Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Hutang Bakti Adisty
0
Suka
14
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Adisty sengaja memilih tempat duduk yang paling pojok, dekat pot bunga besar yang ditanami bonsai yang tingginya, melebihi tinggi dirinya ketika duduk. tempat itu adalah tempat yang paling dekat dengan taman cafe, yang dihiasi dengan berbagai jenis bunga dan warna yang berbeda. Sehingga memberikan kesan segar,  jauh dari hiruk pikuk suasana cafe, yang dipenuhi anak muda yang nongkrong, dan bersantai. Dipermanis oleh taman air mancur mini, semakin menambah damai suasana, karena gemericik air, serasa berada di alam bebas. Tempat itu strategis sekali dan tidak terlihat, oleh banyak orang. Dia ingin, bersantai sejenak, sedikit merenung, bengong memimikir apa saja yang sedang memenuhi ruangan di kepalanya, tidak mengapa, dia rehat dulu disini, dari pada cepat pulang kerumah, dengan membawa hati yang suntuk. Karena, jika pulang dalam keadaan pikiran kacau, adisty bisa saja melampiaskannya pada suami dan anak-anak mereka. Habis mereka dimarahi oleh Adisty. Adisty takut itu terjadi lagi. 

lebih baik duduk dulu disini, biar pikiran ku tenang.” 

Gumamnya, sambil memperhatikan satu persatu item pada buku menu. memilih apa yang menarik, dan cocok untuk dinikmati. Kemudian memanggil waiters, untuk melakukan pemesanan.

kini, dia telah ditemani secangkir vanilla latte, dan sepotong muffin rasa mocca, di D’Brave cafe yang telah lama menjadi langganannya. Jika rasa suntuk datang, atau hanya ingin melepas lelah sesudah bekerja, Adisty biasanya datang ke cafe ini.  Biasanya dia hanya menikmati minumannya sedikit demi sedikit. mencubit kecil kue muffin itu, lalu dimasukkan kedalam mulutnya sambil memainkan android samsungnya dengan wifi gratis. Begitu caranya menghabiskan waktu. Mirip anak muda yang masih labil, dengan budget pas-pasan. 

Kini yang menjadi beban pikirannya selama seminggu ini, adalah memory akan masa kecil yang belum selesai. Dia merasa bahwa dialah anak yang terabaikan, dan selalu mendapat penolakan dari mama dan papanya. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka, sehingga lupa dengan hak anak. Ingatan itu juga membawanya, melayang sewaktu masih kecil, yang selalu dititipkan dan jarang bertemu. Mulai dari mengasuh adik, membereskan rumah sudah menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Berapa banyak momen masa kanak-kanak yang seharusnya dihabiskan dengan bermain dan bercengkrama dengan orang tua, dia lewatkan begitu saja. Karena tanggung jawab yang tidak seharusnya dibebankan pada pundak kecilnya. 

Tapi setelah dia, melihat isi curhatan adiknya, Lathifa, di salah satu platform media social. Dimana dia juga mengalami hal sama seperti dirinya. Adisty tersentak kaget. Dia tidak menyangka, hal itu juga dirasakan oleh adik kesayangannya. Dalam platform itu, Lathifa menuliskan cuitannya bahwa dia adalah anak tengah yang terabaikan, keberadaannya sering kali dianggap tidak ada, oleh kedua orang tuanya. 

Apa yang membuat Lathifa menulis status di FB itu?, Bukankah selama ini aku yang sering dimarahi oleh mama dan papa? Bahkan aku lihat Lathifa dan Zein lah tidak pernah merasakan cubitan dan bentakan dari mereka.”

Renung adisty, sambil terus menyeruput minumannya dari tadi, dan tidak sadar telah habis setengahnya. Ingatannya melayang ketika mereka masih dalam usia sekolah dasar, ada rasa iri yang dirasakannya pada sang adik, yang selalu terpenuhi keinginannya. Tapi Lathifa berbeda, tidak seperti adik lain yang manja, dan suka menang sendiri. Dia lembut, suka menolong, banyak teman, murah hati. Adisty tidak sanggup membencinya. Bahkan Adisty juga ikut meniru Mama dan Papa. Sangat menyayangi sang adik, Lathifa yang pintar dan manis.

Saat lamunannya semakin mendalam, dia hentakan oleh sebuah quote yang lewat di beranda medsosnya. Pesan, itu dikutip dalam sebuah buku, bahwa anak hanya mengingat apa yang diperbuat oleh orang tuanya, bukan apa yang telah diajarkan mereka. Lumrah dalam sifat manusia kalau yang diingatnya hanyalah perlakuan yang tidak menyenangkan saja. 

