Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Ujang Ingin Diklat
0
Suka
5
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

“Jang, sekarang inikan semua dinas lagi efisiensi.” Ujar Kadis kepada Ujang yang melapor ingin mengikuti diklat.

Ujang hanya diam, dia paham sekarang masa sulit, semua anggaran dipangkas dan diperuntukan buat yang prioritas saja. Lama Ujang terdiam. Lamunannya, dikagetkan oleh sentuhan lembut di lengannya dan suara panggilan pak kadis.

“Jang ingat nggak waktu itu kita pergi ke Surabaya.” kenang lelaki itu mengingatkan kenangan akan perjalan dinas mereka keluar daerah.

“Tentu saja pak, waktu itu saya masih staf, jadi sopir pak kadis yang lama. Bapak waktu itu masih menjadi kabid.” Ujang membenarkan.

“Tapi kala itu kita mengiringi rombongan walikota pak.” Ujang menimpali, seolah ingin pembicaraan ini, kembali ke topik awal. Yaitu dia ingin Diklat, mengikuti pendidikan dan pelatihan lah pokoknya. Sesuai dengan jabatan ujang. Eselon IV. Susah payah Ujang meraihnya. Berawal dari honorer yang mengantarkan kadis kemana dia pergi, alias sopir. Kemudian lulus ujian, honorer kategori dua, ujang melanjutkan kuliahnya. Sekarang sudah bergelar Sarjana Ekonomi. Tentu ingin lagi menambah ilmu. Pas, ketemu jodohnya. Pelatihan ini, cocok sekali buat Ujang, sesuai juga, dengan jabatan Ujang. Tujuannya, biar Ujang bisa membuat gebrakan baru, dan berinovasi istilahnya. Demi kemajuan kota dan dinas ini. 

Tapi, Niat baik Ujang, sudah mau ditolak saja oleh pak kadis. Tapi bukan Ujang namanya. Penolakan adalah tantangan tersendiri bagi Ujang, semakin ditolak Ujang semakin tertantang.

Ujang mulai mengatur strategi. Membujuk Kabid adalah strategi awalnya.

“Lo emang butuh Diklat ini jang?” Kata Kabid sambil menyendok es telernya sewaktu makan siang di kantin.

“Kan bapak tahu sendiri, kalau saya yang pas pergi ke kementerian untuk mengikuti diklat itu. Sesuai dengan tugas dan fungsi saya pak.” Dengan nada yang dibuat seolah-olah sungguh dan memohon, ujang mencoba menjelaskan.

“Menurut kadis bagaimana?” Kabid bertanya lagi.

“Ntu dia pak, alasan kadis efisiensi melulu. Gimana pak, kalau salah satu jatah Kadis bisa diberikan kepada saya.” Tutur Ujang.

“Pak, kalau diklat lewat zoom meeting, video conference. Itu sudah biasa. Paling saya sanggupnya tiga puluh menit mendengar, dan melototin layar, itu sudah hebat pak. Serang ujang dengan menggunakan logikanya.

“Gue paham Jang. Ntar lah gue coba. Tapi lu jangan berharap banyak ya.” Ujar kabid dengan nada sedikit membujuk.

“Jangan-jangan lo kangen naik pesawat ke Jakarta kan Jang, ?” Kabid sengaja menggoda ujang.

Ujang kaget, dengan muka bersemu merah, dan dia bilang.

“Ah, bapak bisa aja. Sekali-kali gak apa-apakan pak?” Dengan malu-malu ujang mengakuinya.

Jujur ujang ingin sekali mengikuti diklat, seperti kawan-kawannya. Dia ingin juga pergi ke kantor kementerian, naik pesawat, berfoto di bandara. Mengikuti rangkaian rundown acara diklat, berfoto saat diklat dan melaporkannya di grup whatsapp kantor, seperti yang dilakukan teman-temannya, dengan caption, “Diklat Pengadaan barang dan Jasa.” Ingin berfoto bersama di akhir acara diklat, dengan narasumber dan seluruh peserta diklat. Dan membawa oleh-oleh pas pulang sebagai tanda pulang dari luar daerah.

Semua teman-temannya sudah merasakan, bagaimana rasanya ikut diklat tersebut. Dan Ujang selalu kebagian cerita, di story media sosial mereka. Ujang jujur, Ujang iri melihat kebahagiaan mereka. Bagi Ujang bukan itu esensi diklat itu. 

“Diklat adalah bagian dari pengembangan sumber daya manusia. Training and development dapat meningkatkan abilitas, kapabilitas, dan kompetensi seseorang.” Sudah tinggi bahasa ujang, sejak dia lulus strata satu manajemen, yang kampusnya, hanya sepuluh menit dari kantor. Jika ditempuh dengan sepeda motor atau mobil. 

“Wah sejak lulus ini lo makin cerdas aja Jang.” Sahut Riki rekan kerja, yang dulunya senasib, sama-sama lulus PNS kategori dua.

“Itulah gunanya kuliah kawan.” Sahut Ujang dengan bangga.

