Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di beranda rumahnya yang sunyi, Mak Ida menemukan jam tangan perak peninggalan suaminya. Bukan arloji mewah bertatahkan permata, melainkan sebuah jam sederhana dengan tali kulit yang mengering dan kaca buram yang menyimpan jejak waktu. Jarum jamnya membisu di angka tujuh malam, seolah membekukan sebuah kenangan yang tak terucapkan. Namun, keanehan yang lebih mendalam segera terungkap: jam itu seolah memiliki kehidupannya sendiri, bergerak perlahan, nyaris tak kentara, hanya ketika kehangatan bahagia menyentuh relung hatinya yang masih berduka, lalu membeku kembali, mengabadikan momen singkat itu dalam diamnya yang misterius. Setiap pergerakan kecil jarum itu terasa bagai bisikan lembut dari masa lalu, sebuah keajaiban kecil yang hadir di tengah kesepian.
Setiap senyum Dea, setiap gurauan tetangga, setiap kebaikan kecil yang ia terima, tertulis dalam pergerakan singkat jarum jam. Mak Ida mulai merangkai momen-momen itu dalam buku tua, menorehkan kebahagiaan sederhana: aroma kopi pagi yang membangkitkan kenangan, celoteh riang Dea yang menghapus sepi, bahkan saat ia berhasil membuatkan Dea sarapan nasi goreng kesukaannya. Buku itu menjelma menjadi catatan pribadinya tentang secercah harapan di tengah kesendirian.
Suatu sore, Dea iseng membaca beberapa baris catatan ibunya. Matanya berbinar, "Ibu, ini seperti cerita!" Dengan polos, ia meminta Mak Ida membacakannya setiap malam sebelum tidur. Dari sanalah, kehangatan cerita-cerita kecil itu perlahan mengisi kekosongan di hati mereka berdua, menjadi pengantar tidur yang penuh senyum. Mak Ida menatap jam di pergelangan tangannya, sebuah senyum tulus merekah. Bahagia, seperti halnya duka, datang tanpa permisi, namun setiap detiknya yang terekam adalah pengingat berharga untuk terus melangkah.
-Tamat