Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Terlambat. Sangat terlambat. Padahal aku sudah bangun jam tiga seperti biasa, rutin yang nyaris tanpa cela. Olah raga ringan sepuluh menit sebelum keluar kamar, dan seperti biasa aku temukan Ibu sedang salat Tahajud di ruang keluarga. Seperti biasa juga aku memasak air dan menanak nasi, lalu ke kamar mandi untuk penuhi hajat alamiah dan, tentu saja, mandi.
Segalanya berubah ketika giliran adik perempuanku memakai kamar mandi. Dia mendadak berteriak saat aku membantu Ibu memasak. Kontan aku berlari ke pintu kamar mandi dan memggedornya.
"Ayu! Ada apa?" teriakku. Sempat aku dengar semburan air yang cukup kencang di dalam.
"Ke-keran airnya lepas!" sahut Ayu.
"Cepat keluar!"
Meski aku perintahkan cepat-cepat, tentu sebagai perempuan Ayu perlu waktu juga untuk keluar kamar mandi. Setelah dia keluar, memang aku lihat keran air patah dan air menyembur kuat hingga ke dinding di seberanganya.
"Gimana bisa patah sih?" keluhku sambil berlari meninggalkan kamar mandi menuju lantai atas ke tempat penampungan air. Aku matikan keran utama supaya keran kamar mandi bisa aku perbaiki tanpa perlu basah-basahan.
Demikianlah drama pertama hingga aku mesti mandi lagi setelah berpeluh mengganti keran. Untuk sementara aku ganti keran itu dengan keran taman di halaman depan. Kira-kira rutinitasku bergeser setengah jam. Sulit terkejar.
Seperti biasa juga aku berangkat ke kantor sekaligus antar Ayu sekolah.
"Ingat jangan ngebut, Ri," pesan Ibu yang sepertinya keluar dari naluri seorang ibu yang kenal tabiat anaknya.
"Tuh dengar, Mas Ari!" sahut Ayu sambil memakai sepatunya. Sementara aku telah duduk di motor di luar pagar. Memakai masker dan memakai helm.
"Dah diem! Cepetan!"
Setelah Ayu pakai helm, dia melompat naik ke belakangku. Kami berpamitan dan Ibu melepas kami. Pagi semakin naik menuju terang dan ini bukan pertanda baik. Jalanan akan memadat dan rutinitasku semakin bergeser tak terkejar.
Aku berhasil mempersempit ketertinggalanku saat aku turunkan Ayu di gerbang sekolahnya. Lalu aku pecut motor matikku lebih cepat dari biasanya. Aku pikir aku bisa mengejar ketertinggalanku. Minimal masuk kantor tepat waktu.
Tapi sepertinya aku memang ditakdirkan terlambat, sekeras apapun usaha yang aku lakukan.
Ada saat aku mencapai tikungan dan berbelok, lalu aku melihat satu unit angkutan kota berhenti tidak jauh dari tikungan. Aku menyalipnya. Hanya saja aku tidak menyangka kalau dari jendela kabin kemudi tiba-tiba menjulur seruas tangan. Tentu saja itu tangan si supir dan sepertinya dia hendak melambai ke calon penumpang di seberang jalan.
Aku yakin tangan supir itu akan patah kalau saja refleksku tumpul (ada kalanya aku berharap tumpul saja biar tangan supir sialan itu patah!). Aku berkelit dan memaki. Sempat aku berhenti dan melotot ke supir itu tapi dia bersikap masa bodo seolah aku tidak ada. Ingin rasanya turun dan konfrontasi dia, tapi sisi kompulsifku untuk mengejar waktu masih kuat. Aku abaikan dia dan segera pergi,
Tapi ....
Hatiku telah keruh ....
Ada apa ini? Sial banget pagi ini! pikirku dan memang pikiran yang sia-sia.
Namun, bila pikiran sia-sia itu yang mengundang kenangan. Bila pikiran sia-sia itu yang mengantar bisik kebajikan yang berkata, “Mau merasa lebih baik? Coba berbuat kebaikan ke sesama. Yang kecil-kecil aja. Cuma senyum juga gak masalah. Tapi yang tulus!”
Bila pikiran sia-sia itu sekilas membawa memori senyum dan nasihat mendiang Ayah, maka pikiran itu tidaklah sia-sia. Seolah benakku membanting stir, dan memaksa mood-ku beralih arah, aku pegang kata-kata Ayah itu. Ya, aku tak sudi hatiku keruh sepagi ini! Dan ketika kulihat seorang pria renta menuntun sepedanya hendak menyeberang jalan, aku perlambat laju motorku dan berhenti. Sambil merentangkan tangan untuk menghambat pengendara lain, aku mengangguk untuk mempersilahkan pria renta itu menyeberang jalan.
Pria renta itu mengangguk saat melewatiku dan tersenyum. Senyum yang lebar dan menunjukkan geligi yang tak lagi sempurna, senyum yang mendorong pipi dan mengangkat keriput sudut matanya hingga memperjelas binar matanya. Ada tulus dari senyum pak tua itu dan aku terpana dibuatnya. Senyum bak mentari. Senyum yang seolah senyum itu merupakan jelmaan pagi itu sendiri.
Beliau berlalu dan akupun melanjutkan perjalanan. Tapi aku tidak lagi sama. Ada sesak menggelayut, namun justru membebaskan. Paradoks, bukan? Tapi yang pasti, aku rasakan keruh dan karat dalam hati terbilas sempurna.
Ayah mungkin tidak setua bapak itu waktu meninggal, tapi … senyumnya mungkin akan seperti itu kalau masih ada ….
Mataku membasah dan aku tidak lagi memikirkan waktu. Aku tidak lagi peduli soal terlambat, lebih-lebih saat macet menghadang ketika memasuki pusat kota. Aku tidak lagi memikirkan apa-apa selain mencari celah untuk konstan mempersempit jarak menuju kantor. Mengebaskan diri dan menjadi titik kecil di tengah sungai kehidupan. Lalu ….
“Arie? Tumben terlambat.”
Aku dengar suara seorang perempuan yang aku kenal. Aku berpaling dan melihat boss-ku membuka jendela mobil. Seperti biasanya, boss-ku ini tampil cantik dan segar di pagi hari.
“Miss Jen! Hehe, iya. Perbaiki keran kamar mandi dulu,” jawabku setelah membuka masker supaya suaraku lebih jelas.
“Ah, iya. Kamu the only man of the family, ya?”
“Hehe.” Aku pasang nyengir kuda untuk menanggapinya. Ada perasaan senang juga mendengar atasanku sendiri tahu kondisi keluargaku.
“Eh, kamu pakai motor bisa lebih cepat, `kan? Bisa tolong siapin bahan presentasiku di Ruang Rapat?” pinta Miss Jen sambil meraih tas laptopnya dan menyodorkannya kepadaku. “File-nya udah terbuka, kok.”
“Siap, Miss!” ujarku sambil menerima tas itu dan menyelempangkannya. Pada saat yang bersamaan, motor di depanku telah merayap maju. “Oke, saya duluan, Miss.”
“Thanks, ya! Entar makan siang aku traktir!”
Aku telah melaju dan menanggapinya hanya dengan mengacungkan jempol.