Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Tunggu aku lima menit lagi,” kataku.
Kalimat yang sama yang telah kupakai terlalu sering.
Dan dia—dia selalu menunggu.
Itu yang membuatku takut.
Setiap kali aku melihat matanya menatapku penuh percaya, hatiku mencelos.
Bagaimana mungkin seseorang bisa mencintaiku sedalam itu, sementara aku sendiri bahkan belum bisa mencintai diriku dengan benar?
Aku ingin memilihnya. Sungguh.
Setiap kali kami duduk berdua di bangku kafe itu, setiap kali ia mendengarkanku bercerita, setiap kali ia tertawa pelan mendengar lelucon jelekku—aku merasa dunia berhenti. Seolah hanya kami yang ada. Dan itu cukup.
Tapi hanya cukup… saat kami berdua saja.
Begitu dunia luar masuk—tanggung jawab, keluarga, harapan yang dipaksa turun-temurun—aku kembali menjadi pengecut. Aku kembali jadi anak sulung yang harus tunduk, laki-laki yang harus realistis, calon menantu yang tak boleh membawa “ketidakjelasan” ke dalam rumah keluarga besar.
Dan dia… dia terlalu berani untuk semua itu.
Terlalu jujur. Terlalu sabar. Terlalu penuh harap.
Dan aku… terlalu takut mengecewakannya.
Maka setiap kali aku berkata, “5 menit lagi ya,” aku sedang menunda sebuah keputusan. Bukan karena aku tidak ingin datang, tapi karena aku tidak tahu apakah aku pantas berada di hadapannya saat aku belum selesai berdamai dengan diriku sendiri.
Sore itu, aku kembali menundanya.
Kembali mengecewakannya.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, dia benar-benar berhenti menunggu.
Malamnya, aku akhirnya mengirim pesan.
Kalimat paling pengecut yang bisa kupikirkan.
Aku akan menikah bulan depan. Bukan karena aku nggak pernah sayang kamu. Tapi aku terlalu pengecut untuk memperjuangkanmu.
Dan ketika ia membalas:
Sudah kuduga. Selamat ya. Terima kasih untuk semua lima menit yang tak pernah utuh.
Aku membaca pesan itu berkali-kali.
Tanganku gemetar.
Mataku panas.
Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa kehilangan sesuatu yang tak akan bisa kugapai kembali.
Mungkin cinta sejati bukan tentang siapa yang lebih mencintai.
Tapi siapa yang berani menetap.
Dan aku tidak cukup berani.