Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Senja baru saja turun saat Nara kembali ke halte tua di depan taman kota. Tempat itu tak berubah sedikit pun sejak terakhir kali ia ke sana—dua tahun lalu. Bangku kayu yang mulai lapuk, papan jadwal bus yang berkarat, dan semak liar yang tumbuh seenaknya. Tapi Nara datang bukan untuk bus. Ia datang untuk janji yang dulu tak pernah ditepati.
Dua tahun lalu, pada hari yang sama, ia dan Alar berjanji bertemu di halte itu setelah lulus kuliah. “Kalau kita masih saling suka saat itu, kita mulai dari awal,” kata Alar, sambil menggenggam tangan Nara di bawah cahaya lampu taman.
Tapi Alar tak pernah datang.
Dan Nara, yang menunggu hampir dua jam sambil memandangi langit yang berubah ungu, akhirnya pulang dengan hati yang patah.
Setelah itu, mereka tak pernah benar-benar bicara lagi. Pesan yang dibalas sekenanya, obrolan yang makin hambar, dan pada akhirnya, hening yang menyakitkan.
Nara mengira ia sudah melupakan semuanya. Tapi setiap melihat halte itu dalam perjalanan pulang kerja, kenangan itu kembali seperti lagu lama yang tak pernah benar-benar usai.
Hari ini, entah kenapa, ia memutuskan berhenti.
Ia duduk di bangku yang dingin, membuka novel yang tak benar-benar ia baca, dan sesekali menatap ujung jalan. Tak berharap apa-apa. Hanya... ingin tahu, apakah masih ada jejak Alar di tempat ini.
“Masih suka baca sambil nunggu bus, ya?”
Nara menoleh cepat.
Alar berdiri di sana, membawa dua gelas kopi dan senyum yang masih sama seperti terakhir kali ia lihat. Mata Nara membelalak, dan jantungnya berdetak terlalu cepat.
“Kamu... datang?” Nara nyaris berbisik.
“Datang terlambat dua tahun,” jawab Alar. “Tapi aku tetap ingat.”
Ia menyerahkan satu gelas kopi pada Nara, yang masih tak yakin ini nyata atau hanya bayangan dari kerinduan lama.
“Mengapa sekarang?” tanya Nara pelan.
Alar duduk di sampingnya. Tak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat kehangatan aneh merayap di udara senja.
“Waktu itu aku harus pulang mendadak ke kampung. Ayahku sakit keras. Aku cuma sempat kirim pesan ke kamu, tapi sinyal di desa jelek banget... dan pas kembali, semuanya sudah berubah. Kamu juga.”
Nara mengingatnya. Pesan singkat itu. Hanya beberapa kata: Maaf, aku tak bisa datang hari ini. Nanti kuceritakan. Dan setelah itu, nyaris tak ada apa-apa lagi.
“Kenapa nggak jelasin setelahnya?”
“Aku pikir kamu marah. Aku takut. Lalu waktu berjalan, dan rasanya makin sulit untuk bilang sesuatu.”
Mereka terdiam. Suara lalu lintas kota mulai mengendur. Matahari benar-benar tenggelam di balik gedung.
Nara menatap Alar dalam-dalam. Wajah itu lebih dewasa sekarang, ada garis lelah di bawah matanya, tapi tatapannya masih hangat. Masih sama seperti dulu saat ia bicara tentang mimpi, musik, dan masa depan yang ingin dibangun bersama.
“Aku juga marah waktu itu,” kata Nara akhirnya. “Tapi lebih dari itu, aku sedih. Karena kita terlalu mudah diam ketika ada jarak.”
Alar mengangguk pelan. “Dan sekarang aku datang bukan untuk memperbaiki masa lalu. Tapi... kalau kamu masih ingin, aku mau mulai dari nol.”
Nara tertawa kecil. “Kamu yakin? Dengan orang yang suka membaca di halte tua?”
Alar mengangkat bahu. “Dengan kamu, selalu.”
Hening kembali menyelimuti, tapi kali ini bukan hening yang asing. Ada ketenangan, seperti dua orang yang akhirnya pulang setelah tersesat cukup lama.
“Kamu masih suka musik?” tanya Nara tiba-tiba.
“Masih. Bahkan, aku punya band kecil di kedai kopi tempat aku kerja. Tapi kurang satu vokalis perempuan.”
Nara tersenyum geli. “Mau audisi aku sekarang?”
Alar pura-pura berpikir. “Mungkin... kalau kamu bisa nyanyiin lagu kita dulu.”
“Yang mana?”
Alar mulai bersenandung pelan. Lagu lama dari band indie favorit mereka. Nara tertawa, lalu ikut menyanyi.
Di halte tua itu, dua suara bertemu kembali setelah waktu yang panjang dan luka yang tak sempat benar-benar sembuh. Tapi malam ini, luka itu tak lagi menganga. Ia menjelma jadi ruang untuk cerita baru.
Bus malam melintas. Lampu-lampunya menyinari wajah mereka sejenak, lalu pergi lagi. Tapi tak satu pun dari mereka bergerak.
Mereka masih punya banyak waktu.
Dan untuk pertama kalinya, Nara tak ingin terburu-buru pulang.