Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Religi
Selembar Tikar di Masjid Tua
3
Suka
864
Dibaca

Azka menatap bayangannya di kaca halte dengan pandangan kosong. Kemeja putihnya basah oleh gerimis, rambutnya acak-acakan, dan matanya sembab. Sudah lebih dari satu jam ia duduk di situ. Bukan menunggu angkutan, bukan juga menanti seseorang. Ia hanya… tidak tahu ke mana harus pulang.

Ia baru saja keluar dari kantor, atau lebih tepatnya—keluar untuk terakhir kali. Dipecat karena kesalahan yang bukan sepenuhnya miliknya. Fitnah rekan kerja membuatnya tampak seperti pencuri proyek. Seluruh kerja keras selama empat tahun hancur hanya dalam satu hari.

Ponselnya sudah lima belas kali berdering. Ibunya. Tapi Azka tak sanggup mengangkat. Apa yang bisa ia katakan?

“Aku gagal, Bu. Aku dipecat, aku nggak tahu harus gimana lagi.”

Lalu ia berdiri. Kakinya membawanya berjalan tanpa tujuan. Melewati jalan-jalan basah, gang-gang kecil yang tak pernah ia lewati, hingga langkahnya terhenti di depan sebuah masjid tua.

Tidak besar, tapi teduh. Halamannya penuh genangan hujan. Tak ada yang istimewa, kecuali satu: suara adzan maghrib yang baru saja selesai menggema, menyusup lembut ke telinganya, dan entah kenapa membuat hatinya hangat.

Azka masuk ke dalam. Seorang pria tua dengan jenggot putih dan sorban lusuh sedang menggulung sajadah.

“Salat, Nak?” tanya pria itu.

Azka mengangguk, lalu mengambil air wudu.

Ia belum pernah salat di masjid sejak SMA. Kuliah, lalu kerja, dan tenggelam dalam dunia yang hanya mengukur keberhasilan dari gaji dan jabatan. Shalat sering ia tunda, kadang ia lewatkan. Hanya ketika sesekali hatinya terasa hampa, ia mencoba kembali—tapi cepat pergi lagi.

Sore itu, di masjid tua dengan sajadah tipis dan bau karpet yang lembap, Azka kembali sujud.

Tangisnya pecah dalam diam.

Selesai salat, ia duduk lama. Tak ingin pulang. Tak ingin menatap wajah ibunya dengan kegagalan. Tapi pria tua itu menghampirinya dengan senyum lembut.

“Banyak pikiran ya, Nak?”

Azka hanya menunduk.

“Kalau boleh tahu, kamu kerja di mana?”

Azka mengangkat kepala, sedikit terkejut pria itu mau mengobrol dengannya. “Dulu, di perusahaan konsultan swasta, Pak. Tapi sekarang... sudah nggak.”

Pria itu tidak bertanya lebih lanjut, hanya mengangguk. Lalu duduk di sebelahnya.

“Dulu saya juga pernah kehilangan semuanya,” kata pria itu, pelan. “Usaha bangkrut, rumah disita, keluarga tercerai-berai. Saya sempat ingin mati, tapi saya dituntun ke masjid ini oleh seorang ustaz yang nggak saya kenal. Waktu itu, saya cuma dikasih selembar tikar.”

Azka mengernyit. “Tikar?”

Pria itu tersenyum. “Tikar untuk duduk. Katanya, selama saya mau duduk di tikar itu tiap malam, salat, dan ngobrol sama Allah, maka semuanya akan Allah perbaiki. Mungkin bukan besok, tapi pasti.”

Azka terdiam.

“Tikar itu sekarang jadi milik saya,” lanjut pria tua itu. “Setiap malam, saya duduk di sini. Mengadu. Dan dari situ, saya perlahan pulih. Saya sekarang cuma jadi marbot di sini. Gaji kecil, tapi hati saya tenang.”

Azka memandang pria itu dengan takjub.

