Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Misteri
Suara dari Kamar 213
2
Suka
1,007
Dibaca

Kamar 213 sudah lama kosong.

Setidaknya itu yang diberitahukan oleh Pak Raji, penjaga penginapan tua di pinggiran kota Malang, saat Niko check-in untuk urusan kerja. Penginapan itu berlantai dua, bergaya kolonial, dengan dinding kayu yang sudah lapuk di beberapa sudut dan koridor panjang berbau kapur barus. Terlihat sepi, tapi entah kenapa, Niko justru menyukainya.

Ia menempati kamar 215, dua pintu dari kamar kosong itu.

Malam pertamanya berjalan biasa. Ia menyelesaikan laporan hingga larut, lalu tidur dengan tubuh lelah tanpa mimpi.

Namun, malam kedua—semuanya mulai aneh.

Sekitar pukul dua dini hari, ia terbangun karena mendengar suara ketukan dari arah lorong. Tok. Tok. Tok. Pelan, tapi teratur. Ia pikir mungkin hanya tamu lain. Tapi ketika ia membuka pintu, lorong itu kosong. Lampu temaram berkedip-kedip, dan angin sejuk meniup bau lembap ke wajahnya.

Ia mengunci pintu kembali.

Beberapa menit setelah ia berbaring, suara itu terdengar lagi. Kali ini dari sebelah kamarnya.

Dari kamar 213.

Niko berdiri, memandang dinding tipis yang memisahkan kamarnya dengan kamar itu. Lalu terdengar suara yang lebih aneh—gumaman lirih. Seperti seseorang sedang berbicara pada dirinya sendiri, berulang-ulang.

Ia coba mengabaikannya.

Namun suara itu terus datang. Setiap malam. Dan setiap kali ia mencoba mengetuk kamar itu atau memanggil—tak ada jawaban.

Akhirnya, pagi di hari keempat, Niko bertanya langsung pada Pak Raji.

“Pak, saya sering dengar suara dari kamar 213. Ada yang menempati, ya?”

Pak Raji berhenti menyapu. Wajahnya menegang sesaat, lalu berusaha tersenyum.

“Ah, enggak, Mas. Itu kamar lama. Udah nggak dipakai sejak... ya, lama lah.”

“Lalu kenapa saya denger suara orang tiap malam dari sana?”

Pak Raji terlihat ragu. Ia menurunkan sapu perlahan.

“Dulu, pernah ada tamu. Perempuan. Namanya Lela. Guru honorer yang nginap seminggu karena pelatihan. Ramah orangnya. Tapi malam terakhir sebelum pulang, dia... hilang.”

“Hilang?”

“Ngilang dari kamarnya. Barang-barangnya masih di sana. Dompet, ponsel, semuanya lengkap. Tapi orangnya nggak ada.”

Niko bergidik. “Dan sejak itu?”

“Kadang ada tamu ngeluh dengar suara. Tapi pas dicek, kosong. Makanya kamar itu dikunci sekarang.”

Niko mengangguk pelan, tapi pikirannya dipenuhi tanya. Ia tak percaya pada hantu. Tapi juga tak bisa menjelaskan suara-suara itu.

Malam kelima, ia memutuskan melakukan sesuatu yang bodoh.

Ia menunggu sampai pukul dua, lalu berdiri di depan kamar 213. Suara gumaman itu kembali terdengar—lebih jelas sekarang. Suara perempuan, mengulang kalimat yang sama berulang kali.

“Aku harus pulang. Aku harus pulang.”

Niko memeriksa gagang pintu. Terkunci.

Ia menempelkan telinga ke pintu. Jantungnya berdegup cepat.

“Aku harus pulang... Aku harus...”

Mendadak, suara itu berhenti.

Dan dari balik pintu, terdengar suara bisikan sangat dekat—seolah tepat di telinganya dari sisi lain.

“Buka pintunya.”

Niko melonjak mundur. Ia hampir berteriak, tapi menahan napas. Tubuhnya gemetar.

Ia kembali ke kamarnya. Tapi tak bisa tidur. Tidak malam itu. Tidak setelah suara itu.

Paginya, Niko mencari tahu lebih banyak. Ia bertanya pada warga sekitar, berkunjung ke warung kopi di ujung jalan, mengaku sebagai penulis yang sedang mencari inspirasi.

Salah satu pemilik warung, Mbah Lastri, akhirnya membuka suara.

