Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Makin tak paham saja aku dengan teman-teman di kantor ini, sekelompok bapak-bapak yang kurang kerjaan, plus yang perempuannya juga. Yaitu mereka lebih suka dengan membicarakan hal-hal yang berbau sexiest, sebagai bahan candaan. Bahkan sudah mengarah pada hal-hal yang pornografi. Anehnya, diantara mereka, tidak ada, yang merasa canggung, apalagi malu. Entah dimana urat malunya. Yang lebih mengherankan lagi, ada saja, orang yang, suka rela meninggalkan pekerjaannya. Hanya untuk ikut dengan mereka, nimbrung, berseloroh, tentang sexiest itu, seolah-olah itu merupakan keseruan. Tiada hari tanpa gurauan sexiest. Mungkin benar apa yang dikatakan temanku, Siska.
“Kita akan dipertemukan dengan orang yang sepemikiran dengan kita La,” ujarnya kala itu.
Ketika aku curhat dengannya perihal ketidak nyamanan ku mendengar gurauan mereka.
“Kita juga akan dipertemukan dengan sebagaimana kita memperlakukan orang,” tambahnya. Aku hanya manggut-manggut mendengar perkataannya, yang menurutku seratus persen benar.
“Yang penting, jangan rusak hatimu dengan hal itu. Abaikan saja,” nasehatnya padaku.
Aku hanya terdiam.
“Membiarkan? Sis tahu nggak. Aku tu, sudah muak mendengarkannya. Kuping ku sudah rasa mau terbakar saja.” Bantahku pada Siska.
"Ya… kalau kamu nggak ingin mendengarkan kamu bisa menjauh, atau kamu bantah saja.” Sambungnya.
“Membantah?’ Jawabku.
Aku ragu, soal keberanian yang satu ini, apakah bisa aku lakukan atau tidak. Soalnya mereka adalah teman sekantor. Bukankah mereka semuanya keluarga. Aku coba menyampaikan isi pikiranku.
“Segan juga sis, kita juga, sudah seperti keluarga di kantor,” kataku padanya.
“Kamu saja yang menganggap mereka keluarga, tapi mereka hmmmm.” Jawab Sahabatku itu.
“Kalau kamu biarkan mereka akan lebih leluasa lo La.” Lanjutnya lagi
“Iya, benar, tapi kalau aku sanggah, atau ku cegah, aku juga nggak berani.” Jawabku.
“Lhaa, kalau kamu takut gini, ya tebalkan saja telingamu.” Ujar Siska sedikit kesal.
Perkara mendengar gurauan yang berbau sexiest ini, bukan sekali dua kali saja kami dengar dari mereka. Mereka seperti geng bocah saja, yang kemana-mana selalu bersama. Sarapan pagi, makan siang nanti pas pulang ada saja acara mereka untuk berkumpul bersama. Di Kantor pun mereka berseloroh saling membela dan sahut sahut-sahutan. Dari meja yang satu, kemeja yang lainnya. Tentu dengan perkataan yang tidak senonoh dan layak didengar. Sudah seperti makan obat saja kami dibuatnya, dengan ucapan yang berbau kotor itu.
Seperti biasa, pertengahan tahun adalah bulan-bulan kami menerima anak magang dari Sekolah Menengah Kejuruan, alias SMK, dan mahasiswa dari berbagai kampus. Laki-laki dan perempuan. Yang namanya SMK, tentu murid yang paling banyak, adalah perempuan. Seperti biasa geromolan genk sexsiest ini selalu terdepan dalam mengganggu anak-anak ini. Habis mereka diolok-olok. Mereka mengucapkan kata-kata yang kuanggap kurang pas di telinga dan didengar oleh pelajar yang masih dibawah umur. Anak-anak itu tidak sanggup melawan. Mereka hanya tersenyum atau diam. Mungkin karena takut, akan nilai yang akan mereka peroleh dari kantor.
Tapi kali ini, aku sudah tidak tahan lagi. Perilaku mereka sangat membuat aku mual, sekaligus muak, dan jijik. Dan aku tak tahu lagi harus berkata apa, selain memuntahkan seluruh isi hati yang terpendam, selama ini.
Akhirnya, aku katakan sejujurnya apa yang kurasakan dan aku inginkan. Selain membuat mereka terdiam. Mereka juga mungkin telah membenciku. Tapi aku tidak peduli, karena aku telah lebih dulu membenci kelakuan mereka. Apa yang aku katakan sangat menyentuh, di hati mereka, dan tak mungkin kuceritakan disini apa yang telah kuucapkan untuknya. Sangat kasar, sangat keras. Lama mereka terdiam dengan perkataan ku. Tapi itu tidak sebanding, dengan kelakuan mereka, dan tidak peduli dengan protesku.
“Mampuslah,” pikirku.
Aku tidak menyesal dengan ucapan ku, dan aku tidak akan minta maaf. Pantang bagi ku minta maaf, untuk orang yang telah merusak hati dalam sekian lama, karena ulah mereka sendiri.
Tapi aku lupa. Dalam genk itu ada atasan langsung ku.
“Alamak, aku keceplosan, bagaimana ini.” Pikirku dalam hati.
“Ah sudahlah, yang penting bebanku sudah lepas.” Aku bergumam sendiri.
Dia menunduk mendengar ocehanku tadi. Matanya menunjukan menyesal, tapi egonya tidak. Air mukanya dipenuhi amarah yang dipendam. Walaupun dia tak berani menatapku, aku tahu dia marah besar. Mau bagaimana lagi semuanya sudah terlanjur, dan aku juga siap, jika ada sesuatu yang menimpa ku.
Benar saja dia mencoba mempersulit ku. Dan bukan itu saja. Geng itu, sudah tidak mau lagi bicara padaku. Lantas apa peduliku.
Sepuluh hari sesudah itu, aku mendapati surat dalam amplop putih, yang tergeletak di meja kerjaku. Penasaran aku buka amplop itu, dan kubaca perlahan. Sebuah surat mutasi. Ya aku dimutasi ke tempat lain. Tempat yang selama ini dihindari banyak orang, karena dinilai tidak strategis dan kurang menguntungkan.
“Biarlah. Yang penting jiwa dan ragaku aman dan nyaman.” Ucapku, sambil mengemasi barang-barang, setelah melapor ke tempat kerja yang baru.