Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi itu, Bagus mengenakan batik terbaiknya. Ia bahkan menyemprotkan parfum—hadiah dari istrinya saat ulang tahun dua tahun lalu—ke kerah baju dan pergelangan tangan. Sudah lama ia tidak berurusan dengan kantor pemerintahan, dan menurut kabar, sekarang sistem pelayanan sudah terintegrasi digital, apa pun artinya itu. Yang ia tahu, hari ini ia harus mengurus sesuatu yang terdengar... aneh.
"Pak, ini dokumennya ya. Untuk keperluan perpanjangan pensiun, Bapak harus urus Surat Keterangan Hidup," kata petugas pensiun di kantor pos pekan lalu.
Bagus mengernyit. "Surat... keterangan hidup? Saya kan hidup."
"Betul, Pak. Tapi tetap harus ada surat yang menyatakan Bapak memang hidup secara administratif," ujar petugas dengan suara netral seperti robot call center.
Bagus tidak membantah. Ia tahu, melawan sistem di negeri ini lebih melelahkan daripada naik tangga rumah sakit Cipto dari lantai dasar ke IGD sambil bawa pasien.
Kantor Kelurahan Sukamakmur terletak di pojok jalan yang tidak terlalu makmur. Plang nama sudah karatan, cat dinding terkelupas seperti kulit terbakar matahari. Tapi Bagus tetap semangat. Ia antre dengan sabar. Setelah hampir satu jam, nomornya dipanggil. Ia maju ke loket.
"Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas perempuan, membaca skrip dari balik komputer dengan nada yang dilatih di pelatihan tiga hari dua malam bertajuk "Customer Service Excellence."
"Saya mau urus Surat Keterangan Hidup," ujar Bagus sambil menyodorkan KTP, KK, dan surat pengantar dari RT.
Petugas itu menerima dokumen dan mulai mengetik. Klik. Klik. Klik. Wajahnya mendadak berubah.
"Nama Bapak siapa?"
"Bagus Prakoso."
"Tempat lahir?"
"Magelang."
"Tanggal lahir?"
"3 Maret 1955."
Petugas diam sejenak, lalu mengangkat kepala.
"Pak... maaf. Tapi menurut sistem, Bapak sudah meninggal dunia sejak 2019."
Bagus tertawa. "Ha-ha, lucu Bu. Saya masih hidup. Ini saya. Datang sendiri, jalan kaki, bukan lewat ritual pemanggilan arwah."
Petugas tidak tertawa. Ia menatap layar, lalu Bagus, lalu layar lagi.
"Maaf, Pak. Tapi data dari Dukcapil menyatakan Bapak sudah nonaktif sebagai penduduk. Artinya Bapak sudah tidak terdaftar."
Bagus tertegun. “Maksudnya, saya ini... hantu?”
Petugas tersenyum kaku. "Secara sistem, iya. Bapak statusnya sudah ‘almarhum’. Sudah tidak bisa mengakses layanan publik, termasuk BPJS, bank, bahkan... bantuan beras pun tidak bisa."
Bagus pulang ke rumah dengan langkah lesu. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan pada istrinya bahwa dirinya sudah tidak hidup—secara administratif.
"Apa katanya, Mas?" tanya istrinya.
"Kata sistem, aku udah meninggal dari 2019."
Istrinya tercengang. "Lho? Tapi waktu itu kita ke nikahan keponakan di Sleman."
"Iya. Dan aku juga ikut bayar pajak kendaraan tahun lalu."
Setelah beberapa menit hening, istrinya membuka suara. “Berarti... uang pensiun kamu selama empat tahun ini...”
“...tidak seharusnya aku terima,” kata Bagus pelan.
Keesokan harinya, Bagus kembali ke kantor kelurahan. Kali ini, ia membawa akta nikah, fotokopi kartu vaksin, bahkan sertifikat donor darah terbaru. Semua untuk membuktikan bahwa dirinya bukan warga alam baka.
Petugas yang sama melayani.
"Maaf Pak, kami tidak bisa memproses Surat Keterangan Hidup kalau status Bapak sudah meninggal di sistem pusat."
"Terus saya harus bagaimana?"
Petugas berpikir, lalu berkata, "Bapak bisa mengurus Surat Pembatalan Kematian dulu."
Bagus hampir tersedak udara. "Surat... apa?"
"Surat Pembatalan Kematian. Tapi untuk itu, Bapak harus bawa saksi."
"Siapa?"
"Minimal dua orang: RT dan RW, untuk menyatakan bahwa Bapak memang terlihat hidup beberapa waktu terakhir."
"Bu, saya bisa push-up di depan sini kalau perlu!"
"Bukan masalah otot, Pak. Masalahnya... sistem."
Proses itu berlanjut selama tiga bulan. Bagus berulang kali bolak-balik ke Dukcapil kabupaten, tanda tangan saksi, surat pengantar dari camat, bahkan harus periksa ke dokter hanya untuk mengonfirmasi bahwa jantungnya masih berdetak.
Sampai akhirnya, hari itu tiba. Ia dipanggil ke ruangan khusus di Dukcapil. Seorang pejabat dengan seragam rapi menyodorkan map biru.
"Selamat ya, Pak Bagus. Ini dia Surat Pembatalan Kematian. Dengan ini, Bapak diakui hidup kembali oleh sistem kependudukan nasional."
Bagus mengambil map itu dengan tangan bergetar.
“Terima kasih, Pak. Sekarang saya bisa urus Surat Keterangan Hidup?”
Pejabat itu tertawa kecil.
“Oh, belum bisa, Pak. Untuk bikin Surat Keterangan Hidup, Bapak harus terdaftar sebagai penduduk aktif selama minimal 3 bulan dulu. Jadi, tunggu dulu ya.”
Bagus pulang ke rumah. Ia rebahan di kursi malas, menatap langit-langit.
"Mas," panggil istrinya dari dapur.
"Sudah jadi suratnya?"
"Belum," jawab Bagus singkat.
"Hidup itu ternyata rumit, ya," lanjut istrinya.
"Iya," kata Bagus lirih. "Apalagi kalau sistem nggak percaya kita masih hidup."