“Lela itu anak baik. Tapi malang. Waktu itu, katanya dia dapat kabar dari rumah—ibunya sakit keras. Tengah malam, dia keluar nyari taksi. Tapi nggak pernah sampai ke rumahnya. Polisi juga nggak bisa lacak.”

“Jadi... dia pergi?”

“Katanya sih begitu. Tapi beberapa orang percaya dia masih di situ. Terperangkap. Entah bagaimana.”

Niko merasa ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang tak akan tenang sebelum ditemukan.

Malam keenam, ia membawa obeng kecil yang biasa ia pakai untuk memperbaiki laptop. Ia berdiri di depan kamar 213, dan dengan tangan gemetar, mulai membongkar kunci.

Klik.

Pintunya terbuka.

Ruangan itu gelap dan dingin. Jendela tertutup rapat, tirainya kusut, dan debu memenuhi udara. Tapi yang mengejutkan, kamar itu masih tertata rapi. Bahkan ada cangkir di meja dengan noda teh yang sudah mengering.

Di atas tempat tidur, ada koper kecil warna biru.

Dan di dinding, tergantung kartu nama bertuliskan: Lela Wulandari, S.Pd.

Niko melangkah perlahan. Ia membuka koper itu. Di dalamnya, pakaian lipat rapi, buku catatan, dan surat.

Surat itu belum tersegel. Hanya terlipat dua.

Isi surat:

Ayah, Ibu...

Aku dapat kabar dari tetangga kalau Ibu sakit. Aku sudah pesan tiket kereta, tapi entah kenapa aku takut. Aku merasa ada yang mengikutiku sejak kemarin. Di lorong. Di depan kamar. Aku tak berani keluar. Kalau kalian baca ini, maaf aku tak sempat pamit.

Lela.

Tiba-tiba, suara ketukan keras menggema dari belakang Niko.

Tok. Tok. Tok.

Ia menoleh cepat. Pintu kamar menutup sendiri.

Dari balik jendela, bayangan samar seorang perempuan berdiri menatapnya. Wajahnya pucat, mata kosong, dan bibirnya bergerak tanpa suara.

“Aku harus pulang,” gumam Niko, entah kenapa, mengikuti gumaman yang selama ini ia dengar.

Paginya, kamar itu kembali kosong.

Tapi kini, koper biru itu tak ada.

Dan kamar 213—untuk pertama kalinya dalam dua tahun—benar-benar sunyi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Flash
Suara dari Kamar 213
Penulis N
Flash
After Dark-19
Populartflower
Cerpen
Bronze
Paranoid
Christian Shonda Benyamin
Novel
Gold
KKPK Asyiknya outbound
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Goresan Kuas Bermakna
Christian Shonda Benyamin
Flash
Mengundang Tawa
Rifatia
Cerpen
Bronze
Lembah yang Membeku
Santi sariah
Skrip Film
Petualangan di Agartha
Awang Nurhakim
Cerpen
Bronze
Tragedi Lembah Raranggi
andri hasanuddin
Flash
Bronze
Harimau Mimpi karya Jorge Luis Borges. Penerjemah : ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Cerpen
Kasus Pembunuban: Mayat Berkawat
Grimmer
Cerpen
Bronze
Mereka Ingin Menyakitiku
Christian Shonda Benyamin
Novel
Skandal Nirmala
Pink Coral
Cerpen
Bronze
Bayang - Bayang Kaktus Berdarah Seri 02
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Manor Adolstein
Haryati SR
Rekomendasi
Flash
Suara dari Kamar 213
Penulis N
Novel
Ruang Kosong di Meja Nomor 9
Penulis N
Flash
Sepotong Senja di Halte Lama
Penulis N
Cerpen
Jam Setengah Empat
Penulis N
Cerpen
Pencuri Waktu (IV)
Penulis N
Cerpen
Beranda Kecil
Penulis N
Flash
Hujan di Ujung Telepon
Penulis N
Novel
Fading Heartbeats
Penulis N
Cerpen
Lorong 47
Penulis N
Flash
RITUAL MALAM TANPA AKHIR
Penulis N
Flash
Jendela di Rumah Sebelah
Penulis N
Cerpen
Pencuri Waktu (II)
Penulis N
Cerpen
Tangan yang Tak Terlihat
Penulis N
Cerpen
Lentera Terakhir di Benteng Ujung Galuh
Penulis N
Cerpen
Paket Salah Alamat
Penulis N