Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri di tengah pagi yang menebarkan wangi aroma kopi yg syahdu. Matahari pagi memantulkan cahaya keemasan selayaknya madu cair, seolah ingin menghibur hatiku yang sesak. Bersyukur itu yang selalu kuingatkan pada diri sendiri. Aku diberi mertua yang baik hati, yang meski tak selalu sejalan denganku, tetap menjadi bagian dari hidupku.
Tapi, kenapa rasanya ada duri-duri kecil yang terus menusuk?
Ibu mertuaku, adalah wanita yang penuh kasih namun plin-plan, sering bercerita tentang kekuranganku di hadapan iparku, Raya. Dan begitupun sebaliknya. Aku tahu itu. Tapi anehnya, aku dan Raya justru akur. Aku menyayanginya seperti adik kandungku sendiri. Mungkin karena kami sama-sama mengerti, bahwa di balik kata-kata pedas, ada seseorang yang sebenarnya ingin dicintai.
Hari ini, lagi-lagi ada cerita yang membuat dadaku sesak. Jafar suami dari Raya dan adik kandung dari Awan suamiku bilang, ibu menyuruhnya menyampaikan pesan pada Awan, agar Memberikannya uang bulanan. "Sekadar seratus ribu saja," katanya.
Aku terdiam. Sedih? Tentu. Malu? Jelas.
Bukan nominalnya tapi sikap ibu mertua yang acap kali membuat aku dan suamiku bingung.
Bagaimana tidak? Belum lama ini, kami memberikannya emas batangan senilai tiga gram. Bukan nilai fantastis, tapi itu lebih dari yang ibu minta. Kami juga tak pernah absen mendampingi Bapak mertua yang rutin memeriksakan jantungnya. Awan selalu menyempatkan diri mengantar, meski jadwal kerjanya padat. Kami ajak mereka jalan-jalan, meski seringkali diiringi misuhan ibu di sepanjang perjalanan.
Makan di luar? Pernah. Tapi kami kapok. Setiap kali, ibu selalu saja menghina makanan yang dipesan. "Mahal, tapi rasanya biasa saja," "Ngapain makan begini? Boros" atau "Ini nggak sehat, nanti darah tinggi." Aku menghela napas. Aku tahu, mungkin itu caranya menunjukkan perhatian. Tapi, Bu… makan di luar bukan sekadar tentang makanan. Ini tentang kebersamaan, tentang percakapan yang hangat, tentang mengisi ruang-ruang kosong di antara kita.
Pernah suatu hari, aku membelikannya rice cooker baru, minyak goreng, beras dan beberapa kebutuhan lain. Tapi kemudian, tanpa sengaja, aku tahu barang-barang itu dijual di warungnya. Aku hanya tersenyum kecut. Mungkin ia butuh uang. Kenapa tak bilang saja?
Dan pernah juga ketika kami memberinya dalam bentuk uang, ibu selalu menolak dan jawabannya selalu sama: "Simpan saja, Nak. Ibu nggak butuh."
Tapi hari ini, pesannya sampai lewat Jafar. Aku ingin berteriak: Kalau memang ada aturan yang berubah, sampaikan saja langsung pada kami. Tidak perlu lewat orang lain, seolah kami sengaja mengabaikan kewajiban. Tidak perlu membuat kami merasa kecil, seolah kebaikan-kebaikan yang kami upayakan tak ada artinya.
Tapi aku diam.
Aku memandang langit yang mulai bersinar cerah, mencoba mencari jawab di antara sinar dan tetes embun pagi. Mungkin, inilah dinamika keluarga. Ada cinta yang tulus, tapi juga ada luka yang tak terucap. Dan di tengah semua itu, aku hanya bisa berdoa: semoga suatu hari, kami bisa menemukan bahasa yang sama, bahasa yang tak lagi menyakiti.