Karena setelah kuliah, Ujang, meraih prestasi yang dia banggakan, yakni menjadi pejabat eselon empat. Dan ujang sudah mulai menata karirnya. karena eselon  empat ini, hanya batu loncatan untuk menjadi kabag, kalau bisa sebelum pensiun, dia bisa jadi kepala dinas.

Kembali dari istirahat siang, Ujang sudah melihat surat undangan itu di meja kerjanya, diangkatnya surat itu, lembaran disposisi dibacanya dengan cermat. “Diikuti oleh kasubid yang bersangkutan, yang bertuliskan nama lengkap ujang, tak lupa gelar SE dibelakang namanya. Siapkan berkas-berkas dan alat yang diperlukan.”

Alangkah senangnya hati Ujang.

Khayalannya sudah berada di kantor kementerian, yang kalau tidak salah hitung, ada sepuluh lantai. Tangan ujang sedikit agak gemetar, didekapnya surat itu, ke dadanya, kemudian dinaikkan ke wajahnya sambil menghirup aroma kertas yang didisposisikan atas namanya.

Alhamdulillah, Jakarta.” Bisik hatinya dengan senyum  penuh arti.

Dipandanginya kertas HVS F4 itu, sambil tersenyum senang. berharap staf bawahan ujang, datang dan mengetikan surat perjalanan dinasnya.

Oh ya.” Ujang mengingat sesuatu. Dia langsung beranjak dari  kursinya. Ujang menghadap Kasubag kepegawaian dan bendahara. 

“Buk Retno sayakan berencana akan ikut diklat, selama empat hari, berapa kira anggaran yang saya habiskan.” Tanya Ujang.

Di ruangan bu Retno ada Bu Sri, dan Chichi bendahara kantor.

“Coba lihat pak, suratnya biar chi kalkulasikan.” Tawar bendahara itu.

Ujang memberikannya pada Chichi, sambil berujar.

“Nanti kalau bapak pulang semua dapat oleh-oleh. Hitung yang benar, ya Chi” Sambil menyerahkan surat itu ujang berujar dan memberikannya harapan.

“Alhamdulillah, Terimakasih Pak Ujang.” Ujar mereka kompak.

Surat itu dibaca oleh ketiga wanita itu dengan seksama.

“Lho pak, ini pakai kontribusi, sekitar Rp. 4.500.000,- buat akomodasi.” Seru Bu Retno dan Chichi.

“Akomodasi, Maksudnya?” Ujang tak  paham akomodasi.

“Artinya ini, berbayar, buat hotel, makan dan biaya narasumber selama mengikuti diklat.” Bu Sri Menjelaskan.

“Kita sudah menghapus anggaran pelatihan dan pendidikan, buat efisiensi pak. Sesuai arahan kadis” Terang Bu Retno.

“Kalau bapak tetap ingin ikut, bisa bayar pakai uang pribadi sih pak. Jadi uang saku dan biaya transportasi saja yang ditanggung kantor.” Lanjut Bu Retno.

wajah Ujang berubah, dia terdiam. Dari  lubuk hati, kali ini dia benar-benar kecewa. Dia tidak sanggup lagi berlama-lama berada di kantor ini. Lupa mengucapkan terimakasih, dia langsung berlalu, meninggalkan tiga wanita itu.

Di dalam mobil sedannya ujang diam meluapakn kesedihan. “Mungkin besok, aku butuh izin untuk beberapa hari.”  Gumamnya.

Entah kenapa dia, merasa butuh akan diklat itu. Tapi merasa dipermainkan. Kenapa diklat harus berbayar kalau yang mengadakannya adalah bagian pengembangan sumber daya manusia di kementerian itu juga. Kenapa biaya pendidikan dan pelatihan, itu dihapus, bukankah kita semua butuh pembangunan non fisik itu. Dan kenapa mesti disetujui juga padahal sudah jelas anggarannya tidak ada lagi. Bedebahnya Ujang juga tidak membaca detil isi surat itu, tapi keukeuh ingin ikut.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
PENJARA DALAM RUMAH (Diarry anak broken home)
Rahmayanti
Skrip Film
Siapa Bapak Siapa
Esde Em
Skrip Film
Perjalanan Terakhir
Alfian N. Budiarto
Flash
Ujang Ingin Diklat
T. Filla
Novel
Bronze
Tinggi dari Awan
Yesno S
Skrip Film
Pejuang Amplop Cokelat
Rahma Pangestuti
Skrip Film
MENGAPA DIBEDAKAN??
RF96
Cerpen
LINKED HEART
Lirin Kartini
Cerpen
The Legacy
Foggy FF
Novel
Gold
Ayat-ayat Cinta
Republika Penerbit
Skrip Film
Rancu (screenplay)
Aldi Cendikia Nugroho
Skrip Film
Shape of The Voice
Faiz el Faza
Skrip Film
METANOIA
H A N I
Novel
ALFA
Alfasrin
Novel
Little Sun Have Sun Forever
Vania Daniswara
Rekomendasi
Flash
Ujang Ingin Diklat
T. Filla
Flash
Hutang Bakti Adisty
T. Filla
Flash
Perlawanan yang Berujung
T. Filla
Flash
Menjadi Gagal Pun Masih Gagal
T. Filla