Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Nama asliku Sarinah. Namun sepanjang hidupku, orang hanya mengenalku sebagai “asisten Kartini”. Ya, Kartini yang itu. Perempuan bangsawan dari Jepara yang tulisannya menembus batas tembok keraton dan zaman. Tapi tak banyak yang tahu, sebagian surat-suratnya tak pernah sampai ke tangan Belanda. Sebagian justru ditulis ulang, disunting, atau bahkan... disimpan olehku.
Aku tak bangga, tapi aku juga tak menyesal.
---
Tahun 1902. Sore hari di pendapa rumah adat Jepara, Kartini duduk dengan cermat di meja kecilnya, pena bulu di tangan, matanya menerawang. Aku duduk beberapa langkah di belakangnya, menjahit kain dengan tangan gemetar. Setiap kali ia diam terlalu lama, aku tahu, pikirannya sedang melayang antara keinginan bebas dan jerat adat yang membelenggu.
“Na,” panggilnya pelan.
“Ya, Mbak?”
“Kalau aku kirim surat ini, apakah mereka akan paham? Bahwa perempuan di negeri ini juga bisa berpikir?”
Aku tak langsung menjawab. Bukan karena ragu, tapi karena aku tahu, jawabanku tak akan mengubah apa pun. Tugas utamaku adalah memastikan surat itu sampai ke tangan Stella atau Abendanon, meski kadang isi surat itu terlalu jujur hingga membuatku ngeri.
“Menurutku... mereka perlu membaca yang ini juga, Mbak. Supaya mereka tahu bahwa bukan hanya bangsawan yang mampu menulis. Rakyat pun bisa bicara, kalau diberi kesempatan.”
Kartini tersenyum, lalu mengangsurkan surat itu padaku. Malam itu, aku menyelipkan surat itu ke dalam kotak kayu tempat biasa menyimpan tulisan-tulisan untuk dikirim lewat pos ke Semarang.
Tapi tidak semua surat terkirim.
Beberapa surat—yang menurutku terlalu keras, terlalu berani, terlalu menyudutkan sistem kolonial—aku simpan. Bukan karena ingin mengkhianati Kartini, tapi karena aku ingin melindunginya. Ia tak tahu bahwa beberapa pejabat Belanda diam-diam memantau isi surat-suratnya. Beberapa kata kunci seperti “kemerdekaan” atau “kebebasan hakiki” bisa membuatnya dituduh subversif.
Aku, Sarinah, gadis kecil dari desa pinggir pantai, mungkin tidak banyak tahu soal politik. Tapi aku tahu, Belanda tak akan membiarkan perempuan Jawa bangkit tanpa reaksi.
---
Pada suatu hari, Kartini jatuh sakit. Ia demam selama tiga hari, tak mau menulis, tak mau bicara. Aku menjaga di sisi ranjangnya, sambil diam-diam membaca satu per satu surat yang belum ia kirim.
Di antaranya, kutemukan surat yang ditujukan padaku.
"Sarinah,
Jika suatu hari aku tak ada, jangan biarkan suara perempuan hanya jadi hiasan bibir manis pria. Bawa suaraku ke mereka. Kirimkan surat-surat yang belum sempat terkirim. Jangan takut. Aku percaya padamu."
Aku menangis saat itu juga. Tak ada satu pun surat yang aku bakar malam itu.
---
Dua tahun kemudian, Kartini meninggal dunia setelah melahirkan putra pertamanya. Rumah itu sunyi. Belanda datang membawa bunga, pujian, dan… kekosongan. Mereka menyebutnya pejuang emansipasi, tapi tak satu pun dari mereka mengizinkan sekolah yang ia impikan berdiri dengan bebas.
Dan aku? Aku membawa surat-surat itu—yang tak pernah terkirim—ke tempat lain. Semarang, kemudian Batavia. Aku menjual gelang perak warisan ibu untuk ongkos perjalananku. Lalu aku menulis ulang isi surat-surat itu, menyusunnya kembali, dan menyalin dengan tanganku sendiri dalam bahasa Melayu.
Ada satu yang kuberi judul “Surat untuk Perempuan Tanpa Nama.”
Isinya bukan hanya tentang Kartini, tapi tentang semua perempuan di desa, di ladang, di pasar—yang suaranya selalu dibungkam adat dan penjajah.
Dan tahun demi tahun berlalu. Aku tak muda lagi. Rambutku mulai memutih, dan banyak surat Kartini yang akhirnya diterbitkan atas nama kolonial Belanda. Tapi yang mereka tak tahu, sebagian besar surat paling berani—yang menyerukan kesetaraan tanpa embel-embel politik kolonial—ditulis ulang olehku dan dikirim ke guru-guru pribumi yang tersebar di Jawa, lewat pos dan kertas lusuh.
Beberapa tahun kemudian, salah satu isi surat itu dibacakan oleh seorang pemuda di rapat organisasi perempuan pertama di Yogyakarta.
Namaku tak pernah disebut. Tapi aku tak peduli.
---
Kini, di tahun 1947, aku tinggal di rumah kecil di Kudus. Indonesia telah merdeka. Kartini dikenang setiap tanggal 21 April. Potretnya digantung di dinding sekolah. Tapi yang tak mereka tahu—yang tak pernah disebut dalam sejarah—adalah bahwa surat-surat itu dulu nyaris tidak pernah dibaca publik.
Jika saja aku tidak menyimpannya.
Jika saja aku tidak mengkhianatinya… atau menyelamatkannya?
Kadang aku sendiri tak tahu.
Tapi saat anak-anak perempuan datang ke rumahku dan berkata, “Bu, bolehkah kami membaca surat yang Kartini tulis untukmu?”—aku tahu, semuanya tidak sia-sia.
Karena meski aku hanya Sarinah, perempuan tanpa gelar, tanpa pendidikan tinggi, tanpa nama dalam buku sejarah… aku tahu, aku ikut menjaga suara Kartini tetap hidup.
Dan sejarah akan menilai sendiri—bukan dari siapa yang terkenal, tapi dari siapa yang terus menulis, meski tak pernah disebut.