Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Semua berawal dari papan pengumuman kecil di jalan menuju kampus:
"Dibuka: Perpustakaan Rahasia Kota. Gratis untuk pembaca sejati."
Tanpa banyak pikir, Satria—mahasiswa sastra yang haus bacaan—mencatat alamat yang tertulis di sana. Tapi anehnya, alamat itu tidak muncul di Google Maps. Bahkan teman-temannya mengaku belum pernah mendengar tempat itu.
Rasa ingin tahunya mengalahkan logika.
Malam itu, ia berbekal senter kecil dan jaket tebal, mencari alamat tersebut. Ia mengikuti gang sempit yang bahkan tak pernah ia lewati sebelumnya. Lampu jalan mulai redup saat ia menemukan bangunan itu: rumah tua, catnya mengelupas, jendelanya pecah. Tapi ada plang kecil yang bertuliskan:
"Perpustakaan Rahasia Kota."
Pintu kayu berderit saat ia mendorongnya.
Di dalam, aroma buku tua langsung memenuhi hidungnya. Rak-rak penuh buku berjejer rapat. Ada cahaya remang dari lampu gantung kuno. Tak ada penjaga, tak ada orang lain.
Namun di meja resepsionis, ada papan kecil:
"Pilih satu buku. Baca sampai selesai. Tidak boleh keluar sebelum itu."
Satria tertawa kecil. "Gila, ini tempat sempurna," gumamnya.
Ia berjalan di antara rak. Anehnya, buku-buku di sana tidak berjudul. Hanya sampul kosong. Ia meraih satu buku acak. Sampulnya hitam polos, tak ada keterangan.
Saat membukanya, matanya membelalak.
Halaman pertama buku itu menceritakan dirinya sendiri—sampai ke detail kecil: nama ibunya, sandal yang ia pakai, hingga fakta bahwa tadi ia sempat hampir tersandung batu kecil di gang.
Halaman kedua menceritakan bahwa "pembaca" (ia) sedang membuka buku itu di perpustakaan.
Halaman ketiga menulis:
> "Dan ketika ia mencoba menutup buku itu, ia sadar bahwa pintu perpustakaan telah menghilang."
Dengan jantung berdegup kencang, Satria menoleh.
Benar saja. Pintu kayu itu tak lagi ada. Hanya dinding bata kotor.
Ia berlari, mencari jalan keluar. Tapi di setiap sudut hanya ada rak-rak buku yang seakan bergerak, menutup jalannya.
Dalam keputusasaan, ia kembali ke meja resepsionis, berharap menemukan sesuatu. Di sana, ada tulisan baru:
"Baca bukumu sampai akhir, atau tetaplah di sini selamanya."
Dengan tangan gemetar, ia membuka halaman berikutnya.
Cerita di buku itu berubah. Kini, buku itu menceritakan ketakutannya: bagaimana ia berteriak, memukul-mukul dinding, menangis, tapi tidak ada yang mendengar. Setiap tindakan yang ia lakukan langsung tertulis di buku, sebelum ia sempat berpikir.
Ia mencoba merobek buku itu. Tapi begitu ia mencabik halaman, rasa sakit luar biasa menjalar ke tubuhnya, seolah kulitnya yang tersobek.
Satria tersungkur, menangis. Ia sadar: satu-satunya jalan adalah menamatkan buku itu.
Jadi ia membaca. Membaca semua rasa takut, semua kegagalan, semua dosa yang ia sembunyikan. Buku itu tahu segalanya. Setiap lembar membuat hatinya hancur.
Sampai akhirnya, ia sampai pada halaman terakhir.
Kalimat itu berbunyi:
> "Satria menutup buku itu, dan dunia pun menghilang bersamanya."
Tangannya bergetar. Ia menatap sekeliling. Rak-rak buku mulai larut menjadi kabut. Meja-meja terbalik. Dinding runtuh. Dan Satria—
—Satria merasa tubuhnya lenyap, seperti serpihan kertas ditiup angin.
---
Pagi harinya, orang-orang kampus menemukan sebuah papan pengumuman baru di jalan:
"Dibuka: Perpustakaan Rahasia Kota. Gratis untuk pembaca sejati."
Dan di sudut kecil papan itu, ada foto pudar:
seorang anak muda dengan mata kosong, memegang sebuah buku hitam polos.