Seketika itu Adisty jadi menyesal dengan perasaan yang dirasakan terhadap mama dan papa.  Dimatikannya android yang sedari tadi menemani dirinya. Kemudian dia bergegas membayar vanilla latte dan snack pesanannya. Dia ingin segera pulang. Li luar cafe suara shalawat tarhim sudah terdengar dari masjid sahut sahutan, tanda masuknya waktu ashar. Dengan perlahan, tapi pasti, di pacunya vios matic berwarna hitam itu menuju rumah. Selama dalam perjalanan, penyesalan adisty bertambah dalam. Hatinya ingin menangis, tapi tidak mampu mengeluarkan air mata barang setetes pun. Yang ada rasa malu, kerdil, kekanakan, dan tidak mampu mengendalikan egonya. dia mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya.  

Ada bisikan lebut dan hangat,  yang datang menyejukan hatinya. Betapa harus bangganya mereka memiliki orang tua yang tidak pernah mendikte.

Mama dan papa tidak pernah menuntut apapun dari kamu dan adik-adikmu. Yang kamu alami hanyalah pengabaian bukan penelantaran yang parah. Kamu tidak tahu seperti apa beratnya menjadi orang tua kala itu. Apa pernah dia seperti orang tua temanmu, yang telah menggadaikan SK anaknya, berhutang puluhan juta di bank hanya untuk kesenangan saja. Apa pernah mama dan papamu menyodorkan menjadi seorang honorer di kantor tempat mereka bekerja, agar uang belanjamu tidak ditanggung mereka? Apa pernah kamu melihat mereka mengadukan nasib anak-anak mereka pada saudaramu, yang sedang menjadi kepala daerah, agar kamu lulus, atau minimal diangkat jadi honorer? Apakah kamu menikah dengan lelaki  pilihan mereka?”

Astagfirullah, maafkan kami ma,pa” lirihnya. Tiba-tiba Adisti merasa malu dan merasa ikut menyumbang keruhnya suasana hati lathifa, karena tidak pernah menunjukan keikhlasan dalam merawat orang tua, sehingga si adik, meniru kelakuan buruknya.  

“Ternyata selama ini aku salah. Akulah yang seharusnya menjadi contoh yang baik bagi kedua adikku, tapi malah melakukan sebaliknya. seharusnya aku tidak boleh banyak mengeluh, dan curhat berlebihan kepada temanku.”

Seolah sadar akan kesalahan, yang diperbuatnya selama ini. Adisty ingin pulang kerumah orang tuanya besok, dan bertekad untuk, melakukan yang terbaik buat mama dan papanya. Memasak makanan kesukaan mereka. menyediakan waktu bercengkrama, mendengar keluh kesah mereka. Dia ingin menebus hutang bakti yang selama ini diabaikannya. Dia Menjadi takut, jika salah satu pintu kebaikan itu tertutup selama, dan menjadi anak durhaka. 

Tentu saja dengan dukungan suami, dia akan bersama-sama merawat kedua orang tua, dan akan belajar geriatri, agar mudah memahami perilaku lansia. 

Maafkan Adis selama ini ma, pa, Adis salah, terlalu banyak menuntut, serta tidak paham. Tidak ada orang tua yang sempurna didunia ini, karena mereka manusia juga. Adis Pun takut kalau anak kami juga meniru kelakuan buruk kami.” 

Ucap Adisty dalam hati, sambil menyeka air matanya dengan mukena yang masih terpasang setelah shalat Asharnya. 

“Adisty menjadi seperti ini karena ada do’a, dan nilai yang ditanamkan oleh mama dan papa.”

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Luka
Jia Aviena
Flash
Hutang Bakti Adisty
T. Filla
Novel
Bronze
PELANGI TANPA WARNA
Mahfrizha Kifani
Novel
Bronze
Kutitipkan Wajahmu Pada Bulan (Edisi Cerbung)
Imajinasiku
Novel
Bronze
Regression
Dini Atika
Flash
Pendakian
bibliosmia
Flash
Bronze
Kawin Lari
Herman Sim
Flash
Rumah (Kita) Nanti
Hilyati Marsyalita
Cerpen
Bronze
Karma Time
Herumawan Prasetyo Adhie
Cerpen
Bronze
Stella : Surat Tinta Emas
Adidan Ari
Novel
Girl Mentally Retarded
KR
Novel
Bronze
Unexpected Encounter
Lalita Tandayu
Novel
Bronze
Dilema Istri Pengganti
Aydhaa Aydhaa
Skrip Film
Pesan di Lembar Terakhir
Rika Kurnia
Novel
Bronze
Erstwhile
Relia Rahmadhanti
Rekomendasi
Flash
Hutang Bakti Adisty
T. Filla
Flash
Menjadi Gagal Pun Masih Gagal
T. Filla