Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari yang cerah. Kinanti si kupu-kupu bangun bersama keempat saudaranya, dan juga ibunya.
“Pagi yang menakjubkan! Aku siap untuk berkelana!” teriak Kinanti sambil bersiap mengepakkan sayap dari sarang.
“Jangan!” Katy sang ibu melarang. “Mari makan dulu, Nak. Jangan berjalan-jalan dulu sebelum sarapan, karena nanti kau akan lemas. Mari berburu madu!”
Keempat saudara Kinanti bersorak, kecuali Kinanti sendiri. Kupu-kupu jenis morpho itu kesal karena tidak diizinkan terbang.
Katy terbang mengiringi kelima putra-putrinya menuju padang bunga yang luas. Dia menyuruh putra-putrinya untuk mengisap madu dari dalam bunga sepatu yang sudah mekar.
“Rasa madunya enak sekali, loh. Cicipi pelan-pelan. Jangan lupa untuk membawa serbuk-serbuk sari yang kalian injak ke bunga-bunga lainnya!” pesan Katy.
Semua mengangguk. Usai menikmati madu pada bunga sepatu, Kinanti tak sengaja menginjak serbuk sari seperti yang dikatakan ibunya. Dia mengusap-usap kakinya, sehingga serbuk-serbuk itu berjatuhan ke tanah.
“Kinanti, apa yang kau lakukan?” Katy memergoki kelakuan putri bungsunya.
“Aku menginjak serbuk-serbuk sari, Bu. Serbuk-serbuk itu mengotori kakiku, jadi kulempar mereka ke tanah,” jelas Kinanti.
“Kau seharusnya menebarkan serbuk sari itu di atas bunga-bunga lainnya, bukan malah di tanah. Mengapa kau malah menebarkannya ke tanah?” tanya sang ibu dengan sengit.
“Bu, sebenarnya apa, sih, tujuan menebarkan serbuk-serbuk sari itu ke atas bunga-bunga lainnya? Itu, kan, hanya serbuk-serbuk biasa, seperti pasir. Memang ada gunanya untuk para bunga?”
“Tentu saja ada, Kinanti! Serbuk-serbuk yang ditebarkan ke atas akan mengenai kepala putik yang ada di bunga, dan terjadilah penyerbukan atau dalam bahasa manusia, disebut perkawinan. Serbuk sari yang terbang adalah jantannya, dan kepala putik adalah betinanya. Kalau kamu membantu mereka kawin, maka akan tumbuh biji atau buah baru, yang menghasilkan bunga baru!”
Kinanti menguap bosan. “Ibu tahu ini dari mana? Pasti dari manusia yang sering berkunjung ke sini, bukan?”
“Ini tradisi kita turun-temurun, Nak. Nenek moyang dan nenekmu telah melakukan ini berulang kali, sehingga menghasilkan padang bunga yang cantik ini. Kau tidak mau meniru mereka? Dan omong-omong, jasa kita juga sering disebut oleh manusia, loh!”
Kinanti terus membersihkan kakinya yang ditempel serbuk sari, sambil menjawab, “Tidak, Bu, aku tidak mau meniru tradisi kita. Tradisi ini membosankan. Toh, pada akhirnya yang berguna adalah bunganya, bukan kita, bangsa kupu-kupu!”
Kinanti terbang menjauhi Katy, yang hanya melepas napas panjang. Kinanti lanjut mencari bunga-bunga lain yang memiliki madu paling banyak. Semakin banyak madu yang dia minum, semakin banyak pula serbuk sari yang menempel di kakinya.
“Apaan, sih, serbuk sari ini? Lengket sekali, sih, seperti lem!” gerutu Kinanti sembari mengentak-entakkan kakinya di mahkota bunga.
Kinanti segera pulang begitu Katy memintanya kembali. Kinanti sudah hafal jalan pulang, sehingga dia berangkat sendiri, sementara saudara-saudaranya masih sibuk mengisap madu.
Di tengah jalan, dia bertemu Lala si lebah, yang hari ini berangkat menuju padang bunga bersama teman-temannya. Dia terbang di samping ratu lebah, ibunya.
“Hai, Kinanti,” sapa Lala.
“Hai juga,” balas Kinanti. “Kau mau ke padang bunga itu lagi?”
“Ya, betul. Kata ibuku, di sana ada banyak madu yang lezat dan manis. Kami para lebah tentu saja hendak mengoleksi madunya, dan juga membantu proses penyerbukan di sana.”
Kinanti mengangguk, meskipun dia capek mendengar cerita tentang penyerbukan. “Oke, kalau begitu, aku duluan, ya.”
“Baik, selamat tinggal!” Lala segera pergi menjauh bersama ibunya.
Saat hampir tiba di sarang, Kinanti melihat bunga sepatu liar yang cantik sekali. Kinanti jadi tergoda untuk mengisap madunya. Dia mendarat di mahkota bunga dan mengisap madunya.
“Hai! Kau siapa, kau siapa?” tiba-tiba, bunga itu bersuara.
Kinanti kaget. “Oh, hai,” balasnya. “Aku Kinanti. Kalau kau?”
“Namaku Bubu. Terima kasih karena telah mengisap maduku! Sekarang, kau harus membalas kebaikan hatiku.”
“Membalasnya? Bagaimana caranya?”
“Lihatlah kaki-kakimu.”
Kinanti menengok kedua kakinya. Tampaklah serbuk-serbuk sari yang menempel.
“Anakku ingin kawin. Tolong sebarkan mereka ke bunga-bunga lain, ya?” pinta Bubu.
“Mengapa aku harus melakukannya? Mengapa tidak kau sendiri saja?”
“Karena aku adalah bunga yang tak bisa bergerak. Akarku menempel di tanah, dan tubuhku hanya bergoyang bila ada angin. Kau lebih beruntung, punya sayap dan punya kaki. Karena itulah, tebarkanlah anak-anakku di bunga yang kau temui!”
Kinanti mengikuti perintah Bubu. Dia membawa serbuk-serbuk itu berkeliling dan menjatuhkan mereka ke bunga-bunga. Setelah kakinya bersih, Kinanti mendengar semacam seruan kecil:
“Terima kasih! Terima kasih!”
Kinanti merasa bahagia telah mengawinkan serbuk sari dengan kepala putik bunga lain. Dia senang melihat mereka semua bahagia. Kinanti pun memendam keinginan untuk menjadi bunga.