Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Di mana dia?”
Rakyat. Kebebasan. Negeri di atas kekuasaan pribumi kembali. Setidaknya itulah yang terlihat sekilas. Rama Dananjaya memimpin setelah Belanda secara resmi angkat kaki dari nusantara. Nama keluarga yang besar, berjasa, dan pernah berkuasa, kembali dipandang dengan gengsi.
“Gadis itu?”
Figurnya yang akbar menjadi pemimpin yang dipuja-puja. Bersanding dengan istrinya, Ratu Hemas yang membantu di berbagai sektor: keuangan, budaya, kesejahteraan wanita dan anak-anak, serta sebagainya.
“Hayu?”
Putri mereka satu-satunya, menjadi seseorang yang diharap-harapkan. Masa depan masih panjang, potensi besar. Calon pemimpin berikutnya. Dia dijaga dengan sangat, tapi juga diincar dengan tanpa ampun. Hayu Rayadinata Jaya.
“Putri Hayu! Ternyata di sini Anda berada.” Hendri, wakil komandan Kepolisian Militer bentukan Belanda dahulu, yang masih dipertahankan keberadaannya hingga saat ini akibat peran mereka yang cukup krusial.
“Hendri.”
Bila dibilang Hayu adalah sosok putri dari seorang pemimpin besar, agaknya itu sangat benar-benar tercermin padanya.
Semenjak memasuki Sekolah Bangsawan Menengah Pertama, dia mulai merasakan ada yang tak beres. Ayahnya, Rama, tidak seperti dirinya saat berdiri di depan rakyat.
Rama sering gugup, membaca surat-surat yang entah datang dari mana dan selalu disembunyikan darinya. Percakapan selepas makan malam, juga selalu berbisik seperti serangga kecil di balik ranting-ranting bantaran sungai dengan air terjun deras yang menderu.
Saat ini begitu usianya menginjak tujuh jelas tahun, Hayu makin paham akan apa yang sebenarnya terjadi.
Munafik.
“Anda tahu bukan?”
“Belanda.”
Hendri mengangguk. Pria itu telah menjadi pengawalnya sejak Hayu masih belia. Mereka lebih dari sekadar mengenal satu sama lain. Kepada Hendri, Hayu selalu menyampaikan opini-opini yang dulu masih terasa seperti omong kosong, hingga kini pembicaraan mereka telah menjadi sesuatu yang harus disembunyikan di balik istana.
“Kita masih belum terlambat. Larilah, Putri Hayu.”
Hanya dengan anggukan, gadis itu meninggalkan istana. Dia bergabung ke sisi pemberontak. Dengan pengetahuannya mengenai istana dan segala hal terkait pemerintahan yang dilaksanakan oleh ayahnya dengan dikte dari Belanda, dia mampu dengan mudah menemukan celah.
Hayu menjadi pemimpin yang tegas. Dengan otak dan keinginannya yang begitu kuat untuk membersihkan setiap sisa-sisa Belanda di nusantara—bahkan bila itu artinya mengorbankan keluarganya sendiri—Hayu begitu dihormati dan disegani.
Bahkan di malam dia berdiri di atas gedung tinggi, tepat lurus dengan lantai tertinggi istana, dengan lalu lalang Kepolisian Militer yang berusaha mencari Hayu Rayadinata Jaya yang hilang sejak tiga bulan lalu—tentu mereka sengaja membiarkan gadis itu lolos—gadis itu merentangkan tangan di depan sebuah meriam yang telah terisi.
“Tembak!”
Di bawah bulan penuh tanpa bintang malam itu, revolusi pecah. Sirine ambulan dan mobil polisi bersahut-sahutan seperti sebuah teriakan tanda bahaya. Disusul ledakan dua, tiga, berulang kali. Asap memenuhi hampir seluruh sudut pandang. Wartawan menyampaikan berita dengan kepanikan yang jelas dari suara mereka.
