Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Balon emosiku kembali meledak!
Ada begitu banyak hal yang terjadi dalam satu waktu di dalam kepalaku, membuat otak ini tidak mampu bekerja dengan benar. Ia tetap bergerak ke sana ke mari mengulangi kejadian demi kejadian bahkan di saat otak dipaksa menonton video singkat di media sosial selama berjam-jam—dan aku tidak sadar telah menghabiskan waktuku yang berharga hanya untuk menonton video konyol yang tidak memberikan value—kepala ini tetap bekerja memikirkan ribuan kemungkinan yang mungkin tidak akan terjadi bila aku tidak melakukan tindakan bodoh yang terlanjur kulakukan sebagai pelampiasan emosi tolol ini.
Apakah aku mulai tidak mampu mengelola emosiku sendiri? Percayalah, itu adalah hal terakhir yang aku mau terjadi dalam hidupku. Aku bahkan tidak mau memikirkannya.
Ingin rasanya membenci diriku sendiri karena tidak bisa menahan amarah. Namun, frasa membenci diri sudah kelewatan dan salah satu bentuk meremehkan Tuhan. Baiklah, aku akan menarik ucapanku saat aku mengatakan 'emosi tolol'. Tidak ada emosi yang tolol. Mungkin, aku hanya tidak mampu menguasai emosiku sendiri.
Oh, Tuhan, aku hanya lelah. Sungguh. Sangat lelah.
Keluar dari rumah dengan cara menikah terdengar seperti rencana brilian untuk mengakhiri siklus emosi tornado yang tidak berkesudahan ini. Dengan menikah, aku bisa berlepas dari sumber penyakit hati yang menggerogoti akal sehatku. Semoga saja dia laki-laki yang berbeda darinya. Tidak ada emosi yang meledak-ledak, penyayang, penyabar, beragama yang baik, dan yang terpenting adalah bertanggung jawab. Sungguh, aku takut jika sifat pria pilihanku mirip dengannya. Sangat traumatis mempunyai sosok seperti dia lagi di dalam hidupku. Ketakutan seperti ini wajar, kan?
Aku memeluk diri yang dirundung nestapa sembari meniup kabut yang menghalangi kepala ini berpikir jernih. Apakah menikah karena ingin keluar dari lingkungan beracun ini adalah keputusan bijak, sedangkan aku sendiri belumlah usai dengan masa lalu? Masih banyak yang harus kuperbaiki. Ibadahku, akhlakku, ilmu menjadi istri, dan yang terpenting adalah hubungan ayah dan anak yang lebih mirip seperti singa dan hyena.
Benar, dia ayahku, sumber kekacauan kepalaku. Saat kami bertengkar, suasana rumah yang harusnya damai berubah menjadi padang rumput Masai di Kenya, di mana singa dan hyena berkelahi memperebutkan bangkai yang terkulai.
Kemudian, sebuah suara sumbang menggema di belakang kepalaku dan membisikkan sesuatu ...
Hei, kamu yakin mau menikah karena ingin lepas dari rumah yang tak lagi terasa rumah? Alangkah lebih baik berkawan dengan ketololan itu sambil memperbaiki diri daripada menikah malah untuk melarikan diri.
Sadar, woy!