Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit malam itu kelabu, dan angin meniup daun-daun kering yang berserakan di jalanan desa tua bernama Wening. Raka, seorang mahasiswa jurusan arsitektur, baru saja tiba di desa itu untuk menyelesaikan tugas akhirnya: mendokumentasikan bangunan bersejarah yang konon sudah ditinggalkan puluhan tahun.
Desa Wening bukan desa biasa. Warga sekitar percaya, ada lorong di salah satu rumah tua yang tidak pernah membawa siapa pun kembali.
Raka, tentu saja, menganggapnya cuma mitos.
---
Malam itu, dengan senter di tangan dan kamera tergantung di lehernya, ia melangkah memasuki rumah tua yang ditunjuk warga: sebuah bangunan kayu besar, berwarna kelam, yang tampak hampir runtuh. Daun pintu berderit pelan saat ia mendorongnya, menimbulkan suara yang lebih nyaring daripada niat hatinya.
"Dokumentasikan, ukur, pulang," gumam Raka, mencoba menenangkan dirinya.
Di dalam, suasana lebih menyeramkan. Udara dingin menusuk, padahal musim panas. Debu menari di udara, berkilauan dalam sorot senter. Raka memotret beberapa sudut, mencatat dimensi ruangan, lalu berhenti di depan sebuah lorong sempit yang terletak di belakang rumah.
Lorong itu gelap. Sangat gelap, seolah-olah menyedot cahaya di sekitarnya.
Penasaran, Raka menyalakan senter lebih terang. Tapi aneh, cahaya itu malah lenyap di ujung lorong, tidak pernah menyentuh dinding belakang.
Ia menelan ludah. "Lorong kayak gini biasanya ke dapur," katanya keras-keras, menghibur dirinya.
Namun, semakin dia menatap lorong itu, semakin kuat perasaan tidak enak menjalari tulang punggungnya. Udara terasa lengket. Seperti ada sesuatu... yang menunggu.
Meski alarm tubuhnya berteriak, rasa ingin tahunya menang. Raka melangkah ke dalam lorong.
Satu langkah.
Lorong terasa lebih panjang.
Dua langkah.
Dinding-dinding tampak berdenyut, seperti makhluk hidup.
Tiga langkah.
Senter bergetar di tangannya. Bayangan aneh berkelebat di ujung penglihatannya.
Empat langkah.
Ia mencoba menoleh ke belakang—tetapi yang ia lihat hanya kegelapan total. Pintu rumah, cahaya luar, semua lenyap.
"Pasti cuma ilusi optik," katanya, mencoba logis. Ia mengangkat kamera dan memotret lorong.
Jepret.
Kilatan lampu memperlihatkan sesuatu: sesosok bayangan tinggi, berdiri membelakanginya hanya beberapa meter di depan.
Raka membeku.
Kilatan lampu membuat tubuhnya gemetar. Ia membalikkan badan cepat—tidak ada apa-apa.
Tetapi saat ia menengok ke depan lagi, sosok itu lebih dekat.
Wajahnya tidak jelas, hanya mata hitam kosong menatap dalam.
Tanpa pikir panjang, Raka berlari. Ia berlari ke arah berlawanan, berharap menemukan pintu atau apapun. Tapi lorong itu terus memanjang, memutar, menyesatkan.
Nafasnya memburu. Ia mendengar suara bisikan—ribuan, jutaan bisikan—memenuhi lorong, mengulang-ulang satu kata:
"Tinggal."
"Tinggal."
"Tinggal."
Tiba-tiba, lorong berakhir.
Di depannya berdiri sebuah pintu kayu tua, penuh goresan kuku. Dengan panik, Raka membanting pintu itu terbuka—dan menemukan dirinya kembali di dalam rumah tua, tepat di depan pintu masuk.
Hanya ada satu perbedaan: rumah itu tidak kosong lagi.
Ratusan orang berdiri di dalam ruangan—wajah mereka pucat, mata kosong, tubuh setengah transparan. Semuanya menatap Raka.
Raka mundur perlahan, tapi kakinya terasa berat, seolah lengket di lantai.
Salah satu dari sosok itu melangkah maju. Wajahnya setengah hancur, seperti membusuk dalam waktu. Ia membuka mulutnya, dan dari sana keluar suara serak:
"Selamat datang."
Tangan-tangan mulai terulur ke arahnya. Raka berusaha berteriak, tapi suaranya lenyap.
Dalam sekejap, dunia menjadi gelap.
---
Pagi harinya, warga menemukan rumah tua itu tampak berbeda. Pintu terbuka lebar. Di depan pintu, kamera Raka tergeletak di tanah, lensanya pecah.
Tidak ada tanda-tanda Raka di mana pun.
Namun, saat salah satu warga berani mengintip ke dalam, mereka melihat sesuatu yang membuat mereka membeku ketakutan: foto terakhir yang dipotret Raka terproyeksikan di dinding kayu.
Dalam foto itu, tampak ratusan sosok gelap berdiri, dengan satu sosok baru di antara mereka: Raka, dengan mata kosong, menatap lurus ke arah siapa pun yang melihat.
Lorong itu tetap ada.
Menunggu mangsa berikutnya.