Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ketika langit sore menguning, Dira masih duduk termenung di bangku taman kecil dekat rumahnya. Di tangannya tergenggam sebuah kertas penuh coretan — daftar mimpi-mimpi yang ia buat lima tahun lalu.
Menjadi penulis. Membuka bisnis kecil. Belajar bahasa asing. Menjalani hidup sehat.
Semuanya terasa sangat jauh, seolah hanya khayalan masa muda yang kini menguap.
"Kenapa ya, aku nggak pernah bisa konsisten?" gumamnya pelan.
Dira menghela napas. Ia merasa kalah sebelum benar-benar berperang.
Seorang kakek tua yang sedang berjalan-jalan di taman memperhatikannya dari kejauhan. Perlahan, ia mendekat dan duduk di bangku yang sama, memandang langit yang mulai memerah.
"Kamu tampak berat memikirkan sesuatu," kata si kakek dengan suara parau namun hangat.
Dira tersenyum kaku. "Iya, Kek. Aku lagi mikirin hidup. Kenapa rasanya nggak maju-maju."
Kakek itu tertawa kecil. "Maju itu bukan tentang berlari kencang, Nak. Kadang... satu langkah kecil saja sudah berarti."
Dira menoleh, mendengarkan.
Kakek itu menunjuk seekor semut yang tengah berusaha membawa remah roti yang jauh lebih besar dari tubuhnya. "Lihat semut itu. Dia mungkin harus berhenti, jatuh, atau tersesat. Tapi dia nggak menyerah. Dia cuma terus bergerak. Sedikit-sedikit, sampai akhirnya sampai ke sarangnya."
Dira memperhatikan semut itu dengan seksama. Sesuatu dalam dirinya terasa tergelitik.
"Kalau kamu ingin berubah," lanjut sang kakek, "jangan pikirkan harus menjadi sempurna dalam sehari. Mulai saja dengan satu langkah kecil. Tiap hari."
---
Malam itu, Dira memandangi daftar mimpinya sekali lagi.
Bukannya merasa putus asa, ia mencoba berpikir: "Kalau aku tidak bisa melakukan semuanya sekaligus, apa satu hal kecil yang bisa kulakukan hari ini?"
Jawabannya sederhana: Menulis satu paragraf.
Dira membuka laptopnya. Ia mengetik satu paragraf sederhana tentang hari itu di taman, tentang pertemuannya dengan si kakek. Tak sempurna, tapi nyata. Setelah itu, ia menutup laptop dan tidur dengan senyum kecil di wajahnya.
Keesokan harinya, Dira bangun dengan semangat baru.
Satu langkah kecil lagi: mencari resep sarapan sehat dan mencoba membuatnya. Ia memilih smoothie sederhana dari pisang dan susu almond.
Tidak sulit. Tidak sempurna. Tapi ia berhasil.
Hari berikutnya, langkah kecil lain: membuka aplikasi belajar bahasa asing dan mempelajari lima kata baru.
Minggu-minggu berlalu.
Dira tidak membuat perubahan besar yang mengejutkan dunia. Ia tidak langsung menjadi penulis terkenal, tidak tiba-tiba berbicara fasih dalam tiga bahasa, atau menjadi pebisnis sukses.
Namun, ia merasa berbeda. Lebih hidup. Lebih percaya diri.
---
Suatu sore, sekitar tiga bulan setelah pertemuannya dengan si kakek, Dira kembali duduk di bangku taman itu. Kali ini, dengan sebuah jurnal kecil di tangan.
Ia membaca ulang semua langkah kecil yang telah ia buat:
Menulis satu paragraf per hari (sekarang sudah menjadi satu halaman!)
Belajar lima kata asing setiap hari (sekarang 200 kata baru!)
Memasak sendiri makan siang sehat (sekarang bahkan mencoba resep baru tiap minggu)
Membuka toko online kecil untuk menjual ilustrasi digital buatannya
Tak ada yang luar biasa. Tapi semua itu nyata.
Semua itu membentuknya sedikit demi sedikit menjadi sosok yang ia impikan.
"Kamu kembali lagi, Nak," suara kakek itu terdengar dari samping. Kali ini ia membawa segelas kopi panas.
Dira tertawa kecil. "Iya, Kek. Aku mau bilang terima kasih."
Kakek itu tersenyum. "Sudah merasa lebih ringan?"
"Lebih dari itu," jawab Dira mantap. "Aku merasa hidupku bergerak. Walau pelan, tapi pasti."
Kakek itu mengangguk. Ia menyeruput kopinya perlahan.
"Rahasia hidup memang bukan di kecepatan, Nak. Tapi di keberanian untuk terus melangkah, sekecil apa pun langkah itu."
Matahari terbenam di balik pepohonan, menebarkan warna keemasan ke seluruh taman.
Dira menatap ke langit, merasa penuh harapan. Ia sadar, perubahan besar tidak datang dalam sehari. Tapi ia tahu, dengan kesabaran, semua itu akan terjadi — satu langkah kecil setiap hari.