikutnya, Alya dan Samudera semakin sering bertemu. Alya memotret kehidupan para nelayan, anak-anak bermain pasir, dan senja yang selalu menyemburatkan warna baru. Samudera, dengan suara tenangnya menceritakan kisah-kisah. Tentang badai yang datang tiba-tiba, tentang ikan-ikan yang menghilang dan tentang ayahnya yang tak pernah kembali pulang dari laut.
Mereka berbincang hingga malam. Sampai makan bersama di warung kecil dekat pantai, menyantap ikan bakar dan menyesap kopi hitam.
“Kamu suka laut?” Tanya Samudera.
“Suka. Tapi laut juga menakutkan. Begitu luas ... dan tak bisa ditebak.”
“Sama seperti hidup,” jawab Samudera menatap cakrawala.
Di tengah kebersamaan itu, tumbuh cinta yang pelan tapi pasti. Namun, seperti ombak yang pasang surut, kebahagiaan mereka mulai diwarnai kegamangan.
Alya menyadari waktunya di Lombok tinggal hitungan hari. Ada pekerjaan lain yang menantinya, tapi ia mulai ragu. Apakah kepergiannya berarti meninggalkan sesuatu yang jauh lebih bermakna?
“Samudera ... kalau aku pergi, apa kamu akan lupa sama aku?” Tanya Alya suatu sore, saat senja kembali melukis langit.
Samudera diam lama, lalu berkata pelan. “Laut tak pernah lupa siapa yang pernah menyentuhnya.”
“Tapi aku bukan laut.”
“Kamu adalah senja di mataku, Alya. Selalu datang, tapi tak pernah tinggal.”
Kamera Alya menjadi simbol perjalanan, kenangan dan keterikatan. Setiap jepretan adalah cara ia mengabadikan momen yang mungkin tak akan kembali. Samudera, sebaliknya adalah jangkar yang mengakar pada tanah, tak bisa ikut mengarungi dunia yang selalu bergerak.
Perpisahan tiba, mereka berpelukan lama tanpa kata-kata. Hanya mata yang saling berbicara. Kamera Alya tergantung di lehernya, berat oleh kenangan.
Beberapa tahun kemudian ....
Alya kembali ke Lombok. Dunia telah memberinya banyak hal yakni pengakuan dan prestasi. Tapi hatinya selalu menyimpan ruang kosong, seperti bingkai foto yang tak pernah terisi.
Ia kembali ke Pantai Senggigi. Tempat mereka pertama bertemu kini berubah. Warung makan tempat mereka biasa makan kini dijaga oleh seorang nelayan tua.
”Samudera?” Tanya Alya sambil menunjukkan foto lama.
Lelaki tua itu mengangguk pelan. “Sudah lama dia pindah. Menikah, ikut istrinya ke Pulau Sumbawa.”
Alya duduk di tepi pantai. Ombak masih datang dan pergi, sama seperti dulu. Ia memandang kamera miliknya, lalu menyalakan shutter. Klik. Ia mengabadikan senja yang kini sendirian.
“Senja tak pernah tinggal, tapi ia selalu kembali.” Gumamnya.