Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bandung sore itu seperti lukisan tua yang dicuci air mata langit. Hujan turun perlahan, tidak tergesa, seolah menikmati setiap detik ia membasuh trotoar, bangku-bangku tua, dan kenangan yang berserakan di Jalan Braga.
Arkan berdiri di bawah kanopi kedai kopi kecil, menggenggam cangkir karton yang menghangatkan telapak tangannya, tapi tak banyak menolong sunyi di dadanya. Dahi laki-laki itu dihiasi kerut halus, bukan karena usia, tapi oleh waktu yang terlalu banyak dihabiskan untuk menunggu.
Ia menunggu sesuatu yang tak pernah dijanjikan, kepulangan seseorang yang pergi dengan alasan yang terdengar seperti lantunan syair patah hati.
Namanya Dara.
Gadis itu datang ke hidupnya lima tahun lalu, seperti hujan pertama yang disambut daun-daun dengan tarian gembira. Mereka bertemu di pameran lukisan di Galeri Soemardja. Arkan sebagai seniman muda yang mengusung warna-warna muram, Dara sebagai mahasiswi arsitektur yang lebih jatuh cinta pada bingkai ketimbang isi lukisan.
Mereka jatuh cinta diam-diam. Tidak dengan gegap gempita, tapi seperti musik klasik yang hanya bisa didengar hati yang sabar. Mereka saling kirim sajak lewat email, berbagi puisi yang diselipkan di antara halaman buku yang dititipkan di toko buku bekas dekat Alun-alun.
Lalu Dara pergi. Menerima beasiswa ke Belanda. Satu pelukan, satu ucapan “jaga dirimu baik-baik,” dan Bandung kembali sunyi. Arkan menolak cinta lain, bukan karena tak ada yang datang, tapi karena ia tahu rindunya hanya bisa ditambal oleh suara yang pernah membisikkan “aku pulang, suatu hari nanti.”
Dan hari itu datang tanpa prolog.
Pintu kedai kopi berderit. Suara sepatu membelah genangan. Arkan menoleh. Di sana, di antara kaca dan kenangan, Dara berdiri. Tak banyak berubah, kecuali senyum yang kini tampak seperti pulang setelah hujan panjang.
“Hujan masih jadi pelarianmu?” tanyanya, lembut.
Arkan nyaris tak percaya. Tapi ia tertawa. “Dan kamu masih tahu cara menemukanku.”
Mereka duduk berdampingan. Tak banyak kata. Hanya bunyi hujan yang menggantikan percakapan. Hanya pandangan mata yang bercerita lebih dari seribu surat yang tak pernah dikirimkan.
“Aku tak mencari tempat tinggal lagi di mana pun,” kata Dara kemudian. “Karena aku ingin kembali ke tempat di mana aku pernah belajar mencintai tanpa syarat, tanpa jeda. Bandung. Kamu.”
Arkan menutup matanya. Di luar, hujan belum berhenti. Tapi hatinya sudah.
Dan di Jalan Braga, di antara senyap bangku tua dan lampu temaram, dua hati yang pernah terpisah kini duduk berdampingan. Tidak ada peluk, tidak ada air mata. Hanya kehadiran yang utuh. Dan itu lebih dari cukup.