Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namaku Arga. Hari ini adalah ulang tahun keempat sejak ibuku meninggal. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, aku duduk di depan telepon umum yang sudah tak berfungsi di ujung jalan dekat rumah lama kami—tempat terakhir aku mendengar suaranya, sebelum segalanya berubah.
---
Dulu, aku tinggal di sebuah rumah sederhana bersama Ibu. Ayah pergi saat aku berusia lima tahun—entah ke mana, dan Ibu tak pernah membicarakannya lagi. Kami hidup pas-pasan, tapi Ibu selalu memastikan aku tidak kekurangan semangat.
“Ibu mungkin nggak bisa kasih kamu kado mahal, tapi Ibu bisa kasih kamu cerita. Mau cerita apa malam ini?” katanya setiap malam sebelum tidur.
Dari dongeng raksasa pemakan kertas hingga legenda pahlawan kampung, Ibu menciptakan dunia tempat aku bisa bertualang walau tak pernah punya sepeda.
Lalu semuanya berubah ketika aku SMA. Saat itulah aku mulai malu punya ibu yang cuma penjual gorengan. Teman-temanku punya orang tua berseragam. Aku cuma punya Ibu yang tangannya selalu berbau minyak dan bajunya penuh bekas tepung.
Aku mulai menjauh. Pulang larut. Jarang makan di rumah. Kadang membentak tanpa alasan.
Puncaknya saat aku ulang tahun ke-17.
Ibu menungguku pulang dengan kue buatan sendiri. Tapi aku malah datang dengan pacar baru dan wajah penuh benci.
“Apa Ibu pikir aku masih anak kecil yang mau dirayain pakai kue murah?” bentakku.
Ibu diam. Tapi matanya tak bisa sembunyikan luka.
Besok paginya, dia pergi jualan seperti biasa. Tapi yang tak biasa, dia tak pulang.
---
Aku baru tahu beberapa jam kemudian, dari tetangga. Ibu tertabrak motor saat menyeberang jalan. Ia sempat sadar, sempat meminta seseorang meneleponku. Tapi ponselku mati. Tidak kubawa. Sibuk dengan teman-teman.
Ada satu hal yang terus menghantuiku sampai hari ini—telepon umum itu. Tempat seseorang berkata, “Dia mencoba meneleponmu dari sini. Berkali-kali.”
Sejak saat itu, setiap tanggal 15 Maret, aku kembali ke sini. Duduk diam di bawah atap rusak yang meneteskan air hujan. Telepon itu sudah mati, tapi aku selalu membawa ponsel dan menyalakannya, menanti keajaiban.
Barangkali, suatu saat, akan ada suara dari seberang. Suara yang tak sempat kudengar terakhir kali.
---
Hujan mulai turun deras. Jaketku basah, tapi aku tidak peduli. Di tangan kiriku, kubuka pesan lama dari Ibu yang belum pernah kuhapus.
"Maaf kalau Ibu salah. Tapi Ibu selalu sayang kamu. Selalu. Pulang, ya?"
Aku tak pernah membalas pesan itu.
Suatu saat, aku pernah ingin menulis surat pengakuan, minta maaf atas semua sikap burukku. Tapi surat itu hanya kubakar. Kupikir, apa gunanya meminta maaf pada seseorang yang sudah tiada?
Namun sore ini, ada yang berbeda.
Seorang bocah kecil berlari mendekat ke arah telepon umum. Tubuhnya kurus, baju sekolahnya kuyup. Ia mencoba menutup kepalanya dengan buku. Dan ketika dia sampai di bawah atap tempatku duduk, ia menatapku ragu.
“Boleh numpang berteduh, Mas?” tanyanya sopan.
Aku mengangguk. “Silakan.”
Dia berdiri, memeluk buku erat-erat. Matanya melirik ke telepon umum itu.
“Mas, ini beneran bisa buat nelpon?”
Aku nyaris tertawa. “Udah rusak sejak lama.”
“Oh…” Wajahnya langsung murung.
Aku penasaran. “Kenapa? Mau nelepon siapa?”
Anak itu menggigit bibir. “Ibu saya. Tapi saya nggak punya HP. Dia kerja di luar kota.”
Aku diam. Jantungku terasa aneh. Seperti dipukul kenangan.
“Namamu siapa?”
“Bayu.”
Aku membuka jaketku dan menyodorkan ponselku. “Kamu hafal nomornya?”
Matanya membesar. “Beneran boleh?”
Aku mengangguk. Ia mengetik perlahan, menempelkan ponsel ke telinganya. Beberapa detik sunyi. Lalu wajahnya cerah.
“Ibu! Iya, Bu. Aku di jalan pulang. Hujan. Iya, nemu tempat berteduh. Ada orang baik… Namanya Mas Arga.”
Aku tersenyum, walau hatiku sesak.
Setelah Bayu menutup telepon, ia mengucapkan terima kasih berkali-kali. Lalu ia berlari lagi ke ujung gang.
Aku menatap ponsel di tanganku. Jari-jariku gemetar. Lalu tanpa berpikir panjang, kubuka aplikasi catatan, dan mulai mengetik.
Surat untuk Ibu.
Ibu, maaf aku tak pernah jadi anak yang pantas. Aku malu pada diriku sendiri karena menjauh darimu, karena berpikir bahwa status dan uang lebih penting daripada kasih sayang.
Ibu, aku menyesal. Teramat menyesal.
Tapi tadi, aku bertemu anak kecil yang hanya ingin mengabari ibunya. Dia tak malu, tak gengsi. Dan aku belajar darinya.
Ibu, kalau saja aku bisa memutar waktu. Kalau saja aku mengangkat telepon itu dulu...
Air mataku jatuh tanpa suara.
Aku menyimpan catatan itu. Dan sebelum aku pergi, aku menyentuh gagang telepon umum yang sudah berkarat.
“Terima kasih sudah jadi saksi,” bisikku.
Lalu aku pulang, untuk pertama kalinya dengan hati yang sedikit lebih lega. Karena meski Ibu tak bisa membaca pesan itu, aku tahu: aku sudah mulai belajar menjadi manusia yang lebih baik.