Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mentari pagi Jakarta menyelinap melalui kaca gedung pencakar langit, menerangi meja kerja Bella. Di depannya, laporan penjualan bulan lalu terbentang—angka-angka yang membosankan, tak seindah senyum , rekan kerjanya di divisi pemasaran. Sandi, dengan rambut sedikit berantakan dan kemeja yang selalu sedikit kusut, adalah seorang yang menarik bagi Bella. Namun, hanya itu. Tertarik. Bukan cinta yang terbalas.
Bella, seorang analis data dengan jiwa puitis yang terpendam, sering mencuri pandang ke arah Sandi. Ia membayangkan skenario-skenario romantis yang tak mungkin terjadi, membuat puisi-puisi pendek di sela-sela pekerjaannya, puisi yang hanya ia baca sendiri.
“Bella, bantu aku cek data ini, ya?” pinta Sandi, suatu siang.
Jantung Bella berdebar. Ini kesempatan! Ia membantu Sandi dengan antusias, berharap ada percikan sesuatu di antara mereka. Namun, setelah itu, Sandi kembali ke rutinitas kerjanya, bercanda dengan Risa, rekan kerja yang cantik dan selalu riang.
Bella mencoba mendekati Sandi beberapa kali lagi—mengajak makan siang (Sandi menolak dengan halus), menawarkan bantuan (Sandi menerima, tetapi tanpa ada kedekatan personal), bahkan sesekali bercanda (Sandi menanggapi, tetapi tetap menjaga jarak). Tidak ada kode-kode romantis yang terbaca, hanya kenyataan yang mentah: Sandi tidak tertarik padanya.
Suatu sore, Bella dan Sandi bertemu di pantry. Sandi terlihat lelah.
Bella memulai percakapan, “capek banget, ya, San?”
“Iya, kejar deadline proyek ini bikin pusing.” Sandi menghela napas.
Bella diam sejenak, lalu melanjutkan bicara. “Aku… aku paham kok.”
Sandi tersenyum menatap Bella. “Terima kasih, ya, Bella. Kamu selalu membantu.”
Dialog itu, singkat dan sederhana, menjadi pengakuan tersirat akan perasaan Bella yang tak terbalas. Bella merasakan sebuah kepastian yang menyakitkan. Malam itu, ia menulis puisi, puisi tentang kepastian yang pahit:
Jeda titik koma,
membatasi kalimat rindu yang tak terucap.
Tanda seru,
menandai berakhirnya harapan.
Bella tidak larut dalam kesedihan. Ia menghapus puisi-puisi tentang Sandi, menghapus nomor telepon Sandi dari ponselnya, dan menghapus Sandi dari daftar kontak media sosialnya. Bukan untuk melupakan, tetapi untuk melepaskan. Ia fokus pada pekerjaannya, memperbaiki kemampuan analisanya, dan bahkan mengikuti kursus menulis kreatif.
Bella mulai menikmati hari-hari dan waktu luangnya, bergabung dengan komunitas menulis, dan menemukan kembali dirinya yang terpendam.
Beberapa bulan kemudian, Bella bertemu Sandi di sebuah acara perusahaan. Sandi memperkenalkan kekasihnya. Bella tersenyum, sebuah senyuman yang tulus, tanpa rasa sakit atau penyesalan. Ia telah move on. Bukan dengan mudah, tetapi dengan penuh kedewasaan.
Ia menyadari bahwa cinta tidak selalu berbalas, dan bahwa kehidupan terus berlanjut. Aroma kopi di pagi hari kini terasa lebih segar, lebih bermakna. Ia telah menemukan kembali dirinya, dan siap untuk menulis bab baru dalam hidupnya, bab yang penuh dengan tanda seru, bukan lagi jeda titik koma. Ia telah menemukan kekuatan untuk menulis ulang ceritanya, sebuah cerita yang ditulis oleh dirinya sendiri, untuk dirinya sendiri.