Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Azka menatap bayangannya di kaca halte dengan pandangan kosong. Kemeja putihnya basah oleh gerimis, rambutnya acak-acakan, dan matanya sembab. Sudah lebih dari satu jam ia duduk di situ. Bukan menunggu angkutan, bukan juga menanti seseorang. Ia hanya… tidak tahu ke mana harus pulang.
Ia baru saja keluar dari kantor, atau lebih tepatnya—keluar untuk terakhir kali. Dipecat karena kesalahan yang bukan sepenuhnya miliknya. Fitnah rekan kerja membuatnya tampak seperti pencuri proyek. Seluruh kerja keras selama empat tahun hancur hanya dalam satu hari.
Ponselnya sudah lima belas kali berdering. Ibunya. Tapi Azka tak sanggup mengangkat. Apa yang bisa ia katakan?
“Aku gagal, Bu. Aku dipecat, aku nggak tahu harus gimana lagi.”
Lalu ia berdiri. Kakinya membawanya berjalan tanpa tujuan. Melewati jalan-jalan basah, gang-gang kecil yang tak pernah ia lewati, hingga langkahnya terhenti di depan sebuah masjid tua.
Tidak besar, tapi teduh. Halamannya penuh genangan hujan. Tak ada yang istimewa, kecuali satu: suara adzan maghrib yang baru saja selesai menggema, menyusup lembut ke telinganya, dan entah kenapa membuat hatinya hangat.
Azka masuk ke dalam. Seorang pria tua dengan jenggot putih dan sorban lusuh sedang menggulung sajadah.
“Salat, Nak?” tanya pria itu.
Azka mengangguk, lalu mengambil air wudu.
Ia belum pernah salat di masjid sejak SMA. Kuliah, lalu kerja, dan tenggelam dalam dunia yang hanya mengukur keberhasilan dari gaji dan jabatan. Shalat sering ia tunda, kadang ia lewatkan. Hanya ketika sesekali hatinya terasa hampa, ia mencoba kembali—tapi cepat pergi lagi.
Sore itu, di masjid tua dengan sajadah tipis dan bau karpet yang lembap, Azka kembali sujud.
Tangisnya pecah dalam diam.
Selesai salat, ia duduk lama. Tak ingin pulang. Tak ingin menatap wajah ibunya dengan kegagalan. Tapi pria tua itu menghampirinya dengan senyum lembut.
“Banyak pikiran ya, Nak?”
Azka hanya menunduk.
“Kalau boleh tahu, kamu kerja di mana?”
Azka mengangkat kepala, sedikit terkejut pria itu mau mengobrol dengannya. “Dulu, di perusahaan konsultan swasta, Pak. Tapi sekarang... sudah nggak.”
Pria itu tidak bertanya lebih lanjut, hanya mengangguk. Lalu duduk di sebelahnya.
“Dulu saya juga pernah kehilangan semuanya,” kata pria itu, pelan. “Usaha bangkrut, rumah disita, keluarga tercerai-berai. Saya sempat ingin mati, tapi saya dituntun ke masjid ini oleh seorang ustaz yang nggak saya kenal. Waktu itu, saya cuma dikasih selembar tikar.”
Azka mengernyit. “Tikar?”
Pria itu tersenyum. “Tikar untuk duduk. Katanya, selama saya mau duduk di tikar itu tiap malam, salat, dan ngobrol sama Allah, maka semuanya akan Allah perbaiki. Mungkin bukan besok, tapi pasti.”
Azka terdiam.
“Tikar itu sekarang jadi milik saya,” lanjut pria tua itu. “Setiap malam, saya duduk di sini. Mengadu. Dan dari situ, saya perlahan pulih. Saya sekarang cuma jadi marbot di sini. Gaji kecil, tapi hati saya tenang.”
Azka memandang pria itu dengan takjub.
“Kamu boleh pakai tikar itu malam ini kalau mau,” kata pria itu sambil bangkit, lalu mengambil tikar kecil dari sudut ruangan. Tikar pandan tipis yang sudah usang tapi bersih.
Azka menerimanya dengan pelan. Malam itu, ia tidak pulang. Ia menggelar tikar di sudut belakang masjid, membacakan surat-surat pendek yang ia ingat dari masa kecil, lalu berbicara. Bukan doa rumit. Hanya kalimat sederhana.
“Ya Allah, aku capek. Tapi aku nggak tahu lagi harus bagaimana. Kalau memang masih ada jalan untukku, tunjukkan, ya?”
Ia tertidur di atas tikar itu. Dalam mimpi, ia melihat cahaya lembut dan suara ibunya memanggil.
Pagi harinya, ia pulang. Ibu menyambutnya dengan pelukan, tanpa bertanya apa-apa.
Hari-hari setelah itu, Azka mulai rajin datang ke masjid tua itu. Membantu membersihkan, ikut mengatur karpet, sesekali mengisi pengajian anak-anak. Ia bahkan diajak marbot itu menjadi relawan di rumah tahfiz kecil di desa.
Waktu berlalu. Tiga bulan setelah malam di atas tikar itu, ia bertemu dengan seorang jemaah tetap masjid, seorang pengusaha Muslim yang memperhatikan kesungguhan Azka.
“Kamu lulusan mana, Nak?” tanya pria itu.
“Teknik Sipil, Pak.”
“Saya butuh orang jujur dan cekatan untuk bantu saya bangun panti asuhan baru. Mau?”
Azka hampir tak percaya.
Sejak itu, ia bekerja lagi. Tapi bukan lagi mengejar gaji besar. Ia kini merasa cukup, karena setiap malam, ia masih duduk di atas tikar itu. Bercerita. Mengadu. Dan bersyukur.