Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku memotong telur dadar jadi kotak-kotak sempurna, seperti yang selalu dia minta. Separuh untukku, separuh untuk piring kosong di seberang meja. Dulu, dia akan mencuri sepotong sambil terkikik, “Muka kamu kaya abis nyanyi lagu galau!” Kini, meja kayu ini terasa terlalu luas, hanya memantulkan bayanganku yang sepi. Sambal terasi di piring tiba-tiba terasa lebih pedas, atau mungkin itu air mataku yang tak sengaja jatuh.
“Dua minggu lagi, kita nikah bareng, ya?” janjinya setahun lalu, saat kami berbaring di ranjang kembar, menatap langit-langit penuh stiker glow-in-the-dark. “Pria mana yang bisa pisahin kita?” katanya, tangannya menggenggam erat tanganku. Tapi pria soleh itu datang, dengan senyum lembut dan doa-doa yang membuatnya jatuh. Dia pergi, membawa kembaranku ke kehidupan baru yang penuh cahaya, sementara aku tersesat di bayang-bayang janji kami.
Kamar kami kini hening, seperti rumah yang lupa bagaimana bernapas. Ranjangnya masih rapi, selimutnya dingin tanpa jejak kehangatan. Aku menyentuh bantalnya, mencari sisa aromanya, tapi yang kurasakan hanya kosong. Dulu, kami akan bertengkar kecil soal siapa yang harus mematikan lampu, tapi sekarang, aku membiarkan lampu menyala—mungkin agar ruangan ini tak terasa begitu mati.
Ponselku berdering, menyala dengan foto kami berdua, wajah tertutup filter kelinci yang konyol. “Sop buntutku keasinan banget tadi. Kangen masakanmu yang selalu agak gosong,” tulisnya. Aku bisa membayangkan tawanya di rumah baru itu, bersama suami yang mencintainya. Kata “bahagia” dalam pesannya terasa seperti pisau kecil, mengiris hati yang masih memeluk kenangan. Dia sudah menemukan dunianya, tapi aku masih di sini, memotong telur untuk dua orang.
Aku mengetik balasan, “Pulang, deh. Piringku kebanyakan telur tanpa kamu nyuri.” Jari-jariku ragu sebelum mengirim, tahu dia tak akan kembali. Tapi aku tetap menunggu, menatap piring kosong di seberang, berharap bayangannya muncul untuk menggoda seperti dulu. Setiap suapan terasa seperti menelan rindu, dan aku bertanya-tanya: apakah dia juga merasakan kekosongan ini di sela-sela kebahagiaannya?
Tiba-tiba, pintu depan berderit pelan. Jantungku berdegup kencang. Langkah itu… begitu mirip dengannya, ringan dan familiar. Aku menoleh, napasku terhenti, berharap melihat senyumnya yang nakal. Tapi hanya tirai yang bergoyang ditiup angin malam. Kekecewaan itu menyengat, tapi aku tak bisa berhenti menunggu—mungkin dia akan pulang, mungkin dia juga rindu.
Di lemari tua kami, tersembunyi di balik tumpukan baju, ada gaun pengantin yang dia tinggalkan. Aku belum berani menyentuhnya, tapi malam ini, aku melihat sesuatu: jahitan kecil di ujung renda, bertuliskan namaku. Jantungku tercekat. Apakah dia meninggalkan ini sengaja? Atau ada rahasia yang belum dia ceritakan? Piring di meja masih menanti, tapi kini, aku tak yakin apakah aku menunggu kembaliku… atau jawaban atas pertanyaan yang tak pernah kuucap.
-Tamat