“Kamu boleh pakai tikar itu malam ini kalau mau,” kata pria itu sambil bangkit, lalu mengambil tikar kecil dari sudut ruangan. Tikar pandan tipis yang sudah usang tapi bersih.

Azka menerimanya dengan pelan. Malam itu, ia tidak pulang. Ia menggelar tikar di sudut belakang masjid, membacakan surat-surat pendek yang ia ingat dari masa kecil, lalu berbicara. Bukan doa rumit. Hanya kalimat sederhana.

“Ya Allah, aku capek. Tapi aku nggak tahu lagi harus bagaimana. Kalau memang masih ada jalan untukku, tunjukkan, ya?”

Ia tertidur di atas tikar itu. Dalam mimpi, ia melihat cahaya lembut dan suara ibunya memanggil.

Pagi harinya, ia pulang. Ibu menyambutnya dengan pelukan, tanpa bertanya apa-apa.

Hari-hari setelah itu, Azka mulai rajin datang ke masjid tua itu. Membantu membersihkan, ikut mengatur karpet, sesekali mengisi pengajian anak-anak. Ia bahkan diajak marbot itu menjadi relawan di rumah tahfiz kecil di desa.

Waktu berlalu. Tiga bulan setelah malam di atas tikar itu, ia bertemu dengan seorang jemaah tetap masjid, seorang pengusaha Muslim yang memperhatikan kesungguhan Azka.

“Kamu lulusan mana, Nak?” tanya pria itu.

“Teknik Sipil, Pak.”

“Saya butuh orang jujur dan cekatan untuk bantu saya bangun panti asuhan baru. Mau?”

Azka hampir tak percaya.

Sejak itu, ia bekerja lagi. Tapi bukan lagi mengejar gaji besar. Ia kini merasa cukup, karena setiap malam, ia masih duduk di atas tikar itu. Bercerita. Mengadu. Dan bersyukur.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Religi
Flash
Selembar Tikar di Masjid Tua
Penulis N
Novel
Bronze
A Miracle (Luka Hati Faris)
Zainur Rifky
Cerpen
Kembalikan Kesedihan itu Padaku
putrinurul madinah
Novel
Gold
Dreams Come True
Mizan Publishing
Novel
Gold
195 Pesan Cinta Rasulullah untuk Wanita
Noura Publishing
Novel
M A D U
Andri Lestari
Cerpen
Bronze
Seorang yang membeli Akhirat dengan dunianya
Kukuh Ainul Khakim Musthofa
Novel
harus dibenahi
Dwi Agus Setyawan
Novel
Gold
Sedang Tuhan pun Cemburu
Mizan Publishing
Novel
Gold
Pajak Itu Zakat
Mizan Publishing
Flash
MENDUNG TAK BERARTI HUJAN
Kimijuliaaa
Novel
One (Hundred) Percent
Sri Sulastri
Flash
Duka Rumah Ibadah
Oktabri
Cerpen
Bronze
Jangan Mencinta Terlalu Dalam
Ron Nee Soo
Cerpen
SEKUNTUM SABDA UNTUK BUNDA
Rian Widagdo
Rekomendasi
Flash
Selembar Tikar di Masjid Tua
Penulis N
Cerpen
Alamat yang Tak Pernah Ada
Penulis N
Cerpen
TITIAN MASA LALU
Penulis N
Cerpen
KISAH DI BALIK HUJAN
Penulis N
Cerpen
Paket Salah Alamat
Penulis N
Cerpen
Sore Terakhir di Kaliwungu
Penulis N
Cerpen
Doa yang Lupa Kupanjatkan
Penulis N
Cerpen
Jam Setengah Empat
Penulis N
Cerpen
Di Ujung Azan Subuh
Penulis N
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N
Flash
Perpustakaan yang Tidak Pernah Ada
Penulis N
Flash
Suara dari Lantai Dua
Penulis N
Flash
Jendela di Rumah Sebelah
Penulis N
Cerpen
Dari Lelah Menuju Lega
Penulis N
Flash
Kopi Terakhir di Stasiun 12
Penulis N