Lalu-lalang pemberontak membawa kapak, tongkat tajam, granat. Seruan lantang. Kain-kain lebar bertulis opini tegas nyaris seperti himbauan buru-buru, diangkat tinggi-tinggi dan dikibarkan.
Pemerintahan adalah boneka!
Boneka Londo!
Bakar boneka Londo!
Istana habis nyaris tanpa sisa. Puing-puing berserakan, beberapa sisi halaman benar-benar terbakar. Rama telah ditarik paksa dan diikat tangannya. Disusul Ratu Hemas di belakangnya.
“Hati-hati!” seru Hayu.
Memasang wajah datar saat dia berdiri di tepi gerbang istana yang tersisa setengah sambil menyaksikan ayah dan ibunya—yang biasa ada di meja makan menghabiskan makan malam dengan senyuman dan obrolan hangat bersamanya—didorong memasuki van tertutup, bukanlah hal yang mudah.
Seperti ada sesuatu yang menyayat dan mencincang-cincang hatinya.
Sakit.
Sesak.
Tolong… andai dia bisa berteriak.
Namun, Hayu berdiri di sana bukan sebagai seorang anak, melainkan bagian dari pemuda-pemudi yang memperjuangkan tanah mereka dari tali kekang Belanda yang mengikat pemerintahan dari bayang-bayang.
“Putri Hayu, gawat! Kepolisian Militer….”
Sirine mobil polisi tiba-tiba menjadi kencang dalam sekian detik. Gadis itu dikepung dalam sekejap. Kepolisian Militer. Masing-masing turun dari mobil, mengacungkan pistol tepat di arah kepalanya.
Hayu mengernyitkan dahi.
Ada yang tidak beres.
Kepolisian Militer di bawah kepemimpinan wakil komandan Hendri seharusnya berada di pihak yang sama dengan para pemberontak. Pagi ini, mereka masih ikut bermain peran—pura-pura tak mengetahui keberadaan Hayu Rayadinata Jaya.
Apa yang terjadi?
Hayu menatap dengan tegas, tanpa rasa takut. “Jelaskan.”
“Anda ditangkap atas upaya penggulingan kekuasaan.”
“Di mana Hendri?”
Sekeliling menjadi jauh lebih sunyi daripada seharusnya. Teriakan warga-warga sipil yang berlarian mencari tempat aman, ledakan yang masih menyusul beberapa kali, bunyi khas api dan panasnya yang memecah kegelapan malam. Semuanya terasa lebih mencekam.
“Saya di sini, Tuan Putri.” Pintu salah satu mobil Kepolisian Militer terbuka. Seorang pria turun dari sana, dengan sebuah pistol di tangannya, dan kemudian terangkat lurus, bahkan hingga dia berjalan tepat ke hadapan gadis itu hingga ujung pistol menempel dahinya. “Maaf.”
Sebuah tembakan terdengar seperti gema abadi. Mengakhiri seluruh perjuangan yang sia-sia. Boneka itu gagal itu mereka bakar. Tali-tali yang mengikatnya seolah-olah sudah habis, tetapi ternyata masih tersisa satu.
Satu yang paling tajam, mengkilap, tersembunyi di bawah sorot matahari seakan-akan panggung bagi malaikat untuk turun.
Tali yang sama, yang mengikat lebih banyak orang.
Termasuk wakil komandan Kepolisian Militer, Hendri Harimmurdhi van Cousen.
Hendri…. Andai, andai kata-kata ini masih bisa diucapkan. Mengapa seseorang yang menyadarkanku dari tempat gelap tersembunyi, justru menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam jebakan tanpa jalan keluar?
Pemberontakan besar sekian hari itu hanya menghasilkan kehancuran. Orang-orang tak bersalah yang menjadi korban, yang kehilangan pekerjaan, yang kehilangan rumah, yang kehilangan saudara. Hewan-hewan tak bersalah yang bangkainya menjadi saksi di atas ketiadaan. Bangunan-bangunan yang hancur berantakan tanpa arti. Istana yang dibangun kembali.
Monsieur Marionette.
Andai Hayu memutus tali itu sedikit lebih cepat.