Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jadi sederhana saja, bagaimana jika di dunia ini tidak ada sapu?
Seorang wanita tua terjebak di gedung baru yang penuh debu, tentulah itu membuat paru terasa engap. Dinding kacanya kecoklatan karena kotoran polusi mengendap. Lantai porselinnya serupa lautan debu di gurun sahara. Di dunia ini, manusia tidak memiliki sapu. Bukan karena tidak ada ilmuwan—sesungguhnya penghuninya cerdas, pandai bermain dengan kecepatan cahaya di layar-layar sentuh. Pandai merayu argumen dengan debat-debat di meja bundar yang berakhir rundung. Mereka juga mendapat label kaum intelek. Maka untuk sekadar menciptakan sapu sesungguhnya bisa dijangkau dengan mudah. Tetapi begini, tidak ada waktu untuk mengurusi sapu.
Pagi yang ranum mata telah dibentuk oleh video-video pendek dari alam maya. Jarak terbentang berpulau-pulau bahkan perbedaan benua mendadak ditempuh dalam satu kali usap sepersekian detik. Banyak pengetahuan bertebaran, kadang butuh validasi, kadang hanyalah afirmasi yang menguatkan. Lalu bagaimana sapu akan menjadi penting?
Biarlah hutan merimba dengan daun-daun yang berguguran membentuk padang daun kecoklatan. Artistik dan indah dalam keabadian pandang. Apalagi ketika kisi-kisi cahaya matahari menembus sulur-sulur pohon. Itu menakjubkan. Hutan tidak membutuhkan sapu.
Entah apa sebabnya, tanpa campur tangan manusia mereka sanggup membersihkan diri. Oksigen dari flora yang berkembang biak di Amazon dan segala daratan hijau di Bumi ini telah tercatat cukup untuk bersih-bersih. Tidak ada paru-paru rusak tanpa campur tangan manusia. Lalu sekelompok dari mereka datang membiak semak belukar, memangkas tanaman-tanaman, menembaki fauna-fauna pedalaman. Katanya mau berbenah demi kemajuan dan peradaban, menjadikan hutan sebagai ekosistem manusia yang ramah lingkungan dan memberikan kemanfaatan. Sayangnya mereka justru menyapu habitat alam. Mengapa pohon yang telah pandai merawat diri dari polusi dan membersihkan udara-udara kotor itu justru ditebang tanpa perasaan sakit? Nihil dari belasungkawa?
Lalu gedung-gedung itu justru terlihat tua. Tempat pembuangan berbau bacin, amis kadang bangkai. Ada kotoran yang tidak bisa mereka saksikan. Kotoran gaib dari pandangan. Mereka butuh sapu untuk membersihkan gedung-gedung itu dari debu yang membuat pernapasan sesak. Lantas siapa yang peduli? Pernah suatu malam yang berdebu, ketika langit mencurahkan pasukan hujan sehingga membuat debu-debu itu menjadi lumpur. Seorang bocah SMP mengambil batu dari pinggiran sungai, dia—mengayunkan batu itu ke kepala teman akrab—teman tetangga yang selama ini sering diajak bermain. Ada perselisihan perihal permainan game di layar gawai, maka penyelesaiannya berujung pada kematian. Mayat itu disingkirkan ke sungai, dihanyutkan banjir, membentur cadas sampai kepala terpisah dari jasad yang lain. Sementara hujan terus mengguyur tidak kenal lelah. Tidak ada waktu cukup untuk istirahat. Kotoran di dunia ini begitu banyak sampai-sampai hujan kewalahan membersihkannya. Mayat yang dibuang itu ditemukan Tim Sar. Bumi bukan lagi tempat bersih-bersih yang baik.
Tidak heran lagi di meja-meja perundingan hasil suara, begitu banyak gelas yang menampung umpatan dari kegelisahan kaum marjinal. Meja-meja itu rungkut dengan surat permohonan—minta keadilan, minta perbaikan kualitas moral, minta pertimbangan perekonomian. Dan semuanya terus ditimang-timang tanpa ada kejelasan persetujuan. Alhasil gedung perwakilan suara itu nyaris runtuh lantaran sesak dengan surat-surat permohonan rakyat yang tidak kunjung diapresiasi. Surat bertuliskan darah dan keringat dari kaum marjinal itu digulung kemudian dilempar ke tong sampah. Begitu terus menerus sampai tong-tong penuh dengan sampah. Anehnya sekalipun sudah berusaha dihancurkan, surat itu terus datang bagaikan sekelompok semut lapar di sudut ruang. Tong sampah adalah roti, surat-surat itu tokoh utamanya—semut. Seorang cleaning service dipekerjakan tanpa dibekali dengan sapu. Maka beban tong sampah itu bukannya berkurang, justru bertambah dengan umpatan dan cacian. Kalimat-kalimat kotor tanpa pengharapan selalu dimuntahkan ke lubang yang telah berbau busuk. Gedung perwakilan tidak mampu menampung sampah dari surat-surat yang selalu berdatangan. Mereka mengutus personal untuk menghanguskan di hutan rimba. Hutan dibuka lebar untuk menjadi tempat persembunyian catatan dan permohonan kaum-kaum malang. Hutan yang segar hilang arah. Ada polusi dari asap tebal yang membumbung tinggi di langit. Katanya, itu kebakaran lahan akibat kemarau panjang yang tidak berkesudahan. Padahal lusa kemarin hujan baru saja menghanyutkan mayat anak SMP. Lucu memang negeri ini, sampai-sampai musim yang tidak bersalah menjadi tersangka.
Dunia butuh sapu, di abad ini entah apa sebabnya sapu yang dulu pernah jaya dan dijadikan kaum Emak-Emak untuk membersihkan halaman rumah mereka–hilang tanpa jejak. Sapu menjadi punah karena waktu terus berkembang tidak sebagaimana mestinya. Anak-anak meraih kesuksesan dengan suap ijazah di kampus-kampus besar. Lalu ada gugatan di layar keadilan. Antara rakyat sipil dengan aparatur negara saling berselisih, bukankah mereka pernah rekat dengan saling jabat di baliho-baliho kekuasaan? Tersebab apa kini kedekatan itu renggang tanpa pertimbangan? Apalagi sekadar ijazah yang tertuntut moral keasliannya? Begitu banyak moral palsu yang berkelindan di jalanan umum. Sampai tidak kenal salam, lupa anggukkan kepala, tidak peduli dengan verifikasi data-data. Semuanya melangkah maju berurusan dengan ego dan kemakmuran.
Suatu sore yang gelap lantaran langit sedang diterjang badai debu, mantan cleaning service yang saat ini tidak lagi memiliki pekerjaan, menyeduh kopi hitam di beranda rumahnya. Rumah tua dengan dinding kayu tetapi bersih. Tidak pernah dia kotori dengan figura-figura kemenangan palsu yang dipiagamkan. Dia seorang pria paruh baya yang sedang menantikan ajalnya dari riuhnya dunia kotor tersebut. Berkali-kali mengajukan doa kepada langit, supaya kelak di akhirat banyak sapu-sapu gratis yang bisa dia operasikan. Dia rindu membersihkan kotoran, dia ingin segera mati untuk menjemput hidup kedua. Menganggur lama-lama di dunia ini terasa membosankan. Dia pikir dunia tidak pantas lagi untuk dihuni, sebab sapu-sapu yang membersihkan kotoran kemanusiaan di dada mereka telah lenyap dari peradaban.
Magelang, 29 April 2025.
12.03 WIB.