Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku benci suara bising. Kursi-kursi yang dilempar, teriakan. Lagi, lagi, lagi, aku salah. Kepalaku sakit. Sakit. Sakit. Sakit! Aku tak bisa berpikir. Semuanya mengusik, semuanya membuat badanku seperti ditekan oleh ruangan yang menyempit dan makin menyempit. Mendesakku di titik tanpa celah sedikit pun.
Hancur.
Berantakan.
Habis.
“Kamu jadi anak yang bener!” suara itu memekik telinga, pria paruh baya yang tak pernah sekali pun aku mendengarnya berbicara seperti halnya ayah-ayah lain—bahkan tersenyum kepada putri mereka.
Aku tak pernah merasakan apa itu rumah.
Tempat ini tak sedikit pun terasa nyaman, atau bahkan menenangkan, seperti yang dikatakan orang-orang tentangnya.
Aku membencinya.
Aku ingin lari.
Andai uang bukanlah masalah.
Andai aku tak akan ditarik kembali ke dalam rumah, diikat, dikurung di dalam ruangan, dengan lampu dimatikan dan pintu terkunci. “Jadi anak kok nakal banget!”
Anak yang bener… jangan nakal….
Aku tak pernah tahu apa itu maksudnya. Setiap yang kulakukan, selalu salah. Bicara, diam, bertindak, di rumah, kabur. Semuanya salah. Seakan-akan mereka hanya mencari alasan agar dapat memukulku, agar dapat berteriak kepadaku.
Ibu selalu menangis setiap malam.
Selalu ada yang mereka teriakkan satu sama lain. Bahkan bila aku sembunyi di bawah selimut dan bantal menutupi kepala hingga sesak untuk bernapas, suara mereka tetap terdengar begitu kencang.
Tak mau.
Aku lelah.
Aku lelah!
Ini memuakkan!
Aku ingin… semuanya berakhir.
Mengapa mereka membawaku datang kemari sejak awal? Berkurang satu perut, artinya berkurang pengeluaran uang. Berkurang satu badan, artinya berkurang pengeluaran uang. Berkurang satu kepala, artinya berkurang pengeluaran uang.
Hilangkan saja diriku sejak awal.
Aku pun tak menginginkan untuk tinggal di rumah ini. Aku tak pernah menginginkan untuk memiliki mereka sebagai orang tuaku. Aku tak pernah menginginkan… untuk terlahir.
Hari-hari di sekolah terasa seperti jeda untuk bernapas sedikit lebih lega. Tak ada suara teriakan, kursi-kursi yang dilempar, maupun tali untuk mengikat.
Setiap kali bel pulang berbunyi, rasanya begitu berat. Aku tak ingin meninggalkan tempat yang tenang ini. Aku ingin masalahku hanya sebatas rebutan bakso dan es cincau di kantin. Aku ingin kericuhan di sekitar hanya sebatas teman-teman mendebatkan film apa yang paling bagus. Aku ingin benda-benda yang dilempar hanya sebatas frisbee untuk bermain bersama anjing penjaga sekolah.
Aku tak ingin melihat kursi yang dilempar.
Aku tak ingin mendengarkan teriakan.
Aku tak ingin dikurung di dalam ruangan gelap yang kosong.
Sudah. Sudah. Sudah….
Kumohon, sudah cukup….
Aku… sudah muak….
Aku tak sanggup lagi untuk kembali ke sana.
Atau mungkin, memang aku hanya perlu untuk benar-benar tak kembali sama sekali?
Hari itu, di persimpangan terakhir sebelum mencapai rumah, aku berbelok ke arah sebaliknya.
Masa bodoh bila sebentar lagi gelap.
Masa bodoh bila tak punya tempat untuk tidur.
Masa bodoh bila tak ada apa pun untuk dimakan.
Masa bodoh bila aku tak bertahan hidup sekali pun.
Apa pun… selain tempat berisik, mengganggu, membuat sakit kepala, menyiksa setiap bagian dari diriku, tubuhku, hatiku, jiwaku, yang mereka paksa untuk disebut rumah.
