Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namaku Ilham. Di bawah kulit manusia yang kusandang, aku adalah monster buaya. Sisik hijau yang tersembunyi, mata reptil yang kucamouflage dengan senyum ramah, dan insting predator yang kadang menggodaku untuk bertindak liar—itu semua adalah rahasiaku. Tidak ada yang tahu, bahkan Intan, teman dekatku yang selalu ada di sampingku. Intan adalah wanita yang ceria, dengan mata berkilau seperti air dan tawa yang mengalir seperti sungai. Tapi ada sesuatu tentangnya yang membuatku ragu untuk membuka hati, meski dia sering bilang dia menyukaiku.
Kami duduk di tepi danau kecil di pinggir kota, tempat favorit kami untuk mengobrol. Sore itu, angin membawa aroma air yang membuat sisik di bawah kulitku bergetar. Aku menahan dorongan untuk meluncur ke danau, berpura-pura fokus pada kerikil yang kulempar ke air.
“Kau kelihatan sulit bernapas, Ilham,” canda Intan, suaranya lembut tapi penuh godaan. Dia memandangku dengan senyum nakal, rambutnya berkibar tertiup angin. “Apa kau buaya yang kangen rawa?”
Aku terkekeh, tapi hatiku tersentak. Intan selalu bercanda seperti itu, seolah dia bisa melihat menembus topengku. Aku ingin menepisnya sebagai lelucon, tapi ada kilau aneh di matanya—seperti permukaan air yang menyimpan rahasia. “Kalau aku buaya, kau apa?” balasku, berusaha santai. “Ikan yang nyasar ke darat?”
Dia tertawa, tapi tawanya terdengar gugup. “Mungkin… ikan yang pengen bebas,” katanya pelan, lalu menunduk, memainkan ujung jilbabnya. “Ilham, aku serius, lho. Aku suka sama kamu. Kenapa kamu selalu menghindar?”
Aku terdiam. Jantungku berdetak kencang, tapi bukan karena bahagia. Aku takut. Bukan karena Intan—dia baik, tulus, dan selalu membuatku nyaman. Tapi aku takut dia akan melihat monster di dalam diriku. Aku takut dia akan lari jika tahu aku bukan manusia. “Intan, kita sahabat. Aku… hanya tidak nyaman,” kataku, suaraku serak. Dia hanya tersenyum kecil, tapi aku bisa melihat kekecewaan di matanya.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiranku dipenuhi Intan—caranya bergerak seperti air yang mengalir, kebiasaannya menyentuh air setiap kali kami dekat danau, dan kilau sisik yang pernah kulihat sekilas di pergelangan tangannya saat kami berenang bersama. Apakah dia… seperti aku? Monster?
Keesokan harinya, konflik yang tidak pernah kubayangkan datang. Kami sedang piknik di tepi danau saat badai tiba-tiba mengamuk. Hujan deras mengguyur, dan petir menyambar di kejauhan. Aku merasa insting buayaku bangkit—air yang deras, lumpur yang licin, semuanya memanggilku. Tapi Intan tiba-tiba panik. “Ilham, kita harus pergi!” teriaknya, tapi suaranya gemetar. Aku melihat matanya—bukan mata manusia, tapi mata ikan dengan pupil lebar dan berkilau.
Sebelum aku bisa bereaksi, ombak besar dari danau menghantam kami. Intan terseret arus, dan tanpa berpikir, aku melompat ke air. Di dalam air, topengku lepas. Sisik hijau muncul di kulitku, ekorku mengembang, dan aku berenang seperti predator. Aku menemukan Intan, tapi dia bukan Intan yang kukenal. Tubuhnya bercahaya dengan sisik perak, sirip halus mengembang dari lengannya, dan dia melayang di air seperti makhluk dari dongeng. Dia monster ikan.
Aku menariknya ke permukaan, tapi saat kami sampai di tepi danau, dia menangis. “Kau melihatku… kau tahu sekarang,” isaknya. “Aku takut kau jijik, Ilham. Aku monster.”
Aku terpana. Aku ingin tertawa, ingin menangis, ingin memeluknya. “Intan, aku juga monster,” kataku, suaraku bergetar. Aku menunjukkan sisik di lenganku, yang masih belum sepenuhnya hilang. “Aku buaya. Aku takut kau yang akan lari.”
Dia menatapku, matanya melebar, lalu tertawa di antara air mata. “Kita sama-sama aneh, ya?”
Badai reda, tapi hujan masih gerimis saat kami duduk di tepi danau, basah kuyup tapi lega. Intan menceritakan rahasianya—dia lahir di laut, belajar menyembunyikan sisiknya, dan selalu merasa asing di darat. Aku juga berbagi tentang insting buayaku, tentang rasa takutku bahwa dia akan membenciku jika tahu. Tapi di antara tawa dan cerita, aku menyadari sesuatu: aku tidak lagi ingin menghindar darinya.
“Intan, aku belum bilang aku suka kamu,” kataku pelan. “Bukan karena aku tidak peduli. Aku cuma takut. Tapi sekarang… aku ingin coba.”
Dia tersenyum, dan untuk pertama kali, aku melihat keberanian di matanya. “Aku tunggu, Ilham. Tapi jangan lama-lama, ya. Ikan gampang berenang pergi.”
Kami tertawa, tapi di dalam hati, aku tahu aku tidak akan membiarkan dia pergi. Danau itu menjadi saksi rahasia kami, tempat kami belajar menerima diri sendiri dan satu sama lain.
-Tamat