Itu bukan rumah.
Aku tak punya rumah.
Angin dingin malam hari menyelinap ke bawah kain pakaian seragam sekolahku dengan cepat. Deru mesin kendaraan di sepanjang jalan raya tidak lebih dari suara tanpa arti yang bahkan seperti tak terdengar olehku.
Kehampaan.
Kekosongan, yang bahkan lebih baik daripada tempat memuakkan itu.
Tanpa arti tengah di tengah perkotaan yang gemerlap. Di ujung gang sepi yang nyaris tak ada cahaya. Aku berhenti tanpa alasan khusus di sana. Hanya ingin istirahat, toh aku tak tahu ke mana harus berjalan lagi.
Setidaknya ini lebih baik, daripada tempat memuakkan itu.
Aku menarik napas dalam. Duduk menyandar dinding dingin dan lembab, menekuk lutut dan memeluknya, sambil menunduk. Tengah kota terasa begitu dingin dan luas.
Namun, masih lebih baik daripada tempat memuakkan itu.
Mereka tak akan mencariku. Semoga.
Aku sepertinya tak perlu pergi lebih jauh lagi.
Kekosongan ini terasa sempurna. Rasanya seperti kota mengabaikan satu titik tak penting, dari seluruh kesibukannya yang ramai. Malam yang menjadi larut hanya mencekik dengan lebih kuat, seiring suara-suara orang di sekitar mulai berkurang, nyaris tak ada.
Tengah malam.
Ah, kehampaan yang sesungguhnya.
Aku ingin tiada.
“Nak, ngapain di sini?” Suara lembut, tetapi tegas, dan sesuatu yang tebal serta hangat menutupi pundak—sebuah jaket, membuatku mengangkat kepala. Mataku terasa sulit untuk terbuka dan menerima cahaya terang dari gedung-gedung perkotaan akibat menunduk dan memejam terlalu lama.
Seorang pria paruh baya.
Tatapannya sedikit berubah saat mata kami bertemu. Kemudian, dengan sebuah uluran tangan, semua yang kuingat setelah itu adalah segelas coklat hangat, lampu terang, ruang tengah dengan meja sederhana dan rapi, televisi yang layarnya mati, dan sebuah vas bunga besar di ujung ruangan.
Pria itu datang lagi—sepertinya dari dapur—membawa kue manis dengan warna coklat tua dan putih, serta krim di atasnya. “Di sini dulu, ya, malam ini. Di luar dingin dan bahaya. Mau cerita ada apa?”
Bercerita.
Senyuman.
Suara yang tegas, tetapi lembut.
Seperti ayahnya orang-orang.
“Aku….”
Malam itu terasa seperti mimpi. Aku baru tahu bahwa ketenangan adalah suatu perasaan yang nyata. Berat, tetapi luar biasa. Seperti macaron-macaron hangat yang jatuh ke atas piring dengan tumpukan gula halus.
Aku baru tahu bahwa tersenyum di tempat yang kukunjungi sepulang sekolah—tempat yang seharusnya dipanggil rumah—adalah sesuatu yang mungkin untuk terjadi.
Dipasangkan selimut di pundak tanpa aku meminta. Duduk di sampingku untuk menanyakan hal-hal menyenangkan di sekolah. Memuji nilai ujianku. Bercanda tawa. Menemani
Aku nyaris kelepasan memanggilnya ayah.
“Matamu, persis seperti ibumu.”
Aku tak paham maksudnya. Pria itu menatapku dengan senyuman yang jauh lebih hangat dari sebelumnya, seperti sesuatu dari masa lalu. Kotak rekaman tua yang dahulu disimpan di dalam kotak berwarna merah, dengan tali pita, di dalam laci kamar.
“Dahulu, aku menyayangi ibumu sangat, sangat… lama. Namun, dia memilih pria yang saat ini menjadi ayah kandungmu.”
Aku terkejut.
Oh, andai semesta tak pernah kejam.